TAK ADA LAGI yang tahu siapa nama aslinya. Sekarang semua sejawat memanggilnya CU2. Panggilan itu kependekan dari I12CU-n-CU2, nomor induknya ketika mulai bertugas sebagai pemulung waktu. Pemulung waktu? Ya. Mulanya aku sendiri tak percaya. Namun, aku mendapatkan informasi dari sumber yang andal bahwa memang ada profesi itu. Setiap waktu yang sudah digunakan atau dibuang ternyata dipungut, dikumpulkan, disortir, dibersihkan, lalu dialokasikan dan didistribusikan kembali oleh para pemulung waktu. Itulah sebabnya waktu yang sudah terbuang tak ditemukan lagi. Mungkin yang berikut ini satu-satunya berita tentang mereka yang akan pernah kaudengar seumur hidup.
***
Menjadi pemulung waktu itu pekerjaan serius tapi tak bisa dipamerkan. Masalahnya, tak ada orang lain yang mengetahui keberadaan mereka dan perusahaannya, selain para pemulung waktu itu sendiri (setidaknya, sebelum aku dan teman-temanku mengetahuinya). Tapi, itu soal kemudian. Sebelum diterima sebagai pemulung waktu pertama-tama kau harus memenuhi syarat yang cukup sulit.
Menurut informasi yang kudapat, salah satu syarat terberat untuk bekerja sebagai pemulung waktu adalah bersedia dihapus dari ingatan semua orang yang pernah kita kenal, termasuk keluarga, kekasih, dan teman dekat. Sulit, bukan? Pasti. Memangnya, berapa banyak orang yang sanggup menerima kenyataan bahwa tak seorang pun mengingat atau memikirkannya? Berapa banyak orang yang sanggup hidup tanpa memiliki hubungan sosial atau emosional dengan siapa pun? Apa kau sanggup? Aku jelas tidak.
Semua orang tentu ingin berarti bagi orang lain, ingin dibutuhkan. Kalaupun tidak perhatian semua orang, minimal ada satu orang dalam hidup kita yang kita inginkan perhatiannya—yang kita inginkan membutuhkan kita, yang baginya kita begitu berarti, bahkan yang tanpa kita hidupnya menjadi tak berarti. Semakin kita berarti buat orang khusus ini—artinya, semakin dia membutuhkan kita—semakin kita berbahagia. Tentu saja, orang itu tidak harus kekasih. Ia bisa siapa saja yang kita sediakan tempat khusus di hati kita.
Selain syaratnya, sistem perekrutan karyawan Tempus Fugit juga unik. (O, ya, cuma para karyawannya yang tahu nama perusahaan ini.) Tim-tim perekrutan yang diutus perusahaan akan mencari orang-orang yang memenuhi kriteria tertentu, seperti (a) sadar bahwa waktu adalah “benda” imajiner, (b) tidak terikat pada masa lalu, (c) cenderung menghindar atau terputus dari keterikatan emosional dengan siapa pun, dan (d) meyakini bahwa uang atau harta—dan semua hal abstrak yang berhubungan dengan kedua hal itu—adalah mitos.
Mungkin kaukira sangat sulit mencari orang-orang seperti itu. Aku pun mulanya menyangka begitu. Ternyata, tidak. Berkebalikan dari dugaanmu, cukup banyak orang yang memenuhi kriteria itu. Cobalah kaulihat dan amati sekitarmu. Kau pasti segera menemukan satu-dua orang kandidat yang berpotensi memenuhi syarat itu.
Mula-mula, tim perekrutan—atau satu orang perwakilannya—akan mendekati orang yang sudah diamati sebelumnya, yaitu orang yang dianggap memiliki potensi memenuhi syarat. Dengan hati-hati petugas perekrutan akan menawarkan pekerjaan sebagai pemulung waktu. Sepanjang sejarah Tempus Fugit, siapa pun yang ditawari pekerjaan itu selalu dengan refleks menarik tubuhnya agak ke belakang sambil memandangi anggota tim penuh selidik.
Ya. Meskipun para calon rekrut itu memang memandang waktu sebagai sesuatu yang imajiner, mereka tak percaya bahwa ada orang-orang yang demikian “imajinatif” sehingga memilih profesi sebagai pemulung limbah waktu. Terkadang juga sebaliknya: justru karena memandang waktu sebagai sesuatu yang imajiner itulah mereka menganggap mustahil memulungi waktu.
Namun, meskipun sangat jarang, selalu saja akhirnya ada yang tertarik. Nah. Setelah calon rekrut berhasil diyakinkan dan tertarik, barulah mereka dijelaskan syarat, tugas, sistem kerja, serta imbalan yang akan mereka dapatkan. Pada tahap inilah kebanyakan calon rekrut akhirnya menolak bergabung.
Keberatan mereka terutama pada syarat yang disinggung di atas, yaitu “bersedia dihapus dari ingatan semua orang yang pernah mengenal, termasuk keluarga, kekasih, dan teman dekat”. Seperti yang kukatakan tadi, berapa banyak, sih, orang yang sanggup menerima kenyataan bahwa tak seorang pun mengingat atau memikirkannya? Aku, misalnya, kemungkinan kecil bisa hidup—setidaknya, menjalani hidup dengan senang—tanpa kau peduli kepadaku.
“Bagaimana orang sanggup hidup dengan mengetahui bahwa tak seorang pun mengingatnya?” sanggah si calon rekrut.
“Apa bedanya jika diingat pun kau, toh, tak berarti apa-apa bagi mereka?” balik si anggota tim perekrutan.
“Setidaknya, mereka mengenalku, mereka tahu ada aku, seorang manusia yang mereka kenal dan berada dalam kehidupan mereka—betapa pun tak berartinya.”
“Tetaplah hidup meskipun tak berguna?”
“Ya. Ironis, memang.”
“Bagaimana jika kau bisa melakukan sesuatu yang berarti bagi hidup mereka meskipun mereka tak mengingatmu dan kau tak mengingat mereka?”
“Apalah artinya hidup berarti tapi tak diingat dan tak mengingat?”
“Bukankah manusia bisa melakukan kebaikan demi kebaikan itu sendiri, bukan demi perolehan-perolehan yang hanya membesarkan egonya?”
“Ah, mana ada manusia yang mampu melakukan kebaikan tanpa mengharapkan apa pun—betapapun sepelenya kebaikan yang dilakukannya? Apa kalian tak memperhatikan bagaimana orang-orang yang sekadar menambal jalan berlubang pun sudah merasa berhak meminta uang kepada kendaraan yang lewat?”
Perbantahan bisa berlarut-larut bergantung pada kemampuan si calon rekrut berargumentasi—dan sering berakhir dengan penolakan. Namun, jika kemudian si calon rekrut bersedia, obrolan akan dilanjutkan dengan penjelasan tugas dan sistem kerja.
Sebenarnya, tugas mereka sederhana: memunguti waktu yang telah digunakan, dibuang, disia-siakan, tersisa, atau kedaluwarsa. Perangkat khusus tentu akan disediakan untuk itu—dan petugas rekrutmen tidak akan menceritakannya.
Sistem pekerjaan ini bertahap: limbah waktu disetorkan oleh pemulung ke pencatat, lalu ke pengepul, ke penyortir, ke pembersih, ke realokator, hingga ke redistributor. Akan tetapi, itu bukan jenjang karier, melainkan fungsi-fungsi.
Struktur perusahaan Tempus Fugit memang bersifat lateral seperti bintang laut, bukan hierarkis seperti laba-laba. Lagi pula, tak perlu jenjang karier di sini. Tak ada kebutuhan untuk pindah fungsi karena tugas semua fungsi sama sulitnya sekaligus sama mudahnya, sama tanggung jawabnya, dan sama imbalannya. Selain itu, ada sistem gilir fungsi (rolling) sehingga setiap pekerja dipastikan pernah—dan mampu—bertugas pada fungsi yang mana pun.
Tunggu, tunggu dulu. Mungkin kau menduga tak ada yang berminat bekerja tanpa jenjang karier seperti itu. Faktanya, sebagaimana kau tahu, tak ada waktu yang tersisa atau terbuang yang bisa ditemukan lagi, bukan? Ya. Itu karena ternyata ada orang-orang yang akhirnya bersedia bekerja pada Tempus Fugit—satu-satunya perusahaan pemulung waktu di semesta yang sudah beroperasi sejak manusia belum menemukan konsep waktu.
Bagaimana dengan imbalannya? Karena mereka meyakini bahwa uang atau harta dan semua hal abstrak yang berhubungan dengan keduanya adalah mitos, imbalannya pasti bukan uang atau harta. Imbalannya adalah keterbebasan dari segala kebutuhan nutrisi (tak perlu makan dan minum), kebutuhan biologis (tak perlu kencing, berak, seks), dan tak terkena kelelahan atau kebosanan.
Kenapa? Kau tak percaya orang bisa hidup tanpa makan dan seks? Ah, otakmu!
O, ya, satu hal yang penting: mereka hidup abadi karena mereka menjadi entitas-entitas yang “mengatasi” sekaligus “berada di dalam” waktu, tetapi tidak terikat waktu. Namun, karena mereka tak memiliki ikatan emosional dengan masa lalu dan masa depan, kehidupan abadi itu pun tak terlalu berarti karena kau tahu hidup abadi hanya berarti ketika masih ada ikatan emosional dengan masa lalu dan masa nanti. Konon, itulah yang membuat sebagian agama mengembangkan konsep surga dan neraka yang abadi.
Nah. Setelah terjadi kesepakatan dan penandatanganan kontrak, tahap berikutnya adalah pelatihan. Setiap rekrut akan dilatih sebanyak dua kali pemulungan—atau tugas lain sesuai fungsi yang ditetapkan perekrutnya. Kalau diukur dengan waktu yang kita gunakan, durasi dua kali pemulungan itu sebanding dengan dua atau tiga hari saja. Memang, pelatihannya tak perlu waktu lama karena tugasnya pun relatif sederhana, bisa dikuasai dalam dua kali latihan.
Para pemulung waktu tak perlu ijazah atau keterampilan apa pun untuk mulai bekerja. Ini mirip dengan bekerja di lini produksi sebuah pabrik. Di lini produksi pabrik sepatu, misalnya, semua yang kita pelajari di sekolah selama belasan tahun tak bermanfaat apa-apa ketika tugas kita hanya menempelkan hak sepatu yang bisa dipelajari dalam pelatihan satu jam saja.
Bagaimana dengan mereka yang kemudian menolak menandatangani kontrak? Ingatan mereka seputar percakapan dengan tim perekrutan akan dihapus. Kau ingat film Man in Black, kan? Di film itu, Will Smith dan Tommy Lee Jones menggunakan alat yang memancarkan sinar menyilaukan untuk menghapus ingatan orang. Nah, TF (Tempus Fugit) menggunakan teknologi serupa, tetapi tidak demonstratif seperti itu. Salah seorang anggota tim perekrutan cukup menjentikkan jempol dan jari tengahnya, maka ingatan yang dimaksud pun langsung hilang. Itu karena peranti MR (memory remover) itu sudah diimplan di jari-jari mereka.
Setelah ingatan perekrutan dihapus, ingatan rekrut gagal itu akan kembali ke saat sebelum bertemu tim perekrutan dan berlanjut dari sana.
***
CU2 bergabung dengan TF sudah sembilan ratus pemulungan. Ia direkrut dalam perjalanan pulang setelah membuat limbah waktu yang lumayan menggunung dengan duduk sendiri di sebuah kafe setelah diputuskan pacarnya. Ia masih kelas 1 SMA ketika itu, tetapi sudah demikian mahir menghamburkan waktu dengan bengong dan melamun.
Kau tahu kenapa orang yang tidak melakukan kegiatan yang berarti merasakan waktu berjalan lambat? Sebenarnya, tidak demikian. Hanya, cara kerja waktu memang membuat orang merasa seperti itu. Berkebalikan dengan pemahaman subjektif manusia, waktu justru berjalan lambat ketika seseorang sibuk dan berjalan cepat ketika seseorang tak memiliki kesibukan.
Begini. Ketika seseorang sibuk, waktu secara otomatis melambat agar orang bisa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dengan melakukan sebanyak-banyaknya hal dalam rentang yang singkat. Sebaliknya, ketika seseorang tidak sibuk, waktu secara otomatis melaju agar orang segera tiba pada titik ketika dia bisa memanfaatkan waktunya dengan sebaik-baiknya.
Seperti kebanyakan rekrut lainnya, CU2 pun mulanya bimbang ketika mendengar syarat yang harus dipenuhi. Namun, setelah diingatkan tentang pemborosan waktu yang dilakukannya sendiri saat itu dan kesempatan menyediakan cukup waktu bagi orang-orang yang membutuhkan—sebagai tindakan kebaikan yang berarti bagi orang lain—CU2 yang sedang gamang itu pun langsung bersedia menandatangani kontrak.
Selama sembilan ratus pemulungan masa kerjanya itu CU2 pernah ditugaskan hampir di mana saja: di rumah, sekolah, restoran, kafe, terminal, stasiun, bandara, halte bus, klinik, rumah sakit, pabrik, kantor perusahaan, dan kantor lembaga pemerintah. Dari semua tempat itu, salah satu tempat yang paling menghibur CU2 adalah kantor lembaga pemerintah. Bukan hanya karena volume limbah waktu yang dihasilkannya sangat besar, melainkan juga karena berbagai cara yang digunakan untuk menghasilkan limbah waktu itu.
Sejak populernya media sosial, para pegawai di sana mendapatkan cara baru menghamburkan waktu: dengan menulis atau membacai status orang di Facebook, Instagram, atau grup-grup Whatsapp. Ada juga yang bermain gim daring. Pada saat yang sama, deretan orang yang memerlukan pelayanan mereka pun asyik mengantre sambil membuat limbah waktu dengan menggerundel, berniat mengadukan pelayanan yang lambat itu ke lembaga penertiban aparatur negara, atau berkhayal melakukan kudeta dan meledakkan kantor itu. Namun, biasanya ujung-ujungnya sama saja: mereka pun sama asyiknya menulis atau membacai status orang di Facebook, Instagram, atau Whatsapp.
Tempat lainnya yang menghasilkan banyak limbah waktu adalah di sekitar mereka yang selalu ragu mengambil keputusan, baik keputusan personal maupun keputusan manajerial. Setidaknya ada tiga kalangan yang termasuk kategori orang-orang yang paling banyak menghasilkan limbah waktu: mereka yang ragu menyatakan cintanya sampai gebetannya terburu disambar orang, mereka yang berencana menjalankan bisnis tetapi tak kunjung memulai, dan mereka yang berharap pemerintah membuat kebijakan yang menguntungkan rakyat.
Tanpa mereka ketahui, dibutuhkan lebih banyak pekerja untuk membersihkan limbah waktu mereka. Terkadang, bahkan diperlukan satu tim dengan fungsi lengkap—mulai pemulung hingga redistributor—untuk bekerja langsung di lokasi agar orang-orang itu bisa segera mendapatkan kembali waktu yang mereka buang—setelah disortir dan dibersihkan, tentunya. Sialnya, sering kali distribusi waktu tambahan itu pun berkali-kali langsung disia-siakan menjadi limbah lagi.
***
Karena imbalan yang mereka terima, para pemulung waktu tentu tidak memerlukan istirahat atau libur—dan memang tak pernah ada pemulung waktu yang tidak bekerja, baik di tempat-tempat yang dihuni manusia maupun tidak.
Di tempat-tempat yang dihuni manusia tentu saja para pemulung waktu mengumpulkan limbah waktu yang dibuang atau disia-siakan manusia, baik di ruang-ruang publik maupun di kamar-kamar privat. Di tempat-tempat yang tidak dihuni manusia para pemulung waktu mendistribusikan tambahan alokasi waktu untuk berbagai hal, termasuk untuk peninggalan sejarah peradaban manusia, seperti kuil, candi, istana, benteng, dan artefak-artefak yang tertimbun di bawah tanah atau tenggelam di dasar laut. Selain peninggalan sejarah peradaban manusia, para pemulung waktu juga menambah alokasi waktu buat fosil-fosil makhluk purbakala dan kekayaan alam yang tidak terjamah manusia.
Meskipun tidak memerlukan liburan, mereka tetap mendapatkan hiburan. Siapa bilang mereka tak punya hiburan? Hiburan bagi para pemulung waktu cukup sederhana. Mereka sudah cukup terhibur menonton manusia melakukan pekerjaan-pekerjaan rutin yang secara otomatis mengulang-ulang cara yang sama dalam menghamburkan waktu. Tapi, biasanya tontonan itu tak berlangsung lama karena timbunan limbahnya segera menggunung dan perlu dipulung untuk memberikan ruang bagi timbunan limbah waktu berikutnya.
Kalau limbah waktu itu berupa kenangan, terkadang mereka melihat-lihat dulu kenangan-kenangan yang telah dibuang manusia, lalu tersenyum, ikut tertawa, jengkel, atau terharu menonton kenangan-kenangan itu. Meskipun hanya sekejap, mereka cukup senang. Kenangan-kenangan itu kemudian mereka serahkan ke petugas lain untuk disortir, dibersihkan, lalu dimasukkan ke dalam tabung-tabung penyimpanan khusus. Simpanan waktu itu nanti dikirim ke bagian realokasi.
***
Pada dasarnya, alokasi waktu yang diberikan kepada setiap orang itu sama rentangnya, begitu juga alokasi waktu tambahan yang selalu tersedia bagi setiap orang. Jadi, ungkapan “waktu yang hilang tak akan kembali” itu sebenarnya tidak tepat: waktu selalu dialokasikan kembali sebagai kesempatan kedua, ketiga, dan seterusnya.
Namun, memang banyak hal yang membuat jatah waktu dan tambahannya itu tersia-sia lagi dan menjadi limbah—atau malah racun—baik disengaja maupun tidak, baik karena sebab alami maupun sebab manusiawi. Alokasi waktu untuk hidup, misalnya. Meskipun setiap orang mendapatkan alokasi waktu yang sama, berbagai virus, kelainan bawaan, degradasi fisik yang terlalu cepat, kecelakaan, pembunuhan, dan perang banyak membuat orang tidak sempat menghabiskan jatah waktunya. Tentu saja, tugas para pemulung waktulah mengumpulkan waktu yang tersisa untuk dialokasikan kepada orang atau tempat lain yang membutuhkan.
Selain alokasi awal yang sama, terkadang alokasi-alokasi waktu disediakan dalam berbagai ukuran besar untuk kondisi-kondisi tertentu. Misalnya, beberapa tabung besar dialokasikan bagi para penderita kanker payudara untuk berjuang menyelamatkan dirinya, beberapa tabung besar buat pasutri yang sedang terlanda badai rumah tangga, juga beberapa tabung besar untuk seorang kepala negara sebelum memutuskan tindakan konyol menindas rakyatnya atau berperang dengan negara lain. Untuk kondisi-kondisi seperti itu, sebenarnya ada perlakuan khusus. Ya. Sebenarnya, mereka bisa mendapatkan alokasi waktu tambahan terus menerus, nyaris tak hingga, jika mereka tahu cara mendapatkan dan memanfaatkannya.
Tampaknya, memang sangat sedikit manusia yang menyadari bahwa mereka berhak atas alokasi waktu tambahan. Sebagiannya malah tak percaya bahwa ada alokasi waktu tambahan yang disebut kesempatan kedua, ketiga, dan seterusnya itu. Karena tidak menyadari—atau tidak percaya—mereka cenderung langsung menyerah setelah sekali gagal, lalu berhenti berusaha atau beralih ke hal lain, seolah-olah, jika sekali gagal, tak ada gunanya mencoba lagi.
“Sekali terjerumus ke selokan, jangan pernah lagi terjerumus ke selokan yang sama,” kata seseorang.
“Kalau begitu, boleh, dong, terjerumus ke selokan yang lain?” sanggah yang lain.
“Jangan pernah lagi terjerumus ke selokan,” jawab seseorang itu, memperbaiki kalimatnya.
“Kalau ke sumur?”
“Jangan pernah lagi terjerumus!”
“Kalau ….”
“Jangan!”
Mereka tidak tahu bahwa alokasi waktu tambahan tidak diberikan agar mereka terjerumus lagi—ke dalam apa pun—melainkan agar mereka bisa keluar dari lubang tempat mereka terjerumus, lalu menutup lubang itu agar tak ada lagi yang terjerumus ke sana.
Tokoh yang terkenal mampu memanfaatkan alokasi waktu tambahan mungkin Thomas Alpha Edison. Konon, setelah “seribu kali” gagal menemukan lampu pijar, dia ditanya, “Bagaimana rasanya seribu kali gagal?” Dengan pedenya dia menjawab, “Saya tidak pernah gagal. Saya menemukan seribu cara yang tidak berfungsi.” Angka seribu itu pasti lebay, tetapi tentu kau mengerti hikmah kisah itu, bukan? O, ya, konon juga Edison tidak menemukan lampu pijar—dia hanya memproduksi dan memasarkannya. Entahlah. Aku pernah mendengar begitu.
Dalam hal alokasi waktu berupa kesempatan berusaha, jatah yang sama untuk setiap orang kerap dirusak para penguasa sistem perekonomian dan pejabat pemerintahan yang merebut atau mempersempit kesempatan para pengusaha kecil. Akibatnya, kesempatan berusaha para pengusaha kecil kerap menjadi limbah yang bertumpuk-tumpuk karena lama menunggu perizinan atau menunggu turunnya kucuran dana bantuan. Itu belum lagi ditambah limbah waktu dari kegagalan kalkulasi pasar dan kesulitan mendapatkan waktu audiensi dengan para pejabat yang harus dilobi.
Limbah waktu yang berasal dari kesia-siaan sebuah sistem yang terstruktur biasanya berwarna hitam, lengket, berminyak, dan anyir—sama seperti limbah waktu yang berasal dari kebencian, fitnah, hasad, hasut, perisakan, dan berita dusta. Untuk limbah-limbah seperti itu, biasanya para pemulung bersegera memasukkan ke tabung khusus untuk limbah beracun dan langsung mengirimkannya ke bagian pembersihan. Tak seorang pun pemulung waktu yang berminat melihat-lihat dulu. Bukan karena khawatir racunnya akan menjangkiti mereka—mereka kalis terhadap segala racun dan penyakit—melainkan agar tak tumpah dan mencemari manusia lainnya.
Karena itu, lebih baik limbah itu segera disortir, dibersihkan, lalu dialokasikan kembali sebagai tambahan waktu bagi mereka yang membutuhkan. Itu sebabnya, betapa kuat pun para penguasa sistem dan pejabat menekan dan menjegal, mereka yang tertindas akan terus melawan karena selalu mempunyai tambahan alokasi waktu dalam bentuk harapan.
***
Di kalangan pemulung waktu sendiri tidak dikenal konsep waktu dengan pembagiannya sebagaimana berlaku di kalangan manusia lainnya. Tidak ada ungkapan “waktu yang hilang tak akan kembali” karena pada prinsipnya waktu tidak ada bagi mereka—karena itu, tidak bisa hilang atau kembali.
Konon, di dunia mereka, waktu yang berlaku di kalangan manusia atau penghuni semesta lainnya tampak seperti sebuah lanskap yang terbuka sepenuhnya, tanpa awal, tanpa akhir. Meskipun mereka bekerja di wilayah-wilayah yang mengenal waktu berdasarkan pergerakan benda-benda angkasa, mereka sendiri tidak terpengaruh. Mereka memang mengenal konsep seperti pagi-siang-sore-malam. Mereka juga mengenal konsep seperti detik-menit-jam dan hari-minggu-bulan-tahun. Namun, itu hanya jika mereka bekerja di wilayah-wilayah semesta yang mengenal konsep pembagian waktu seperti itu. Perlu kautahu, berbagai kebudayaan di semesta ini memiliki konsep waktu dan pembagiannya masing-masing. Tentu saja, semua konsep waktu itu tidak berpengaruh pada kegiatan para petugas TF.
***
Fasilitas lain yang didapat para pemulung waktu adalah kesempatan melihat-lihat catatan alokasi dan distribusi waktu—juga realokasi dan redistribusinya. Semua data alokasi waktu dan distribusinya untuk semua makhluk dan setiap benda sejak awal waktu tersimpan dengan baik dalam arsip virtual yang bisa diakses dari mana pun dan kapan pun. Tentu saja, yang bisa mengaksesnya hanyalah para pemulung waktu—setidaknya, hingga beberapa waktu lalu.
Ketika dua ilmuwan Prancis, Pierre Teilhard de Chardin dan Édouard le Roy, menggagas konsep noosphere pada tahun 1920-an, sempat muncul kekhawatiran di bagian teknologi TF. Kedua peneliti itu tanpa sadar telah menyentuh konsep arsip virtual yang digunakan TF. Menurut de Chardin dan le Roy, selain lingkungan berupa kesatuan hidup yang membentuk biosfer (physical sphere), bumi juga memiliki lingkungan kesatuan mental (mental sphere) yang berisi pikiran dan kesadaran manusia. Kedua konsep lingkungan yang terangkum dalam istilah noosphere itu merupakan kesatuan yang membentuk keseluruhan sistem kehidupan di bumi.
Konsekuensi gagasan mereka adalah bahwa ruang atmosfer yang tampak kosong itu, selain terisi gelombang-gelombang radio, juga memuat gelombang-gelombang pikiran dan kesadaran manusia plus informasi tentang peristiwa yang sudah terjadi sejak terbentuknya semesta hingga apa yang akan terjadi saat kehancurannya kelak. Ya. Sebagaimana bagian-bagian lain di alam semesta, Bumi juga menyimpan seluruh unsur dan informasi alam semesta. Jadi, jika orang bisa menala frekuensi otaknya sesuai dengan frekuensi informasi yang ada di noosphere—atau memiliki perangkat untuk itu—dia akan bisa mengakses informasi tentang peristiwa apa pun, di mana pun, dan kapan pun, baik yang sudah terjadi, sedang terjadi, maupun yang belum terjadi.
Belakangan ini, konsep yang mirip dengan noosphere diajukan ilmuwan kelahiran Iran, Nassim Haramein, dengan teori connected universe-nya. Mirip dengan de Chardin dan le Roy, Haramein juga mengatakan bahwa ruang kosong di alam semesta ini tidak kosong, melainkan penuh terisi informasi. Bagi Haramein, kekosongan adalah unsur terpenting di alam semesta karena 99,999 persen “isinya” justru berupa kekosongan. Kekosongan itu sendiri adalah informasi—dan sumber energi. Konsekuensi gagasan Haramein ini sama dengan konsekuensi gagasan de Chardin di atas.
Nah. Kedua teori itu sempat menimbulkan keresahan di TF. Ada kekhawatiran bahwa nanti manusia bisa mengakses gelombang informasi virtual dan mengetahui keberadaan mereka. Mereka pun segera melakukan antisipasi. Para ahli teknologi waktu di TF langsung melakukan penelitian untuk mengembangkan teknologi baru yang bisa melindungi keberadaan mereka. TF jelas tak ingin manusia tahu keberadaan mereka, terutama mengingat kecenderungan manusia untuk memanfaatkan apa pun untuk tujuan-tujuan egoistik dan eksploitatifnya. TF harus segera mencari inovasi agar kerahasiaannya tetap terjaga. Syukurlah, setahu TF, hingga kini belum ada penelitian yang mengarah pada kemungkinan terbongkarnya teknologi yang mereka gunakan.
TF memang tidak mengetahui bahwa salah aku dan rekan-rekanku membentuk sebuah tim independen yang berhasil mengembangkan teknologi berdasarkan gabungan teori Chardin dan Haramein itu. Memang teknologinya belum berhasil dikembangkan secara penuh. Rentang waktu yang bisa kami akses baru beberapa tahun ke depan dan ke belakang. Namun, itu sudah cukup bagiku. Melalui teknologi itulah aku bisa “mengintip” apa yang akan terjadi di antara kita dan kulihat, betapa pun berliku-likunya jalan hidup yang kita tempuh, pada akhirnya kita akan bersatu.
***
O, ya, jarang sekali orang yang menyadari bahwa dalam setiap kegiatannya selalu ada para pemulung waktu yang bersiap-siap di sekitarnya—termasuk ketika seseorang membaca beritaku ini.
*****