Media Sosial Sebagai Senjata Politik: Viralitas, Hoaks, dan Black Campaign

waktu baca 4 minutes
Selasa, 30 Sep 2025 17:28 0 Nazwa

OPINI | TD — Dalam tiga tahun terakhir, media sosial menjelma menjadi arena utama pertarungan politik di Indonesia. Jika sebelumnya kampanye politik lebih mengandalkan televisi, baliho, dan pertemuan tatap muka, kini platform digital seperti Facebook, Instagram, X (Twitter), TikTok, hingga WhatsApp mengambil peran dominan dalam membentuk opini publik.

Namun, di balik kemudahan komunikasi ini, media sosial juga menjadi lahan subur bagi penyebaran hoaks, kampanye hitam (black campaign), dan propaganda politik yang berpotensi merusak kualitas demokrasi. Sebagai mahasiswa yang tumbuh di era digital, saya melihat sendiri bagaimana media sosial kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dari bangun tidur hingga menjelang tidur, hampir semua orang membuka media sosial—bukan sekadar untuk hiburan, melainkan juga sebagai panggung utama politik.

Viralitas dan Polarisasi Opini Publik

Sejak Pemilu 2014 dan Pilkada DKI 2017, media sosial terbukti mempercepat polarisasi politik. Konten negatif yang dikemas secara emosional lebih mudah viral dan mendominasi ruang percakapan publik. Algoritma media sosial bahkan memperkuat konten sensasional, sehingga memperdalam jurang perbedaan di masyarakat.

Video singkat seorang kandidat menari di TikTok bisa lebih menarik perhatian dibanding pidato panjang tentang program kerja. Meme politik yang jenaka lebih mudah menyebar dibanding artikel kebijakan ekonomi. Inilah yang disebut politik ramah algoritma: bukan lagi soal kedalaman gagasan, tetapi tentang seberapa kuat konten mampu menyentuh emosi publik.

Masalahnya, viralitas sering memperkuat polarisasi. Konten emosional berupa ejekan, sindiran, hingga fitnah lebih mudah dibagikan. Kita masih ingat bagaimana istilah “cebong” dan “kampret” membelah masyarakat pada Pemilu 2019—semua bermula dari konten yang viral lalu diperkuat algoritma.

Hoaks Politik dan Ancaman Demokrasi

Hoaks atau berita bohong menjadi senjata efektif untuk menggiring opini publik, biasanya dengan memainkan isu sensitif seperti SARA. Laporan Mafindo mencatat, pada Pemilu 2024 terdapat lebih dari seribu hoaks politik, mayoritas tersebar melalui Facebook dan WhatsApp.

Kasus penyebaran video provokatif oleh Buni Yani pada Pilkada Jakarta adalah contoh nyata bagaimana hoaks dapat memengaruhi stabilitas politik. Hoaks tidak hanya merugikan kandidat tertentu, tetapi juga masyarakat luas karena mengaburkan fakta, merusak kepercayaan publik, dan melemahkan dialog demokratis.

Penyebaran hoaks umumnya dilakukan oleh jaringan buzzer atau akun anonim yang terorganisir. Ribuan akun palsu dipakai untuk menggiring opini, membentuk tren, hingga menyerang lawan politik. Akibatnya, publik terjebak dalam polarisasi tajam, saling curiga, dan semakin sulit membedakan fakta dari manipulasi.

Black Campaign: Senjata Politik Murah dan Efektif

Berbeda dengan kampanye negatif yang masih berbasis fakta, black campaign cenderung berisi fitnah, penghinaan, atau manipulasi informasi. Media sosial membuat pola ini semakin marak, karena distribusi konten bisa dilakukan dalam hitungan detik hanya dengan satu ponsel pintar.

Fenomena ini kerap muncul menjelang pemilu ketika tensi politik memanas. Sayangnya, banyak politisi lebih memilih menyerang personal lawan ketimbang mengadu gagasan. Kondisi ini menunjukkan bahwa media sosial bukan hanya panggung kampanye, melainkan juga medan perang penuh tipu daya.

Regulasi hukum di Indonesia pun belum sepenuhnya mampu mengantisipasi fenomena ini. Potensi tumpang tindih antara UU ITE dan UU Pemilu membuat penindakan terhadap kampanye hitam dan hoaks sering tidak efektif.

Antara Demokrasi dan Manipulasi

Meski penuh risiko, media sosial tidak bisa dipisahkan dari politik modern. Platform digital membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas, terutama bagi generasi muda. Kandidat dapat berinteraksi langsung dengan pemilih, menyampaikan program, sekaligus membangun citra yang lebih personal.

Namun, keberadaan buzzer, akun anonim, dan bot justru memperkeruh demokrasi. Konten terkoordinasi digunakan untuk menyerang lawan, memanipulasi fakta, hingga menciptakan ilusi dukungan masif. Akibatnya, ruang digital lebih sering dipenuhi manipulasi ketimbang dialog sehat.

Literasi Digital sebagai Tameng Demokrasi

Para akademisi sepakat, literasi digital adalah kunci menghadapi disinformasi politik. Pendidikan politik yang sehat, pengawasan ketat dari Bawaslu, serta harmonisasi regulasi antara UU ITE dan UU Pemilu sangat dibutuhkan.

Masyarakat harus kritis dalam menerima informasi: memeriksa sumber, melakukan verifikasi, dan tidak mudah terpancing emosi. Gerakan cek fakta yang digagas media arus utama penting untuk menyeimbangkan arus informasi.

Selain itu, tanggung jawab etis juga berada di tangan aktor politik. Menggunakan media sosial untuk mengedukasi pemilih jauh lebih bermanfaat daripada menyebarkan narasi provokatif. Seperti disebut dalam sebuah riset Universitas Indonesia: “Media sosial ibarat pedang bermata dua: bisa memperkuat demokrasi, tetapi juga bisa menghancurkannya jika dibiarkan tanpa kontrol.”

Penutup

Fenomena viralitas, hoaks, dan black campaign menunjukkan bahwa politik digital Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Menjelang pemilu, masyarakat perlu lebih kritis menyaring informasi, sementara penyelenggara pemilu harus lebih tegas menindak pelanggaran.

Tiga tahun terakhir memperlihatkan bahwa Indonesia sedang berada di persimpangan jalan. Masa depan politik digital tidak hanya ditentukan oleh teknologi, tetapi juga oleh kedewasaan masyarakat dalam menggunakannya.

Demokrasi Indonesia akan sehat jika ruang digital diisi gagasan, bukan fitnah; dialog, bukan kebencian; serta fakta, bukan hoaks.

Penulis: Rahmawati, Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, UNTIRTA. (*)

LAINNYA