Regulasi Anti Deforestasi Uni Eropa (EUDR) terus menjadi faktor pengubah dalam perdagangan global, dengan menempatkan keberlanjutan sebagai persyaratan utama untuk akses pasar. Aturan ini bertujuan untuk mencegah produk yang terkait dengan deforestasi masuk ke Uni Eropa, namun implementasinya menghadapi tantangan besar, termasuk penundaan dan perdebatan politik yang terus berlangsung. Bagi Indonesia sebagai penghasil komoditas utama, regulasi ini menghadirkan tantangan sekaligus peluang strategis di tingkat global.
Untuk merespons perubahan ini, Koltiva, perusahaan teknologi pertanian yang berfokus pada rantai pasok berkelanjutan, mengadakan BeyondTraceability Talks—sebuah forum yang mempertemukan pemangku kepentingan industri untuk membahas kompleksitas dan strategi dalam memenuhi kepatuhan terhadap EUDR. Diskusi ini menghadirkan Ainu Rofiq (Co-Founder dan Board Member Koltiva), Diah Suradiredja (Sekretariat Pengembangan National Dashboard di Kemenko Perekonomian RI), dan Insan Syafaat (Direktur Eksekutif PISAgro) sebagai pembicara utama.
Penundaan penerapan EUDR selama 12 bulan mencerminkan rumitnya proses implementasi regulasi ini. Meski memberikan waktu tambahan bagi pelaku industri untuk mempersiapkan diri, penundaan ini juga menyoroti kekhawatiran global terhadap dampak ekonomi dan sosial yang dihasilkan dari kebijakan tersebut.
Menurut Ainu Rofiq, regulasi ini memberikan tekanan besar pada petani kecil, yang sering kali menghadapi keterbatasan dalam akses teknologi dan sertifikasi.
“Kerangka regulasi ini menjadi tantangan besar bagi petani kecil. Tanpa dukungan yang memadai, mereka berisiko tertinggal dan kehilangan akses ke pasar global,” jelas Rofiq.
Indonesia dihadapkan pada kebutuhan untuk berinvestasi dalam sistem ketertelusuran, peningkatan kapasitas, proses sertifikasi, dan penerapan teknologi agar dapat mematuhi EUDR. Rofiq menegaskan bahwa solusi strategis berbasis teknologi dan keterlibatan langsung di lapangan adalah kunci untuk memastikan Indonesia tetap kompetitif di pasar internasional.
Sektor pertanian Indonesia memainkan peran penting dalam perekonomian nasional, dengan nilai ekspor mencapai USD 52,9 miliar pada 2023 (World Economic Forum, 2024). Namun, tantangan seperti deforestasi, emisi gas rumah kaca, dan keterbatasan teknologi masih menjadi hambatan utama dalam meningkatkan efisiensi dan daya saing produk Indonesia di pasar global.
Untuk menghadapi tantangan ini, Koltiva menghadirkan solusi ketertelusuran berbasis teknologi melalui platform KoltiTrace. Platform ini memungkinkan bisnis untuk:
✅ Melacak asal-usul produk secara real-time
✅ Menilai risiko keberlanjutan
✅ Menerapkan strategi mitigasi yang tepat
✅ Menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam rantai pasok
Menurut Rofiq, bisnis yang gagal memantau praktik sumber daya mereka akan menghadapi risiko kehilangan akses pasar, konsekuensi hukum, dan kerusakan reputasi merek.
“Perusahaan harus beralih dari pendekatan reaktif ke proaktif dengan berinvestasi dalam solusi teknologi untuk memastikan transparansi dan kepatuhan terhadap regulasi internasional,” tegasnya.
Selain teknologi, keterlibatan langsung di lapangan tetap menjadi elemen penting dalam memastikan kepatuhan terhadap regulasi EUDR. Koltiva mengerahkan tim lapangan untuk bekerja langsung dengan petani, koperasi, dan pemasok guna memverifikasi praktik keberlanjutan di lokasi.
“Mengandalkan laporan digital saja tidak cukup. Verifikasi langsung di lapangan memastikan kredibilitas klaim keberlanjutan. Karena itu, kami mengadopsi pendekatan hybrid yang menggabungkan teknologi dengan keterlibatan di lapangan,” jelas Rofiq.
Tim Koltiva melakukan:
Lebih dari sekadar kepatuhan, Koltiva menekankan pentingnya memberdayakan petani kecil untuk meningkatkan daya saing di pasar global. Program pelatihan yang menggabungkan teknologi digital dan sesi tatap muka bertujuan untuk membekali petani dengan keterampilan utama, termasuk:
✅ Praktik pertanian yang baik (Good Agricultural Practices)
✅ Literasi keuangan
✅ Pemahaman tentang regulasi perdagangan global
“Pendidikan dan pelatihan adalah kunci agar petani kecil tidak tertinggal dalam rantai pasok global. Dengan membekali mereka keterampilan yang tepat, kita bisa membantu meningkatkan produktivitas dan pendapatan mereka,” ujar Rofiq.
Dengan penerapan penuh EUDR pada tahun 2026, perusahaan yang proaktif dalam mempersiapkan kepatuhan terhadap regulasi ini akan memiliki keunggulan kompetitif di pasar global. Bisnis yang berinvestasi dalam ketertelusuran, verifikasi lapangan, dan peningkatan kapasitas petani tidak hanya akan memenuhi persyaratan regulasi tetapi juga memperkuat posisi mereka sebagai pelaku utama dalam perdagangan berkelanjutan.
“Dengan kombinasi teknologi, keterlibatan lapangan, dan peningkatan kapasitas, kepatuhan terhadap EUDR dapat menjadi peluang strategis untuk memperkuat daya saing Indonesia di pasar internasional,” pungkas Rofiq.
Koltiva adalah perusahaan teknologi agribisnis yang menghadirkan solusi berbasis teknologi dan pendekatan berbasis lapangan untuk memperkuat rantai pasok global yang berkelanjutan. Dengan dukungan jaringan layanan di 20 negara dan operasi di 66 negara, Koltiva mendukung lebih dari 17.900 perusahaan dan memberdayakan lebih dari 1,8 juta petani untuk meningkatkan pendapatan dan daya saing di pasar global. Koltiva membantu bisnis dalam memenuhi regulasi internasional dan membangun rantai pasok yang etis, transparan, dan berkelanjutan.
Press Release ini juga sudah tayang di VRITIMES