Melawan Body Shaming: Saat Tubuh Perempuan Bukan Lagi Bahan Komentar

waktu baca 6 minutes
Senin, 1 Des 2025 18:41 0 Nazwa

OPINI | TD — Di tengah derasnya arus informasi dan penetrasi media sosial, tubuh perempuan semakin sering dijadikan bahan konsumsi publik. Foto, video, dan komentar silih berganti muncul di layar gawai, dan di antara itu semua, body shaming hadir sebagai salah satu bentuk kekerasan simbolik yang paling sering dialami perempuan. Di Indonesia, komentar seperti “kok gendutan?”, “kok item?”, atau “nggak cantik kalau nggak langsing” sudah begitu biasa terdengar, sampai-sampai dianggap wajar. Padahal, di balik kalimat yang tampak sepele itu, tersimpan luka psikologis yang nyata. Di sinilah feminisme menjadi penting: bukan sekadar teori, melainkan kacamata kritis untuk membongkar akar masalah dan menawarkan arah perubahan.

Tubuh Perempuan sebagai Medan Kontrol Sosial

Feminisme menegaskan bahwa tubuh perempuan selama ini tidak pernah benar-benar dianggap sebagai milik perempuan itu sendiri. Tubuh mereka diperlakukan sebagai objek sosial, sesuatu yang boleh dikomentari, diatur, bahkan dinilai secara moral. Standar kecantikan yang tampak “alami” sesungguhnya adalah konstruksi sosial yang dibentuk dan dipelihara oleh budaya patriarki. Dalam budaya ini, perempuan dinilai pertama-tama dari penampilannya; barulah setelah itu kecerdasan, prestasi, dan kontribusinya ikut dipertimbangkan—kalau sempat.

Media massa dan media sosial berperan besar dalam mengukuhkan standar ini. Iklan produk kecantikan menampilkan kulit putih sebagai simbol kesuksesan. Sinetron dan film menghadirkan tokoh perempuan ideal yang langsing, muda, dan tanpa cela. Influencer pun sering kali—disadari atau tidak—mereproduksi template tubuh yang dianggap “pantas”: langsing, putih, mulus, dan selalu tampak sempurna. Dalam lanskap seperti ini, perempuan yang tubuhnya tidak sesuai dengan standar sempit tersebut secara otomatis ditempatkan di posisi “kurang”, “tidak cukup”, atau “harus diperbaiki”.

Kompleksitas Standar Kecantikan di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, standar kecantikan tidak lahir dari ruang hampa. Ia merupakan hasil pertemuan berbagai pengaruh: budaya lokal, warisan kolonial, dan arus modernisasi global. Masa kolonial meninggalkan preferensi terhadap kulit cerah, yang kemudian dilegitimasi oleh iklan pemutih dan narasi bahwa kulit putih lebih “menarik” atau “berkelas”. Modernisasi dan globalisasi lalu membawa gambaran tubuh ala selebritas internasional: ramping, proporsional, dan selalu muda.

Perempuan yang tidak memenuhi standar gabungan ini menjadi sasaran empuk body shaming. Mereka dianggap terlalu gemuk, terlalu gelap, terlalu pendek, terlalu “biasa”. Akibatnya bukan hanya soal perasaan tersinggung, tetapi juga bisa berujung pada stres, berkurangnya rasa percaya diri, gangguan makan, hingga menarik diri dari lingkungan sosial. Jika kita menganggap semua ini sekadar “candaan”, berarti kita menutup mata terhadap dampak nyata yang menggerogoti kesehatan mental banyak perempuan.

Body Shaming sebagai Bentuk Kekuasaan

Feminisme membantu kita melihat bahwa body shaming bukan sekadar komentar iseng; ia adalah mekanisme kekuasaan. Ketika tubuh perempuan terus-menerus dikomentari, dihakimi, dan dibandingkan, sesungguhnya ada pesan halus yang sedang disampaikan: bahwa perempuan harus menyesuaikan diri dengan standar tertentu untuk dianggap layak. Dengan kata lain, tubuh perempuan menjadi arena kontrol sosial.

Feminisme menolak tegas gagasan bahwa tubuh perempuan adalah ruang publik yang boleh diatur dan dikritik seenaknya. Tubuh adalah bagian dari identitas personal yang otonom; tidak seorang pun berhak memaksakan standar kecantikan tertentu atasnya. Dengan perspektif ini, kita dapat membongkar struktur sosial yang selama ini membuat body shaming tampak normal, padahal sesungguhnya diskriminatif dan merendahkan martabat manusia.

Mengapa Perubahan Cara Pandang adalah Mendesak?

Mengetahui akar masalah saja tidak cukup. Tanpa perubahan cara pandang, body shaming akan terus dianggap persoalan sepele yang tanggung jawabnya dibebankan kepada korban—misalnya dengan nasihat, “kamu jangan baper, anggap saja bercanda”. Padahal, yang perlu diubah bukan ketahanan hati korban, melainkan budaya yang menganggap penghinaan terhadap tubuh sebagai hal lumrah.

Perubahan cara pandang ini penting setidaknya karena tiga alasan. Pertama, body shaming adalah bentuk kekerasan psikologis dan verbal, bukan humor. Kedua, standar kecantikan yang sempit menghalangi perempuan untuk merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan menghambat potensi mereka. Ketiga, selagi tubuh terus dijadikan patokan nilai, kesetaraan gender akan sulit tercapai karena perempuan akan selalu sibuk mengejar citra ideal alih-alih bebas mengembangkan diri.

Peran Literasi Media dan Kebijakan Digital

Langkah awal yang dapat dilakukan adalah memperkuat literasi media, terutama bagi generasi muda yang hidup berdampingan dengan dunia digital. Masyarakat perlu memahami bagaimana algoritma dan konten media membentuk imajinasi tentang kecantikan. Edukasi kritis tentang manipulasi foto, filter, dan standar kecantikan yang tidak realistis harus menjadi bagian dari pembelajaran, baik di sekolah maupun di ruang-ruang komunitas.

Kampanye anti–body shaming juga harus keluar dari sekadar tagar dan slogan. Ia perlu diwujudkan dalam tindakan konkret: sistem pelaporan komentar merendahkan yang mudah diakses, regulasi yang melindungi korban kekerasan berbasis gender daring, serta layanan pendampingan psikologis. Tanpa perlindungan struktural, ajakan untuk “speak up” sering kali berakhir dengan korban yang justru diserang balik.

Keluarga: Ruang Pertama yang Harus Berbenah

Ironisnya, banyak bentuk body shaming justru berawal dari rumah. Komentar seperti “kamu kok gemukan, nanti susah cari jodoh” atau “kulitmu gelap, jangan sering keluar, malu ah” kerap dilontarkan dengan dalih sayang atau bercanda. Namun, bagi anak, kalimat-kalimat itu dapat melekat kuat dan membentuk citra diri negatif hingga dewasa.

Jika kita sungguh ingin mengubah budaya body shaming, keluarga harus menjadi ruang paling aman, bukan sumber luka pertama. Orang tua dan anggota keluarga perlu belajar untuk mengubah cara berbicara tentang tubuh: dari mengomentari bentuk, menjadi menghargai kesehatan, karakter, dan kemampuan. Anak-anak harus tumbuh dengan pesan bahwa tubuh mereka tidak salah, apa pun bentuk dan warnanya.

Pendidikan, Negara, dan Platform Digital

Di tingkat yang lebih luas, institusi pendidikan dan negara tidak boleh bersikap netral. Kurikulum yang memuat isu kesetaraan gender, kesehatan mental, dan keberagaman tubuh perlu diperkuat. Diskusi tentang standar kecantikan dan dampak body shaming bisa diintegrasikan dalam pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, maupun program sekolah ramah anak.

Pemerintah dan platform digital juga memegang peran kunci. Aturan tegas terhadap ujaran kebencian berbasis tubuh harus diterapkan dan disosialisasikan. Bukan hanya korban yang diminta “sabar”, tetapi pelaku yang harus diberi sanksi jelas. Di sisi lain, influencer dan tokoh publik di Indonesia dapat menjadi agen perubahan dengan menampilkan keberagaman tubuh, menolak endorse yang mempromosikan rasa tidak aman atas tubuh, dan menggunakan panggung mereka untuk mengedukasi pengikut.

Perjuangan Bersama, Bukan Hanya Urusan Perempuan

Perlawanan terhadap body shaming sering dianggap sebagai agenda perempuan semata. Padahal, selama budaya ini dibiarkan, masyarakat secara keseluruhan ikut dirugikan. Laki-laki pun, meski mungkin dalam bentuk yang berbeda, dapat menjadi korban standar tubuh yang tidak realistis. Namun dalam realitas sosial hari ini, perempuanlah yang paling sering dan paling keras terdampak.

Karena itu, perjuangan ini harus menjadi agenda bersama. Laki-laki punya peran penting: mengoreksi candaan teman, tidak ikut menertawakan tubuh orang lain, dan belajar melihat perempuan sebagai subjek utuh—bukan sekadar penampilan fisik. Media, institusi agama, komunitas, dan dunia pendidikan perlu bergandeng tangan untuk membangun budaya saling menghormati.

Penutup: Menghargai Manusia di Balik Tubuh

Pada akhirnya, pertaruhan kita bukan hanya soal bentuk tubuh, tetapi tentang martabat manusia. Selama tubuh terus dijadikan ukuran nilai, perempuan akan selalu berada di ujung yang dirugikan. Feminisme mengingatkan kita bahwa standar kecantikan adalah konstruksi sosial yang bisa—dan seharusnya—diubah.

Indonesia membutuhkan keberanian kolektif untuk mengatakan: cukup sudah mengomentari tubuh orang lain. Sudah saatnya kita berhenti menilai perempuan dari kurus atau gemuknya, putih atau gelapnya, mulus atau tidaknya. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana mereka berpikir, berkarya, dan berkontribusi.

Perlawanan terhadap body shaming bukan sekadar tren wacana; ini adalah langkah penting menuju masyarakat yang lebih adil, sehat, dan manusiawi. Dan perubahan itu dimulai dari hal yang sederhana: menahan diri untuk tidak mengomentari tubuh orang lain, dan belajar menghargai manusia yang ada di baliknya.

Penulis: Mambay Rizkoh
Mahasiswa Program Studi Administrasi Negara, Universitas Pamulang PSDKU Serang. (*)

LAINNYA