Pernikahan masyarakat Cina Benteng. (Foto: Weddingmarket.com)TRADISI | TD — Kota Tangerang tidak hanya dikenal sebagai kota industri dan urban modern, tetapi juga sebagai tempat di mana warisan budaya terus hidup berdampingan dengan perkembangan zaman. Salah satu yang paling menarik perhatian adalah tradisi masyarakat Cina Benteng, komunitas Tionghoa peranakan yang telah berbaur dengan budaya lokal Banten selama berabad-abad.
Di antara berbagai ritual adat yang masih lestari hingga kini, “Malam Rasul” menempati posisi istimewa. Tradisi ini bukan sekadar rangkaian menjelang pernikahan, melainkan simbol toleransi, harmoni, dan penghormatan terhadap leluhur.
Kisah Cina Benteng berawal pada abad ke-17, ketika para imigran asal Fujian, Tiongkok, datang ke Batavia (Jakarta) sebagai pedagang dan pekerja. Sebagian dari mereka kemudian menetap di wilayah Tangerang—daerah yang kala itu masih berupa lahan pertanian dan jalur perdagangan strategis.
Melalui pernikahan campur dengan masyarakat lokal Sunda dan Betawi, lahirlah komunitas baru yang dikenal dengan sebutan Cina Benteng. Mereka bukan hanya mewarisi darah Tionghoa, tetapi juga menyerap nilai-nilai lokal dan Islam yang kuat di wilayah Banten. Dari sinilah lahir identitas unik: masyarakat Tionghoa berkulit sawo matang, berbahasa Melayu-Betawi, dan menjunjung tinggi tradisi leluhur serta nilai gotong royong.
Kawasan Pasar Lama Tangerang—kini Jalan Ki Samaun—menjadi jejak awal pemukiman Cina Benteng. Hingga kini, kehidupan tradisional dan peninggalan budaya mereka masih terasa kental, terutama di Kampung Sewan, yang dikenal sebagai pusat komunitas Cina Benteng paling autentik.
Di tengah arus globalisasi, Cina Benteng menjadi bukti bahwa modernitas tak harus menghapus akar budaya. Mereka tetap melestarikan ritual-ritual sakral, salah satunya Malam Rasul, sebagai simbol penghormatan kepada leluhur sekaligus bentuk penghargaan terhadap nilai-nilai keislaman yang hidup di sekitar mereka.
Tradisi ini merupakan hasil dari proses akulturasi panjang antara budaya Tionghoa dan budaya Nusantara. Ia menjadi cermin bagaimana dua peradaban besar—Timur Jauh dan Nusantara—menemukan keseimbangan dalam satu harmoni sosial dan spiritual.
Dalam masyarakat Cina Benteng, pernikahan bukan sekadar menyatukan dua insan, tetapi juga menyatukan dua keluarga besar, bahkan dua dunia: dunia leluhur dan dunia masa kini. Oleh karena itu, malam sebelum pernikahan menjadi momen penting untuk memohon restu kepada Tuhan dan arwah leluhur.
Tradisi pernikahan Cina Benteng biasanya berlangsung selama tiga malam berturut-turut:
Malam Rasul menjadi simbol nyata bahwa harmoni antaragama telah hidup di Tangerang sejak berabad-abad lalu—bahkan sebelum istilah toleransi menjadi populer di masyarakat modern.
Malam Rasul bukan sekadar ritual adat, melainkan simbol harmoni dan penghormatan lintas budaya. Ia mengajarkan bahwa toleransi bukan teori, melainkan kebiasaan hidup sehari-hari.
Dalam suasana doa, lilin merah dinyalakan, makanan halal disajikan, dan doa dipanjatkan bersama. Semua dilakukan dengan penuh penghormatan, tanpa membedakan keyakinan. Masyarakat Cina Benteng percaya bahwa dengan menjaga harmoni dan menghormati semua pihak, rumah tangga yang dibangun akan diberkahi dan dijaga oleh para leluhur.
Seperti pepatah Tionghoa yang sering diucapkan para tetua Cina Benteng:
“He Wei Gui” — Kedamaian adalah yang paling berharga.
Di tengah era media sosial, generasi muda Cina Benteng mulai berperan aktif dalam melestarikan tradisi leluhur. Banyak dari mereka mendokumentasikan Malam Rasul melalui video dan unggahan daring untuk memperkenalkan budaya ini ke masyarakat luas.
Salah satunya akun TikTok @elsa.novias, yang menampilkan persiapan Malam Rasul dengan suasana hangat dan penuh makna. Dalam videonya, terlihat warga menyalakan lilin, menata meja makanan halal, dan berdoa bersama keluarga serta kerabat Muslim.
Langkah-langkah kecil seperti ini menunjukkan bahwa pelestarian budaya tidak selalu harus melalui upacara besar, tetapi bisa dimulai dari kesadaran untuk menghargai akar tradisi dan memperkenalkannya ke dunia modern.
Cina Benteng bukan sekadar kelompok etnis, melainkan saksi hidup perjalanan panjang akulturasi budaya di Indonesia. Tradisi mereka, seperti Malam Rasul, membuktikan bahwa perbedaan agama dan budaya bukan penghalang untuk hidup berdampingan, melainkan sumber kekuatan dan keindahan.
Dalam kehidupan modern yang serba cepat, nilai-nilai seperti toleransi, rasa hormat, dan kebersamaan justru semakin relevan. Tradisi ini menjadi pengingat bahwa harmoni tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari kemampuan untuk saling menghargai dalam keberagaman.
Malam Rasul bukan hanya ritual sebelum pernikahan, melainkan pesan abadi tentang pentingnya perdamaian dan persaudaraan antarumat. Ia menegaskan bahwa budaya dan agama bisa berjalan seiring tanpa saling meniadakan.
Dari Kota Tangerang, warisan Cina Benteng terus berbisik lembut kepada generasi masa kini:
“Menjadi modern bukan berarti melupakan akar. Karena dari akar itulah kita tumbuh dan bertahan.”
Penulis: Putri Mariyah Ulfah
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Tangerang. (*)