OPINI | TD — Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dengan kesempurnaan. Dalam bentuk terbaiknya, manusia memiliki kemampuan untuk menjalin dengan sesama, yang dikenal sebagai interaksi sosial. Namun, dalam proses interaksi ini, seringkali terdapat kemungkinan untuk melakukan kesalahan terhadap orang lain. Sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, “Setiap manusia pasti melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang meminta ampun.” (HR. Ibn Majjah).
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah liat dan lumpur yang dibentuk-Nya. Setelah itu, Allah meniupkan ruh ke dalam diri manusia, sehingga manusia menjadi makhluk yang hidup dan berkembang. Proses penciptaan manusia terdiri dari beberapa tahap, yaitu:
1. Nuthfah: Tahap awal penciptaan manusia dari air mani yang berasal dari unsur tanah.
2. Alaqoh: Tahap kedua, di mana air mani berubah menjadi segumpal darah yang menggantung di dalam rahim.
3. Mudhghah: Tahap ketiga, di mana segumpal darah berubah menjadi segumpal daging.
4. Izaam: Tahap keempat, di mana segumpal daging dibungkus oleh tulang.
5. Kholqon Akhor: Tahap kelima, ketika janin terbentuk dengan sempurna.
Sebagaimana diungkapkan dalam Surat Al-Mu’minun ayat 12-14, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari unsur yang diambil dari tanah. Selanjutnya, Kami menjadikan unsur tersebut sebagai air mani yang disimpan dalam tempat yang kuat (rahim). Setelah itu, air mani itu Kami ubah menjadi segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami ubah menjadi segumpal daging, dan dari segumpal daging Kami jadikan tulang belulang. Kemudian tulang belulang Kami bungkus dengan daging, lalu Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain. Maha suci Allah, pencipta yang paling baik.”
Nabi Muhammad SAW juga bersabda, “Ketahuilah, dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging; jika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk, maka buruklah seluruh tubuh manusia. Sadarlah bahwa segumpal daging tersebut adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Untuk menjaga konsistensi dalam beribadah, manusia perlu selalu mengingat Sang Maha Pencipta, Allah SWT. Semua tindakan manusia berawal dari hati. Dalam pandangan Islam, qolbu atau hati adalah elemen yang menyimpan berbagai pengalaman dan data kehidupan. Sekitar sembilan puluh persen dari kehidupan manusia berakar pada hati, sedangkan sepuluh persen berasal dari pikiran. Qolbu memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan, berfungsi sebagai pengawas, penggerak tubuh, pemahaman, serta pengendali emosi dalam bertindak dengan baik dan benar.
Hati yang selamat dalam kehidupan adalah hati yang selalu terhubung dan memiliki sinyal yang kuat kepada Allah SWT. Komponen dari kurikulum hati meliputi:
1. Takhalli: Usaha untuk membersihkan hati dari sifat-sifat negatif dan kebencian.
2. Tahalli: Memasukkan nilai-nilai positif ke dalam hati, seperti kasih sayang, keikhlasan, dan menjaga kestabilan kebaikan hati.
3. Tajalli: Mampu menerapkan hal-hal positif dalam kehidupan sehari-hari dan menyebarkan kebaikan kepada orang lain, sehingga dapat menjadi teladan.
Akhirnya, marilah kita menjaga hati kita dari segala hal yang dapat merusak dan mengotori, serta selalu mendekatkan diri dengan mengingat Allah SWT. Dengan menjaga qolbu, kita dapat menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan penuh berkah. Wallahu A’lam bishawwab.
Penulis: Dr. Zulkifli, MA. Dosen Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Tangerang. (*)