Lelucon yang Tak Lucu: Menyoal Batas Humor dan Tanggung Jawab Publik Figur di Era Digital

waktu baca 4 menit
Rabu, 4 Des 2024 14:44 0 162 Redaksi

OPINI | TD — Insiden yang melibatkan Gus Miftah dan seorang penjual es teh di Magelang pada 20 November 2024 bukanlah sekadar peristiwa remeh temeh yang dapat diabaikan begitu saja. Lebih dari sekadar permintaan maaf, insiden ini menyoroti isu krusial mengenai batas-batas humor dalam komunikasi publik, terutama bagi figur publik yang memiliki pengaruh luas, khususnya di era digital yang serba cepat dan rentan terhadap penyebaran informasi yang tidak terverifikasi.

Peristiwa ini menjadi cermin yang menyayat, menunjukkan betapa mudahnya humor dapat berubah menjadi senjata yang melukai dan menghancurkan citra, baik bagi individu yang menjadi sasaran maupun bagi figur publik yang melontarkannya.

Mencari Batas Antara Humor dan Penghinaan

Argumentasi yang menyebut ucapan Gus Miftah sebagai bagian dari candaan dan spontanitas merupakan pembenaran yang lemah dan tidak dapat diterima. Memang benar, humor sering kali muncul secara spontan dan tak terduga. Namun, kebebasan berekspresi bukanlah lisensi untuk menghina dan merendahkan orang lain. Batas antara humor yang sehat dan penghinaan terletak pada niat dan dampaknya.

Humor yang baik bertujuan untuk menghibur, menyatukan, dan menciptakan suasana positif yang inklusif. Humor yang sehat menghargai perbedaan dan tidak merendahkan siapapun. Sebaliknya, humor yang melewati batas didasarkan pada niat untuk merendahkan, melecehkan, atau bahkan mempermalukan seseorang.

Ucapan Gus Miftah, yang terang-terangan menggunakan kata-kata kasar dan menghina penjual es teh, jelas masuk dalam kategori yang terakhir. Tidak ada pembenaran apapun yang dapat diutarakan untuk tindakan yang merendahkan martabat manusia.

Gaya Dakwah Bukan Jaminan Imunitas dari Kesalahan

Pernyataan pembelaan yang mengaitkan gaya dakwah Gus Miftah sebagai alasan pembenar juga patut dipertanyakan. Memang, keterdekatan dengan masyarakat dan gaya komunikasi yang informal merupakan hal yang positif dalam konteks dakwah.

Namun, keintiman tersebut sama sekali tidak boleh menjadi justifikasi untuk perilaku yang tidak etis dan merendahkan. Justru, kedekatan dengan masyarakat seharusnya membuat seorang pendakwah lebih sensitif dan peka terhadap perasaan orang lain, lebih bijak dalam memilih kata-kata, dan lebih berhati-hati dalam menyampaikan pesan.

Dakwah yang efektif bukanlah dakwah yang mengandalkan humor kasar dan penghinaan, melainkan dakwah yang berlandaskan kasih sayang, empati, dan rasa hormat yang tulus kepada setiap individu, tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi mereka. Gaya dakwah yang kontroversial, sekalipun disukai oleh sebagian orang, tidak boleh mengorbankan nilai-nilai dasar etika dan moralitas.

Dampak Viral dan Tanggung Jawab Media Sosial

Insiden ini juga mengungkap betapa besarnya pengaruh media sosial dalam membentuk opini publik dan menyebarkan informasi, baik yang benar maupun yang salah.

Video viral tersebut dengan cepat menyebar dan memicu reaksi yang beragam, menunjukkan betapa rentannya opini publik terhadap informasi yang belum terverifikasi.

Hal ini menekankan pentingnya literasi digital dan tanggung jawab pengguna media sosial dalam menyikapi informasi yang beredar.

Kita perlu lebih kritis dan bijak dalam menilai konten yang kita konsumsi dan sebarkan, agar tidak ikut serta dalam menyebarkan ujaran kebencian, informasi yang menyesatkan, atau konten yang merendahkan martabat orang lain.

Platform media sosial juga perlu meningkatkan upaya untuk moderasi konten dan mencegah penyebaran informasi yang berpotensi menimbulkan perpecahan dan kebencian.

Kesimpulan: Perlunya Refleksi dan Perubahan

Kasus Gus Miftah bukanlah semata-mata tentang permintaan maaf. Ia merupakan panggilan untuk introspeksi diri bagi seluruh figur publik, untuk lebih bijak dalam berucap dan bertindak, serta untuk lebih bertanggung jawab atas dampak dari setiap kata dan tindakan mereka. Humor boleh ada, tetapi bukan dengan mengorbankan martabat dan harga diri orang lain.

Lebih dari itu, insiden ini menjadi pengingat akan pentingnya etika komunikasi publik di era digital yang penuh tantangan ini. Kita semua, baik figur publik maupun masyarakat biasa, harus berperan aktif dalam menciptakan ruang publik yang lebih inklusif, ramah, dan menghormati setiap individu, terlepas dari status sosial, profesi, atau latar belakang mereka.

Permintaan maaf Gus Miftah adalah langkah awal yang penting, tetapi tindakan nyata untuk memperbaiki kesalahan dan mencegah kejadian serupa di masa depan jauh lebih krusial. Peristiwa ini harus menjadi momentum untuk memperbaiki cara kita berkomunikasi di ruang publik, menciptakan lingkungan yang lebih beradab dan menghormati setiap manusia. Hanya dengan demikian, kita dapat membangun masyarakat yang lebih baik dan lebih adil.

Penulis: Shintia Verlita Salsabila, mahasiswi Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten. (*)

LAINNYA