Luthfi Yazid Serukan Reset Negara Hukum Indonesia dalam Kuliah Umum di Unram

waktu baca 3 minutes
Rabu, 24 Sep 2025 12:19 0 Nazwa

JAKARTA | TD — Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI), Dr. TM Luthfi Yazid, S.H., LL.M., menilai bahwa kini adalah momentum yang tepat untuk me-reset atau mengatur ulang sistem negara hukum Indonesia agar kembali kepada prinsip-prinsip dasarnya.

“Apakah kita ingin apa yang terjadi di Nepal juga terjadi di negeri ini, yang katanya menganut prinsip negara hukum? Inilah saatnya untuk me-reset sistem negara hukum Indonesia agar kembali ke relnya,” ujarnya saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, Rabu (24/9/2025).

Pernyataan tersebut disampaikan Luthfi Yazid ketika ditanya soal isu utama yang ia angkat dalam kuliah umum di hadapan ratusan mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mataram (Unram) pada 16 September 2025.

Dalam kuliah umum bertajuk “Negara Hukum: Antara Cita dan Realita”, yang dimoderatori oleh Dr. Hj. Yuliatin, S.H., M.H., dosen senior bidang hukum Unram, Luthfi menyampaikan sejumlah poin penting terkait arah dan kondisi sistem hukum Indonesia saat ini.

Negara Hukum Harus Berdasar Keadilan, Bukan Sekadar Kepastian

Menurut Luthfi, konstitusi Indonesia secara tegas menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Ini menunjukkan bahwa sejak awal, pilihan Indonesia adalah menjadi negara hukum (Rechtsstaat, Rule of Law, Konstitusionalisme), bukan negara kekuasaan (Machstaat).

Ia menambahkan, penting untuk memahami bahwa UUD 1945 tidak hanya menjamin kepastian hukum, tetapi kepastian hukum yang adil, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28D Ayat (1). Menurutnya, ini menegaskan bahwa titik tekan dari hukum di Indonesia semestinya adalah keadilan, bukan semata-mata prosedur atau legalitas.

“Pasal tersebut sejalan dengan cita-cita dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang juga merupakan inti dari sila kelima Pancasila,” jelasnya.

Kritik Mahasiswa: Negara Hukum atau Negara Kekuasaan?

Dalam sesi tanya jawab, sejumlah mahasiswa mempertanyakan relevansi konsep negara hukum di tengah berbagai pelanggaran hukum yang justru dilakukan oleh elit kekuasaan. Mereka mempertanyakan apakah Indonesia benar-benar negara hukum, atau justru sudah berubah menjadi negara kekuasaan.

Beberapa mahasiswa mengungkapkan kegelisahan terhadap realitas hukum yang mereka anggap “tumpul ke atas, tajam ke bawah”, serta banyaknya kasus kriminalisasi terhadap pihak-pihak kritis, terutama selama satu dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Disebutkan pula adanya pengabaian terhadap hukum dalam berbagai kasus korupsi yang melibatkan orang-orang dekat presiden, termasuk menteri dan para pendukungnya. Hal ini, menurut mereka, memperkuat kesan bahwa sistem hukum lebih tunduk pada kekuasaan ketimbang keadilan.

“Apakah keadaan harus ‘di-Nepal-kan’ terlebih dahulu agar kita mau menegakkan hukum dan keadilan secara konsisten? Apakah para pejabat yang pamer kemewahan harus ‘di-Sahroni-kan’ dulu agar sadar?” ujar Luthfi, mengutip pertanyaan kritis dari para mahasiswa.

Suara Gen Z Tak Bisa Diabaikan

Luthfi mengapresiasi kepekaan dan keberanian mahasiswa dalam menyuarakan kegelisahan mereka. Ia menyebut bahwa generasi muda seperti Milenial dan Gen Z memiliki peran penting dalam menjaga idealisme negara hukum.

“Kegelisahan anak-anak muda ini tidak bisa dianggap remeh. Jangan lupa, revolusi di Nepal digerakkan oleh kaum muda,” tandasnya.

Ia menutup pernyataannya dengan mengajak seluruh elemen bangsa, terutama kaum intelektual dan pemuda, untuk meneguhkan kembali komitmen terhadap prinsip negara hukum yang adil, konstitusional, dan berpihak kepada rakyat. (*)

LAINNYA