OPINI | TD – Kehidupan manusia di dunia tidak terlepas dari kebaikan dan kesalahan. Kebaikan adalah warisan berharga yang tidak dapat dibeli atau dipinjam, melainkan diperoleh melalui proses pendidikan, pengajaran, dan pembiasaan. Proses ini umumnya dimulai dalam lingkungan keluarga, di mana nilai-nilai moral dan etika ditanamkan. Dalam perspektif Islam, kebaikan diartikan sebagai budi pekerti yang baik, atau akhlak mulia, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi Muhammad SAW: “Budi pekerti yang baik sering disebut dengan akhlak, sedangkan kesalahan atau dosa adalah perbuatan yang menyesakkan dada dan yang kita sendiri benci jika perbuatan itu diketahui oleh orang lain” (H.R. Muslim).
Dalam hadits tersebut, Nabi Muhammad SAW menekankan bahwa kebaikan dalam Islam berkaitan dengan akhlak yang baik, yang mencakup beberapa aspek penting, antara lain:
1. Berbuat baik kepada Allah SWT: Ini berarti menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Hubungan kita dengan Allah tidak hanya sebatas ibadah ritual, melainkan juga mencakup penghayatan nilai-nilai keimanan dalam setiap aspek kehidupan.
2. Berbuat baik kepada sesama manusia: Menghormati, membantu, dan berinteraksi dengan orang lain secara positif adalah bagian dari akhlak mulia. Setiap amal baik yang kita lakukan kepada orang lain akan berkontribusi pada kebaikan sosial dan menciptakan keharmonisan dalam masyarakat. Dalam konteks ini, kita diajarkan untuk bersikap empati dan saling menghargai, mengingat bahwa setiap individu memiliki latar belakang dan perjuangan masing-masing.
3. Berbuat baik kepada lingkungan sekitar: Kesadaran terhadap lingkungan dan menjaga kelestariannya adalah bagian dari tanggung jawab kita sebagai makhluk hidup yang saling berinteraksi. Dalam Islam, menjaga lingkungan adalah wujud nyata dari keikhlasan kita terhadap ciptaan Allah. Setiap tindakan yang berdampak positif terhadap lingkungan, seperti mengurangi sampah, menanam pohon, dan menjaga kebersihan, adalah bentuk ibadah yang sangat diperhitungkan di sisi Allah.
Perjalanan hidup manusia dimulai dari saat bangun tidur hingga kembali tidur. Setiap tindakan kita selama 24 jam sehari terdokumentasi dengan baik. Suatu saat, ketika kita kembali menghadap Allah, semua perbuatan kita akan diperlihatkan. Ini adalah gambaran perjalanan kehidupan kita, yang sering disebut sebagai kurikulum kehidupan. Kurikulum ini mencakup berbagai rencana dan visi misi yang ingin dicapai manusia dalam hidupnya. Komponen utama dari kurikulum kehidupan terdiri dari empat elemen berikut:
1. Tujuan Hidup Manusia: Menetapkan tujuan yang jelas adalah langkah awal dalam mencapai kebaikan. Tanpa tujuan, kita akan tersesat dalam perjalanan hidup. Tujuan hidup bukan hanya tentang pencapaian materi, tetapi juga tentang bagaimana kita ingin dikenang dan apa warisan yang ingin kita tinggalkan untuk generasi mendatang.
2. Isi atau Materi Kehidupan: Ini mencakup pengetahuan, pengalaman, dan nilai-nilai yang kita pelajari sepanjang hidup. Hal ini haruslah sejalan dengan tujuan hidup yang telah ditetapkan. Penting untuk terus mengupdate dan memperkaya isi hidup kita dengan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, baik melalui pendidikan formal maupun informal.
3. Strategi untuk Mencapai Kebaikan: Merumuskan rencana tindakan yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan hidup. Ini termasuk pengembangan diri melalui pendidikan dan pelatihan. Dalam konteks pendidikan, proses pembelajaran tidak hanya di kelas, tetapi juga melalui pengalaman hidup sehari-hari. Kita perlu membuka diri terhadap berbagai kemungkinan dan selalu siap untuk belajar dari kesalahan.
4. Evaluasi Kehidupan: Penting untuk selalu melakukan evaluasi terhadap setiap tindakan dan keputusan yang diambil. Dengan evaluasi, kita dapat memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas hidup. Melalui refleksi, kita bisa lebih memahami diri sendiri, mengenali kekuatan dan kelemahan, serta mencari cara untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Dalam konteks perjalanan hidup, keikhlasan adalah komponen utama yang harus dipegang, yaitu sikap tulus dalam berbuat kebaikan. Ikhlas berasal dari kata “akhlasho yukhlishu”, yang berarti membersihkan dan memurnikan. Setiap tindakan, terutama ibadah, seharusnya didasari oleh keikhlasan. Kata ikhlas itu sendiri mencerminkan ketulusan hati dan kerelaan, di mana seseorang yang ikhlas akan selalu berusaha mengosongkan dan membersihkan hatinya dari niat yang tidak baik.
Keikhlasan adalah sikap tulus, bersih dari niat yang tidak baik, serta tidak mengharapkan imbalan atau pujian dari manusia. Dalam Islam, keikhlasan merupakan tujuan utama dari setiap ibadah. Prinsip utama keikhlasan dalam kehidupan dapat dirumuskan sebagai perbuatan baik yang dilakukan tanpa mengingat apa yang telah dilakukan. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
Hadits lain menekankan bahwa Allah menilai keikhlasan hati manusia: “Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk tubuhmu, dan tidak pula menilai kecantikan wajahmu, tetapi Allah melihat keikhlasan hatimu” (H.R. Muslim).
Dalam kitab Madarijus Sholikin, Ibn Qoyyim Al-Jauziyah mengelompokkan keikhlasan dalam beberapa kategori:
1. Tidak melihat amal sebagai amal: Seseorang yang ikhlas tidak menganggap amal yang dilakukannya sebagai sebuah prestasi yang harus dipamerkan. Amal yang tulus tidak memerlukan pengakuan dari orang lain, karena fokusnya adalah pada relasi dengan Allah.
2. Tidak mencari imbalan dari amal: Keikhlasan terletak pada niat murni untuk berbuat baik tanpa mengharapkan imbalan, baik dari sesama manusia maupun dari Allah. Tindakan baik yang dilandasi dengan ketulusan akan mendatangkan ketenangan batin.
3. Tidak merasa puas dengan amal yang dilakukan: Rasa puas dapat menjadi penghalang bagi pengembangan diri. Oleh karena itu, seseorang harus selalu berusaha untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas amalnya. Kesadaran bahwa setiap amal baik adalah kesempatan untuk belajar dan tumbuh sangat penting dalam perjalanan spiritual.
Terdapat tiga penghalang yang dapat menghalangi seseorang dari amalnya:
1. Pandangan dan perhatian orang lain: Seseorang yang beramal dengan niat ingin dipandang baik oleh orang lain akan kehilangan keikhlasan. Kesadaran akan hal ini penting agar tindakan kita tidak didasarkan pada ekspektasi orang lain.
2. Keinginan untuk mendapatkan imbalan dari amal: Mengharapkan imbalan dari amal dapat menyebabkan seseorang tidak ikhlas dalam berbuat baik. Oleh karena itu, kita perlu menanamkan dalam diri bahwa setiap kebaikan yang kita lakukan adalah bentuk pengabdian kepada Allah.
3. Rasa puas dan senang terhadap amal yang dilakukan: Terlalu merasa puas dengan amal yang telah dilakukan bisa menghambat pertumbuhan spiritual dan moral. Dengan terus berusaha dan tidak cepat puas, kita akan selalu menemukan cara untuk meningkatkan kualitas diri.
Keikhlasan dapat diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Berikut adalah beberapa cara untuk mengamalkan keikhlasan dalam aktivitas kita:
1. Dalam Ibadah: Ketika beribadah, baik itu shalat, puasa, atau amal lainnya, kita harus memastikan bahwa niat kita semata-mata untuk Allah. Menghindari praktik ibadah yang bersifat riya (pamer) merupakan langkah awal menuju keikhlasan.
2. Dalam Sosial: Saat membantu orang lain, baik dalam bentuk materi maupun non-materi, lakukanlah dengan sepenuh hati tanpa mengharapkan imbalan. Misalnya, saat memberikan sedekah, lakukanlah dengan rasa syukur dan niat untuk berbagi.
3. Dalam Pekerjaan: Melakukan pekerjaan dengan profesionalisme dan dedikasi, tanpa mengharapkan pujian atau pengakuan, adalah wujud keikhlasan. Fokuslah pada manfaat yang bisa diberikan kepada orang lain melalui pekerjaan kita.
4. Dalam Interaksi Sehari-hari: Menunjukkan sikap baik kepada orang lain, seperti tersenyum, memberi salam, dan berempati, merupakan bentuk keikhlasan yang dapat mempererat hubungan sosial. Ini juga menciptakan lingkungan yang positif di sekitar kita.
Pada akhirnya, keikhlasan kita akan terus meningkat ketika kita melupakan perbuatan baik yang telah kita lakukan dan selalu mengingat kebaikan orang lain. Dalam perjalanan hidup yang penuh dinamika ini, penting bagi kita untuk tetap berorientasi pada kebaikan dan menjunjung tinggi nilai-nilai keikhlasan. Semoga kita semua mampu menjadi insan yang ikhlas dalam setiap aktivitas kehidupan, baik terhadap Allah, sesama manusia, maupun lingkungan sekitar kita. Dengan mengedepankan keikhlasan dalam setiap aspek kehidupan, kita akan menemukan kebahagiaan sejati dan kedamaian dalam jiwa. Keikhlasan bukanlah sebuah tujuan akhir, melainkan proses yang harus terus kita jaga dan kembangkan. Wallahu a’lam bishawwab.
Penulis: Dr. Zulkifli, MA
Dosen Fakultas Agama Islam Prodi Pendidikan Islam
Universitas Muhammadiyah Tangerang. (*)