KOTA TANGERANG | TD – Hiruk-pikuk suara tawar-menawar, aroma rempah yang semerbak, dan wajah-wajah ramah para pedagang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pasar tradisional di Pasar Sipon, Cipondoh. Namun, di era digital saat ini, pasar-pasar seperti ini menghadapi tantangan berat dengan munculnya e-commerce. Lantas, bagaimana mereka bertahan?
Pasar tradisional lebih dari sekadar tempat bertemunya pembeli dan penjual. Kawasan ini merupakan jantung perekonomian lokal, pusat interaksi sosial, dan penjaga tradisi. Di sini, percakapan hangat terjadi antara penjual dan pelanggan, serta pertukaran resep dan cerita. Hal ini sulit ditemukan dalam transaksi online yang bergerak cepat dan tidak bersifat pribadi.
“Di sini kami tidak sekadar menjual produk, kami juga menjalin relasi,” kata Ani, salah satu pedagang yang sudah lebih dari 20 tahun berjualan sayur mayur di Pasar Sipon, beberapa waktu yang lalu.
“Pelanggan kami seperti keluarga bagi kami. Kami memahami kebutuhan mereka dan terkadang bahkan menyarankan resep,” imbuhnya.
Menyadari perubahan zaman, beberapa pedagang mulai beradaptasi dengan memanfaatkan teknologi. Mereka mulai mempromosikan dagangan melalui media sosial, menerima pembayaran digital, bahkan bekerja sama dengan layanan antar daring.
“Awalnya sulit, tapi saya harus memberanikan diri untuk mencobanya,” kata Pak Budi, seorang pedagang daging yang kini aktif berjualan online.
“Memanfaatkan teknologi dapat memperluas jangkauan pelanggan. Kami harus berani melangkah maju, karena dunia terus berubah,” imbuhnya.
Keberadaan pasar tradisional tidak hanya berfungsi sebagai tempat transaksi, tetapi juga memiliki dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Pasar tradisional menciptakan lapangan kerja bagi banyak orang, mulai dari pedagang hingga pekerja pendukung lainnya. Selain itu, mereka juga berkontribusi pada perekonomian lokal dengan mendukung petani dan produsen lokal.
“Dengan membeli produk dari petani setempat, kami membantu menjaga keberlanjutan pertanian dan memperkuat ekonomi komunitas,” kata Budi.
Meskipun banyak pedagang yang berusaha beradaptasi, mereka tetap menghadapi berbagai tantangan. Persaingan yang ketat dengan platform e-commerce yang menawarkan harga lebih murah dan kenyamanan berbelanja dari rumah menjadi salah satu kendala utama. Selain itu, kurangnya pemahaman tentang teknologi di kalangan beberapa pedagang juga menjadi hambatan dalam memanfaatkan peluang yang ada.
“Kami harus terus belajar dan beradaptasi, jika tidak, kami akan tertinggal,” tegas Budi.
Untuk mengatasi tantangan ini, penting bagi para pedagang pasar tradisional untuk membangun komunitas yang kuat. Dengan saling mendukung dan berbagi pengetahuan, mereka dapat menciptakan strategi yang lebih efektif untuk bersaing dengan e-commerce. Misalnya, mereka dapat mengadakan acara promosi bersama, menawarkan diskon khusus, atau mengadakan kegiatan yang melibatkan masyarakat untuk menarik lebih banyak pengunjung ke pasar.
“Bersama-sama, mereka bisa lebih kuat dan lebih kreatif dalam menghadapi tantangan. Komunitas adalah kunci untuk bertahan dan berkembang,” ungkap Irwan Novianto, praktisi e-commerce.
Meskipun e-commerce terus berkembang dan menawarkan berbagai kemudahan, pasar tradisional tetap memiliki tempat yang istimewa di hati masyarakat. Dengan inovasi, adaptasi, dan dukungan dari berbagai pihak, pasar-pasar ini dapat bertahan dan menjadi bagian penting bagi kehidupan masyarakat. Keberadaan mereka tidak hanya sekadar sebagai tempat transaksi, tetapi juga sebagai ruang sosial yang memperkuat ikatan komunitas.
Penulis: Gina Amelia Widyanti, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Univeritas Muhammadiyah Tangerang. (*)