TANGERANG | TD – Berbeda dengan Rusia dan Uganda dalam menyikapi persoalan LGBTQ, pemerintah Indonesia mempunyai sikap lebih moderat dalam kebijakannya.
Tercermin dari ucapan Mahfud MD beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa keberadaan kaum LGBT tidak mungkin dihindari. Namun, Mahfud tetap memberikan sinyal merah terhadap perilaku LGBT yang menyimpang tersebut.
“Yang dilarang kan perilakunya,” ucap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI tersebut dikutip dari Tangerang Daily 22 Mei 2023.
“Orang LGBT itu diciptakan oleh Tuhan. Oleh sebab itu tidak boleh dilarang,” lanjutnya.
Mahfud kemudian menjelaskan bahwa pemerintah pusat Indonesia sedang mempersiapkan Undang-Undang untuk menekan adanya perilaku menyimpang yang kerap menjadi perilaku LGBT.
Yakni berdasarkan hubungan seksual tanpa pernikahan, dan juga yang melibatkan anak di bawah umur. Undang-Undang tersebut dipersiapkan untuk disahkan pada tahun 2026.
Sedangkan untuk saat ini, keberadaaan kaum LGBTQ di Indonesia terlindungi dengan adanya Pasal 28 E ayat 2 dan J ayat 2 Undang-Undang Dasar 45 yang memberikan ruang bagi setiap individu untuk mempunyai keyakinan dan bersikap sesuai hati nuraninya, serta kewajiban untuk saling menghormati hak-hak hidup.
Hal yang sama tercantum dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak asasi tanpa diskriminasi apapun. Termasuk kaum LGBTQ dengan orientasi seksual atau identitas gendernya.
Sedangkan KUHP Pasal 292 merupakan Undang-Undang yang membatasi perilaku yang dapat merugikan kepentingan umum. Peraturan ini memberikan jerat bagi mereka yang melakukan perbuatan cabul, termasuk hubungan seksual dengan sesama jenis dan juga yang melibatkan anak di bawah umur. Namun, pasal ini tidak akan menjerat bagi sesama orang dewasa dengan jenis kelamin sama yang melakukannya.
Pasal lainnya, yakni KUHP Pasal 281 memberikan batasan perilaku agar tidak ada kaum LGBTQ yang melakukan perbuatan cabul di muka umum. Perbuatan-perbuatan tersebut adalah berciuman, berpelukan, atau berpegangan tangan di tempat terbuka.
Mengenai sikap terhadap kaum LGBTQ di daerah, ruang pemerintah di daerah dapat bersifat lain terkait otonominya. Aceh misalnya. Perda Provinsi Aceh No 6 Tahun 2014 mengenai Hukum Jinayat mengemukakan larangan hubungan seksual sesama jenis dengan ancaman hukuman cambuk atau denda. Perda ini didasarkan pada syariat Islam yang mengelompokkan LGBT sebagai dosa besar yang harus dihukum.
Kabupaten Banjar di Kalimantan Selatan juga mempunyai perda semacam. Perda Kabupaten Banjar No 5 Tahun 2017 tentang Ketertiban Umum memasukkan hubungan seksual sesama jenis sebagai tindakan asusila yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan adat istiadat masyarakat Banjar dan harus ditangkal.
Mengenai jumlah daerah yang berusaha membatasi perilaku menyimpang dari LGBTQ tersebut, terdapat setidaknya 22 daerah yang dalam peraturannya berusaha membatasi bahkan memberantas keberadaan LGBTQ.
Dalam peraturan-peraturan tersebut bahkan telah disebutkan kata homoseksualitas dan waria secara eksplisit. Hal ini ada dalam catatan survei Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).
Bahkan, dikutip dari bbc, salah satu kepala pemerintah daerah, yakni Walikota Bogor Bima Arya telah mengatakan di depan publik bahwa pihaknya berniat memberantas LGBT hingga ke akar-akarnya.
“Kami berikhtiar bersama DPRD membuat regulasi yang jelas, kuat, dan kokoh agar LGBT bisa diberantas sampai ke akar-akarnya,” ucap Bima Arya. Niat tersebut merupakan jalan yang ia tempuh untuk mengatasi kegiatan maksiat dan prostitusi daring yang marak terjadi.
Sosialisasi mengenai perilaku LGBT yang telah dianggap merusak moral masyarakat dan identik dengan penyakit HIV/AIDS pun semakin memperburuk stigma terhadap kaum dengan orientasi seksual ini.
Bahkan, penelitian pada tahun 2016 yang bertajuk Kriminalisasi Merayap yang diterbitkan salah satu lembaga swadaya masyarakat, yakni Outright Action International, mengungkapkan kekerasan diskriminatif terhadap kaum LGBTQ telah lama dianggap bukan kekerasan. (*)