OPINI | TD – Pada sistem demokrasi, kekuasaan seharusnya berpindah tangan melalui proses yang adil dan kompetitif, bukan karena garis keturunan atau kedekatan personal. Namun praktik politik di Indonesia menunjukkan bahwa alih-alih meritokrasi, kekuasaan justru sering kali diwariskan. Demokrasi prosedural tetap berjalan, tetapi esensinya dikaburkan oleh praktik-praktik lama yang dibungkus dengan wajah baru. Salah satu praktik yang terus bertahan adalah praktik patrimonial, sebuah konsep yang telah lama dikenali dalam teori klasik sosiologi politik.
“Patrimonialisme, sebagaimana dijelaskan oleh Max Weber dalam kerangka tipologi otoritas, merupakan bentuk kekuasaan di mana otoritas bersandar pada relasi personal dan loyalitas terhadap pemimpin, bukan pada sistem hukum atau struktur rasional. Dalam sistem patrimonial, kekuasaan cenderung dipandang sebagai milik pribadi yang dapat diwariskan.”
Patrimonialisme tidak hanya bertahan di Indonesia modern, tetapi juga telah mengambil bentuk-bentuk baru yang sering kali sulit dikritik. Seperti yang di katakan oleh Max Weber, pengalihan kekuasaan politik secara vertikal di dalam keluarga atau jaringan kekerabatan merupakan salah satu peristiwa yang paling luar biasa. Pertumbuhan elit politik muda yang memperoleh keunggulan pesat karena hubungan mereka dengan penguasa, bukan karena sejarah panjang atau kemampuan yang ditunjukkan merupakan tanda yang jelas tentang logika pewarisan kekuasaan dalam demokrasi prosedural.
Peristiwa ini memuncak ketika seorang anak muda yang dianggap memiliki konflik kepentingan terpilih menjadi wakil presiden, melampaui batas usia yang ditetapkan oleh konstitusi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial. Keterlibatan simbolis sang ayah, terbukti dari bagaimana cara ruang media dikelola serta dalam narasi yang diciptakan. Media sengaja didorong sebagai arus utama untuk menonjolkan kekuatan putranya guna menciptakan citra publik yang toleran dan pengertian sekaligus meredam kritik kritis. Selain menghilangkan kemungkinan persaingan yang adil, keadaan ini menstandardisasi politik sebagai ranah citra dan keturunan daripada sarana untuk menilai kemampuan. Dalam keadaan seperti ini, demokrasi kehilangan kemampuannya untuk mengoreksi. Ia berevolusi menjadi arena seremonial untuk hubungan patrimonial yang terbungkus dalam wacana sipil dan validitas prosedural.
Yang membuat patrimonialisme semakin sulit dikenali adalah kemampuannya beradaptasi dengan narasi-narasi baru yang tampak positif. Salah satu strategi yang sering digunakan adalah membungkus warisan kekuasaan dengan citra kesantunan, religiusitas, atau gaya muda yang akrab dengan publik. Tokoh-tokoh politik yang mewarisi kekuasaan kerap diasosiasikan dengan nilai-nilai yang tidak kontroversial, membuat kritik terhadap mereka dianggap tidak elok atau terlalu menyerang pribadi. Karena sebenarnya yang dipersoalkan disini bukanlah individunya, melainkan pola kuasa yang mereka wakili.
Media sosial dan platform digital juga telah menciptakan arena baru bagi patrimonialisme, dengan cara yang lebih halus dan lebih sulit dikenali. Jika dahulu relasi patron-klien ditandai dengan alokasi jabatan, proyek atau bantuan sosial, kini bentuknya berkembang menjadi ekosistem naratif yang dibangun secara digital: melalui meme, gaya gaul, video pendek, dan narasi populis yang mengedepankan citra dekat dan sederhana.
Figur-figur politik yang sebenarnya mewarisi privilege struktural dipoles seolah-olah muncul sebagai representasi otentik dari generasi muda. Dalam ruang digital, mereka tampil sebagai simbol “harapan baru”, padahal masih berpijak pada akar kekuasaan lama. Relasi patronase dipertahankan melalui “relawan digital,” buzzer politik, dan influencer yang secara aktif mengawal opini publik, membentuk wacana serta menekan kritik substantif melalui narasi loyalitas, nasionalisme atau bahkan humor. Dalam kerangka teori ruang publik Jürgen Habermas , kondisi ini mencerminkan pergeseran dari ruang diskursif yang rasional dan terbuka menuju ruang semu yang dikuasai oleh kepentingan hegemonik. Alih-alih menjadi media deliberatif yang mendorong partisipasi kritis, ruang digital justru digunakan sebagai sarana reproduksi kekuasaan, di mana opini publik dibentuk bukan oleh argumen, melainkan oleh strategi persepsi dan manajemen citra.
Kritik terhadap sistem kekuasaan yang tidak demokratis juga dengan cepat dibungkam dalam konteks ini karena klaim bahwa sistem tersebut antiperdamaian atau tidak menghormati pemimpin muda. Kenyataannya, pola kekuasaan yang diwakili oleh individu-individu ini merupakan sebuah pola yang mereproduksi otoritas berdasarkan kedekatan daripada kompetensi yang dipertanyakan, bukan individu itu sendiri. Hal ini membuat struktur kekuasaan yang diwariskan tampak biasa bahkan dapat diterima, sebagai bagian dari budaya politik kita adalah cara halus lain yang mana digunakan kekuasaan simbolik.
Walaupun secara normatif, setiap warga negara terlepas dari bagaimana latar belakang keluarga atau asal sosialnya, memiliki hak yang setara untuk menjadi seorang pemimpin. Demokrasi menjanjikan panggung yang adil bagi semua, di mana yang membedakan satu kandidat dengan yang lain adalah kompetensi, integritas, dan komitmen pada kepentingan publik. Namun, gagasan ini mudah diselewengkan dalam masyarakat patrimonial. Orang-orang yang paling dekat dengan pusat kekuasaan adalah mereka yang akan naik dan bukan mereka yang paling siap untuk memimpin.
Beberapa studi telah mengamati bagaimana kecenderungan ini berlangsung secara sistematis. Dalam jurnal “Patrimonial Politics in Southeast Asia“ oleh Jamie Davidson (Asian Survey, 2010), dijelaskan bahwa institusi-institusi politik di banyak negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, sering kali tunduk pada logika relasi personalistik dan informal, bahkan ketika prosedur demokrasi tampak berjalan. Prosedur menjadi penanda formal, sementara substansinya tetap diatur oleh siapa mengenal siapa.
Patrimonialisme tidak akan tumbuh subur jika institusi negara menjalankan fungsinya secara independen dan akuntabel. Namun dalam banyak kasus, lembaga-lembaga negara justru tampak tunduk atau bahkan terlibat dalam melanggengkan praktik ini. Ketika lembaga yudikatif, legislatif, dan eksekutif tak mampu menjaga jarak dari pengaruh personal atau kelompok tertentu, maka kontrol dan keseimbangan kekuasaan pun melemah. Dalam konteks inilah kita perlu membaca ulang peran institusi negara, apakah ia menjadi penjaga konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi, atau justru menjadi perpanjangan tangan dari jejaring kuasa patrimonial? Ketika hukum disesuaikan demi melanggengkan kepentingan elite tertentu, maka demokrasi kehilangan kekuatan korektifnya.
Membaca ulang politik patrimonial adalah upaya untuk mengingatkan bahwa demokrasi bukan hanya soal pemilu lima tahunan. Melainkan soal bagaimana kekuasaan dijalankan dan diwariskan. Demokrasi sejati membutuhkan sistem yang terbuka, kompetitif, dan berbasis pada kapasitas serta rekam jejak. Jika yang terus berlangsung adalah praktik warisan kuasa, di mana institusi tunduk, media membentuk citra kesantunan sebagai pelindung, dan kritik diredam secara simbolik, maka kita sedang berjalan menuju demokrasi tanpa daya tawar. Sebuah demokrasi yang prosedural secara teknis, tetapi kehilangan substansi.
Patrimonialisme adalah warisan politik lama yang belum selesai. Dan dalam wajah barunya, ia justru semakin sulit dikenali. Karena itulah, ia perlu terus dibaca ulang, ditelaah, dan dikritisi—agar demokrasi tidak hanya hidup di atas kertas, tetapi juga nyata dalam praktik kekuasaan kita hari ini.
Penulis: Raisha Putri, Mahasiswa S1 Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Editor: Patricia