Zalfa Aghnia Rahmadanti. (Foto: Dok. Pribadi)OPINI | TD – Di lingkungan kampus saat ini, percakapan sehari-hari mahasiswa semakin sering diwarnai praktik code-switching yaitu perpindahan antara dua atau lebih bahasa dalam satu konteks komunikasi. Fenomena ini paling banyak terlihat pada percampuran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, misalnya ungkapan seperti “I feel like tugas minggu ini too much,” atau “Nanti aku remind kamu lagi ya.” Perpindahan bahasa yang tampak sepele ini ternyata mencerminkan dinamika sosial dan identitas linguistik yang lebih kompleks, terutama di kalangan mahasiswa yang hidup di tengah arus globalisasi dan teknologi digital.
Pada dasarnya, code-switching bukanlah gejala baru. Di berbagai masyarakat multibahasa, praktik ini telah lama menjadi bagian dari komunikasi sehari-hari. Namun, pada mahasiswa generasi kini, code-switching bukan hanya sarana menyampaikan pesan, tetapi juga sebagai alat untuk menegosiasikan identitas. Bahasa Inggris, misalnya, sering diasosiasikan dengan kecerdasan, mobilitas global, serta akses terhadap dunia profesional dan akademik. Ketika mahasiswa menyisipkan ungkapan-ungkapan Inggris dalam percakapan mereka, secara sadar atau tidak, mereka sedang menyelaraskan diri dengan citra tersebut. Bahasa tidak lagi sekadar alat komunikasi, tetapi juga simbol status dan modernitas.
Di sisi lain, code-switching juga berfungsi sebagai pendekatan strategis untuk meningkatkan efektivitas komunikasi. Ada istilah-istilah akademik yang lebih ringkas dan tepat jika disebut dalam bahasa Inggris, terutama dalam disiplin ilmu seperti teknologi, bisnis, atau psikologi. Mahasiswa mengadopsi istilah tersebut buka semata karena tren, melainkan karena adanya tuntutan wacana akademik yang semakin internasional. Maka dari itu, code-switching dapat dilihat sebagai respon adaptif terhadap suatu kebutuhan komunikasi yang kompleks, khususnya dalam lingkup pendidikan tinggi. Kajian terbaru menunjukkan bahwa mahasiswa di media sosial mempraktikkan code-switching sebagai strategi komunikasi sering menggunakan intrasentential switching untuk menekankan ide atau menyampaikan nuansa emosi, serta sebagai ekspresi identitas bilingual mereka.
Meski begitu, fenomena ini tentu juga menimbulkan perdebatan. Beberapa pihak menilai code-switching sebagai tanda menurunnya kemampuan berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Kekhawatiran ini muncul dari anggapan bahwa pencampuran bahasa yang berlebihan dapat membuat generasi muda kurang menghargai bahasa nasional atau bahkan kehilangan kemampuan menggunakan bahasa baku dalam situasi formal.
Namun, argumen tersebut kerap mengabaikan kenyataan bahwa mahasiswa justru sangat piawai menyesuaikan register bahasa. Mereka menggunakan bahasa gaul saat santai, bahasa campuran saat berbincang dengan sesama teman, dan bahasa baku ketika menulis laporan atau berdiskusi akademik fleksibilitas linguistik yang menunjukkan kecakapan berbahasa, bukan kelemahan. Studi lapangan di Makassar menunjukkan bahwa mahasiswa secara rutin melakukan code-switching dalam percakapan sehari-hari mereka, baik dalam bentuk inter-sentential (antar kalimat) maupun intra-sentential (dalam kalimat), sebagai bagian dari kebiasaan komunikasi di lingkungan kampus. Sedangkan penelitian mengenai komunikasi digital mahasiswa di media sosial menegaskan bahwa code-switching telah meluas ke ranah online, memperlihatkan bahwa konteks interaksi (formal vs informal, offline vs online) sangat mempengaruhi penggunaan bahasa.
Jika dilihat lebih jauh, code-switching di kalangan mahasiswa mencerminkan identitas ganda generasi muda Indonesia: lokal tetapi global, nasional tetapi terhubung dengan jaringan pengetahuan internasional. Dalam era digital, di mana konten, budaya, dan nilai melintas batas negara dalam hitungan detik, mahasiswa memerlukan cara berkomunikasi yang dapat menangkap kompleksitas tersebut. Code-switching menjadi bahasa yang mencerminkan realitas sosial baru realitas di mana batas antara lokal dan global menjadi semakin tergabung.
Pada akhirnya, fenomena code-switching bukanlah suatu ancaman terhadap bahasa Indonesia, tetapi merupakan cerminan dari evolusi praktik berbahasa dalam masyarakat yang terus berubah. Mahasiswa menggunakan code-switching sebagai strategi ekspresif, simbol identitas, dan alat adaptasi dalam ekosistem komunikasi yang semakin beragam. Yang perlu didorong bukanlah pelarangannya, tetapi literasi bahasa yang kritis: kapan, bagaimana, dan mengapa bahasa tertentu digunakan dalam situasi tertentu. Dengan menggunakan pendekatan yang tepat, fenomena ini dapat dipahami bukan sebagai gangguan linguistik, tetapi sebagai bukti kemampuan mahasiswa beradaptasi di tengah globalisasi yang kompleks. Di tangan generasi muda, bahasa dapat menjadi ruang kreatif dan identitas tempat di mana dua dunia lokal dan global bertemu tanpa harus menghilangkan salah satunya.
Nur’aini, D., & Fitriana, F. (2024). Code-Switching as a Communicative Strategy among Indonesian University Students on Social Media. Jurnal Tahuri, 21(2), 155-172. https://doi.org/10.30598/tahurivol21issue2page155-172
Piantari, L. L. (2011). Alih kode (code-switching) pada status jejaring sosial Facebook mahasiswa. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Humaniora, 1 (1). https://doi.org/10.36722/sh.v1i1.19
Saribunga, S., Gaffar, M. S., & Mohamad, A. R. (2024). Alih kode dalam percakapan mahasiswa di lingkup kelas A. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah, 1(1). https://journal.unm.ac.id/index.php/Jurdisada/article/view/4213
Hasanah, M., Julia, V., Zuhro, L. Q., & Sugiarti, S. (2025). Analisis kode-mixing dan code-switching dalam percakapan mahasiswa PBSI Universitas Nurul Huda. Jurnal Padamu Negeri. https://doi.org/10.69714/qz98j535
Sasura, K., & Halfian, W. O. (2024). Alih kode dalam percakapan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo. Cakrawala Listra: Jurnal Kajian Sastra, Bahasa, dan Budaya Indonesia. https://doi.org/10.33772/x0ns2462
Penulis: Zalfa Aghnia Rahmadanti. Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)