Mantan Koruptor Nyaleg? Ancaman bagi Moral Demokrasi Indonesia

waktu baca 4 minutes
Selasa, 7 Okt 2025 16:31 0 Redaksi

OPINI | TD — Fenomena mantan terpidana korupsi yang kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dalam Pemilu 2024 kembali menjadi sorotan publik. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat lebih dari 56 mantan narapidana korupsi maju dari berbagai partai politik. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana bangsa ini serius dalam menegakkan moral dan integritas demokrasi?

Di banyak negara demokrasi maju, partai politik cenderung menyingkirkan figur yang pernah terlibat kasus korupsi dari arena politik. Namun, di Indonesia, partai justru memberikan ruang luas bagi mereka untuk kembali bersaing. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap partai politik, KPU, dan lembaga negara terus menurun. Masyarakat mulai melihat bahwa politik bukan lagi arena perjuangan moral, melainkan sekadar panggung kekuasaan.

Lemahnya Komitmen Politik dan Regulasi

Pencalonan mantan koruptor menunjukkan lemahnya komitmen partai politik dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menegakkan standar etika politik. Seharusnya, rekrutmen calon legislatif menjadi ruang seleksi bagi figur yang bersih, berintegritas, dan berpihak pada rakyat. Namun kenyataannya, banyak partai justru mengutamakan elektabilitas dan jaringan kekuasaan ketimbang moralitas calon.

KPU sendiri sempat berupaya mencegah hal ini dengan Peraturan KPU (PKPU) No. 20 Tahun 2018 yang melarang mantan narapidana korupsi, bandar narkoba, dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak untuk maju sebagai calon legislatif. Sayangnya, aturan tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya yang menilai pelarangan tersebut melanggar hak politik warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

MK memang memberikan sejumlah syarat, seperti masa jeda lima tahun setelah menjalani hukuman, pengakuan terbuka kepada publik, serta bukan pelaku residivis. Namun, secara substansial, putusan ini memperlemah semangat pemberantasan korupsi. Pemerintah seolah bersembunyi di balik alasan konstitusional, tanpa mencari jalan tengah yang tetap menjaga integritas demokrasi.

Turunnya Kepercayaan Publik

Survei Litbang Kompas pada Desember 2022 mencatat bahwa lebih dari 90 persen masyarakat tidak setuju mantan terpidana korupsi kembali ikut Pemilu. Angka ini mencerminkan sikap moral publik yang tegas menolak kompromi terhadap korupsi. Namun, suara rakyat tersebut tampaknya diabaikan.

Hasil riset Indikator Politik Indonesia juga memperlihatkan penurunan kepercayaan publik terhadap lembaga negara. Hanya 49 persen masyarakat percaya pemerintah sungguh-sungguh berkomitmen memberantas korupsi, sementara tingkat kepercayaan terhadap KPU hanya sekitar 60 persen. Fenomena ini menandakan krisis legitimasi, karena lembaga penyelenggara pemilu seharusnya berdiri di atas kepercayaan publik yang kokoh.

Jika kondisi ini terus berlanjut, demokrasi Indonesia akan kehilangan makna moralnya. Pemilu hanya akan menjadi formalitas prosedural tanpa integritas substansial. Demokrasi semacam ini disebut oleh para ilmuwan politik sebagai electoral democracy—demokrasi yang hanya berhenti pada proses, bukan kualitas.

 

Kritik dan Tuntutan Reformasi

ICW dan berbagai organisasi masyarakat sipil menilai bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang seharusnya disikapi dengan hukuman moral yang berat, termasuk larangan kembali ke jabatan publik. Kekhawatiran masyarakat bukan hanya soal masa lalu pelaku, tetapi juga potensi mereka mengulangi praktik korupsi dan memperkaya diri sendiri ketika kembali berkuasa.

Kepercayaan terhadap KPU pun ikut tergerus. Padahal, KPU adalah garda terakhir legitimasi politik. Bila integritasnya diragukan, hasil pemilu pun kehilangan kredibilitas, dan stabilitas politik bisa terancam. Demokrasi yang seharusnya mencerminkan suara rakyat justru berubah menjadi panggung sirkus kekuasaan.

Menjaga Moral Demokrasi ke Depan

Kepercayaan publik adalah fondasi utama demokrasi. Tanpanya, pemerintahan yang terpilih akan kehilangan legitimasi moral. Karena itu, reformasi aturan KPU menjadi kebutuhan mendesak menjelang Pemilu 2029. Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu perlu berani merumuskan regulasi baru yang lebih tegas dan berorientasi pada etika publik.

KPU tidak seharusnya terus berlindung di balik alasan “hak politik warga negara”. Hak politik memang penting, tetapi hak rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang bersih jauh lebih fundamental bagi keberlangsungan demokrasi.

Demokrasi yang baik bukan diukur dari siapa yang menang atau kalah dalam pemilu, melainkan dari seberapa jauh proses politik mampu menjaga integritas dan harapan rakyat. Jika negara gagal menunjukkan ketegasan moral, maka yang tersisa hanyalah demokrasi tanpa jiwa—di mana rakyat menjadi penonton, dan para koruptor kembali menjadi aktor utama di panggung kekuasaan.

Penulis:
Dzaki Ediyansyah — Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik,
Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA