Sarmad menjura ke arah penonton yang berdiri berkerumun di sekeliling lapangan: ke depan, ke kanan, lalu ke kiri. Suara tepuk tangan penonton masih riuh. Seorang awak pertunjukan masuk ke lapangan, mengambil paku dan palu debus dari tangan Sarmad, lalu membawanya ke belakang lapangan tempat para awak pertunjukan lainnya berkumpul. Paku dan palu besar itu langsung dimasukkan ke dalam peti peralatan.
Sarmad bersiap-siap menampilkan atraksi berikutnya.
“Penonton sekalian, kita semua tahu, ikan selalu hidup di air. Tapi, enggak setiap tempat yang ada airnya ada ikannya. Nah, bagaimana kalau saya bilang air di dalam kelapa itu ada ikannya?” ucapnya dengan lantang sambil menunjuk ke puluhan butir kelapa yang bertumpuk di sisi lapangan. “Apa Saudara sekalian percaya?”
Serentak terdengar jawaban yang bertentangan dari para penonton. Ada yang bilang percaya, ada yang bilang bohong, ada juga yang bilang mustahil. Sarmad tersenyum mendengar jawaban mereka.
“Bukan cuma ikan, Saudara-saudara. Kadang-kadang, kita juga bisa menemukan ular, belut, bahkan kalajengking di dalam kelapa,” tambahnya tanpa menghiraukan tanggapan penonton.
“Buktikaaan!” seru seorang penonton yang diikuti penonton lainnya.
“Tentu! Tentu! Akan kami buktikan sebagai bagian dari pertunjukan ini,” jawab Sarmad. “Nah! Apa yang ingin penonton temukan di dalam kelapa-kelapa itu? Kalajengking? Belut? Ular? Atau ikan?” lanjutnya.
Sekali lagi, serentak terdengar jawaban yang bertentangan dari para penonton. Ada yang ingin ikan, ada yang ingin belut, ada yang ingin kalajengking. Seorang penonton bahkan meneriakkan ingin ponsel atau sepeda motor. Sontak ucapannya disambut tawa penonton lainnya.
“Baiklah! Akan kita lihat apakah di dalam butiran kelapa itu kita bisa menemukan ikan,” kata Sarmad menentukan pilihan untuk penonton.
Seorang awak pertunjukan berlari menyerahkan sebilah golok. lalu Sarmad berjalan menghampiri tumpukan kelapa dan mengambil satu butir secara acak.
Sarmad mencengkam bagian tangkai kelapa itu di tangan kirinya, sementara tangan kanannya menggenggam golok. Lalu, dia berjongkok dengan menegakkan lutut kirinya dan melipat lutut kanannya. Perlahan kelapa itu dia letakkan di atas alas kayu yang telah disiapkan. Dengan beberapa kali hantaman golok, Sarmad melukai kulit dan sabut kelapa di sekeliling bagian tengahnya, membagi butir kelapa menjadi dua bagian: atas dan bawah. Setelah menundukkan wajahnya sambil berkomat-kamit membaca mantra, kelapa agak dia miringkan, lalu langsung dihantamnya hingga golok terbenam ke dalam setengah tempurung kelapa.
Setelah meletakkan goloknya, Sarmad memegang kelapa yang nyaris terbelah dua itu dan mengangkatnya sedemikian rupa agar air kelapa tidak tumpah. Tangan kirinya tetap memegang belahan tempurung atas kelapa dan tangan kanannya menampa tempurung bagian bawah. Lalu, dengan kekuatan jari-jarinya, dia membuka tempurung kelapa yang telah luka separuhnya itu. Ketika batok kelapa terbelah, Sarmad segera menunjukkan bagian dalam tempurung kelapa di tangan kanannya kepada penonton.
“Lihat! Seekor ikan sebagaimana yang Saudara-saudara inginkan!” katanya dengan bangga. Terlihat seekor ikan hias berwarna kuning berenang-renang di dalam kolam air kelapa. Spontan terdengar seru kekaguman di antara penonton yang diikuti dengan tepuk tangan meriah.
“Coba, bagaimana kalau kelapa langsung dari pohonnya?” tiba-tiba terdengar suara seseorang di antara penonton ketika tepuk tangan mereda. Penonton senyap sejenak seperti berusaha mencerna maksud ucapan tadi.
“Ya! Coba, ambil kelapa langsung dari pohonnya!” sambut seseorang lainnya di antara penonton, disusul seruan-seruan yang menyetujui usulan tersebut.
“Langsung dari pohonnya?” tanya Sarmad sambil berusaha tetap tenang.
“Yaaa!” jawab penonton serentak.
“Baiklah. Coba, mana tadi yang minta?”
“Saya!” Seorang remaja pria maju ke depan barisan penonton.
Sarmad memperhatikan remaja itu. Penampilannya tak sebagaimana remaja lainnya yang dia kenal. Begitu melihat rambut model Mohawk, tindikan di hidung dan telinga kirinya, juga jaket kulit hitam yang lengannya beraksesoris duri metal, Sarmad yakin itu salah seorang remaja yang sering bergerombol dan tidur di emper toko dekat lampu merah.
“Emangnya, bagaimana yang Saudara mau?” tanya Sarmad ramah.
“Kalau benar Akang sakti, saya ingin Akang menemukan binatang di dalam kelapa yang diambil langsung dari pohonnya, bukan dari tumpukan itu,” remaja itu menunjuk tumpukan kelapa di tepi lapangan itu dengan dagunya.
“Dengan seizin Allah, bisa saja. Mengapa tidak?”
“Tapi, saya yang menentukan pohon yang mana, buah yang mana, dan binatang apa yang ada di dalam kelapa!” sergah pemuda itu.
Sarmad tampak terkejut. Dalam pertunjukan-pertunjukannya, belum pernah terjadi penonton berani menentukan atraksi apa yang harus ditampilkan—terlebih lagi, menentukan bagaimana atraksi tersebut harus ditampilkan.
Sarmad menoleh ke arah rombongan pertunjukan debusnya. Sekilas dilihatnya Abah Awang mengangguk. Anggukan itu isyarat yang cukup bagi Sarmad. Dia tak perlu khawatir memenuhi tuntutan penonton yang tidak biasa itu.
“Baik. Kami akan penuhi permintaanmu,” jawab Sarmad mantap. “Di sekitar lapangan ini ada lima pohon kelapa. Buah pohon yang mana yang kamu inginkan?” sambungnya.
Remaja itu menoleh ke lima pohon kelapa di sekitar lapangan, menimbang-nimbang pohon mana yang akan dia pilih.
“Yang itu!” katanya sambil menunjuk dengan tangan kirinya ke arah salah satu pohon kelapa di sisi kanan lapangan.
“Baik,” ucap Sarmad. Dia menoleh dan mengangguk ke arah Mursid—salah seorang awak pertunjukan—yang segera memanjat pohon kelapa itu.
“Sekarang kamu pilih buah yang mana,” kata Sarmad ke arah remaja tadi.
Remaja itu menunjuk ke arah pohon kelapa sambil menunjuk dan menyebutkan buah yang dipilihnya. Mursid menunjuk salah satu buah kelapa di atasnya. Bukan yang itu. Mursid menunjuk buah lainnya. Bukan juga. Setelah beberapa kali, dengan petunjuk remaja itu, akhirnya Mursid berhasil menemukan buah kelapa yang diinginkan. Mursid memetik buah kelapa itu, lalu melemparkannya ke arah Sarmad yang dengan sigap menangkapnya.
“Baiklah. Pohon kelapa dan buahnya sudah kamu pilih. Sekarang, binatang apa yang kamu inginkan ada di dalamnya?” tanya Sarmad lagi.
“Saya tidak ingin binatang,” jawab remaja itu. Sekali lagi, Sarmad tampak terkejut, sementara para penonton lainnya tercekam membayangkan bagaimana kelanjutan pertunjukan itu. Ini kali pertama mereka menyaksikan pertunjukan debus yang direcoki permintaan penonton—penonton yang penampilannya nyeleneh pula.
“Saya ingin buah kelapa itu berisi ….” Remaja itu seperti sengaja menggantung ucapannya sehingga penonton semakin tercekam. “Batu kalimaya!” lanjutnya. Sontak terdengar dengung ketakjuban di antara penonton. Permintaan itu membuat Sarmad terlihat semakin gelisah.
“Batu … kalimaya?” tanya Sarmad ragu.
“Ya. Saya ingin buah kelapa itu berisi batu kalimaya,” jawab remaja itu mantap. Sebuah senyum tipis terlihat di bibirnya. Sepertinya dia puas telah berhasil mengacaukan pertunjukan itu dan membuat Sarmad gentar.
Sekali lagi, Sarmad menoleh ke arah rombongan pertunjukan di belakangnya. Sekali lagi, Abah Awang yang duduk bersila dengan tenang di tengah rombongan itu mengangguk.
Sarmad terlihat agak canggung ketika berjongkok dengan melipat lutut kanannya dan menegakkan lutut kirinya seperti tadi. Perlahan dia letakkan kelapa itu di atas alas kayu tadi dan dengan beberapa kali hantaman golok, Sarmad melukai kulit dan sabut kelapa seperti sebelumnya. Sarmad terlihat ragu ketika menghantamkan golok hingga terbenam ke dalam setengah diameter tempurung kelapa.
Sarmad mencengkam bagian bawah kelapa dengan tangan kanannya dan tangan kirinya tetap menggenggam bagian tangkai kelapa. Setelah berhenti sejenak, dengan kekuatan tangannya, dia belah tempurung kelapa yang telah luka separuhnya itu. Ketika kelapa terbelah, Sarmad tampak terkejut melihat isi tempurung kelapa di tangannya: sebuah batu kalimaya!
Terdengar desah kekaguman penonton yang kemudian meledak menjadi sorak dan tepukan membahana. Hanya remaja itu yang terdiam. Wajahnya cemberut. Sarmad melemparkan batu kalimaya itu ke arahnya. Remaja punk itu dengan refleks menangkapnya, melihat batu di telapaknya, lalu membanting batu itu kuat-kuat ke tanah. Dia segera membalikkan badan dan bergegas menyelusup ke sela-sela penonton yang langsung membuka jalan sambil memperhatikan kepergiannya dengan keheranan.
Remaja itu tiba di luar kerumunan penonton, menstart sebuah sepeda motor, lalu melesat dengan derum memekakkan telinga. Pandangan para penonton mengikutinya hingga remaja itu hilang di balik deretan rumah penduduk.
Perhatian penonton kembali terfokus kepada Sarmad yang terlihat lega. Dia menoleh ke arah Abah Awang yang tetap tampak tenang, seperti tak terpengaruh oleh ketegangan yang baru saja terjadi.
***
Sebagai tugas rutin yang diberikan Abah Awang untuknya, kemarin Kamra mengasah bagian ujung golok tersebut hingga benar-benar tajam. Namun, Abah Awang juga mengingatkannya untuk berhati-hati: hanya ujung golok yang boleh benar-benar diasah tajam. Bagian inilah yang nanti Sarmad gunakan untuk menebas ranting atau bambu untuk meyakinkan penonton bahwa golok itu benar-benar tajam. Bagian tajam golok sisanya Kamra asah juga hingga putih berkilat. Akan tetapi, setelah itu, dia gosokkan sisi tajam bagian itu ke batu gerinda agar tumpul. Bagian inilah yang akan Sarmad gunakan untuk memotong lidahnya dalam pertunjukan besok.
Dengan golok itulah aktor pertunjukan akan meyakinkan penonton dengan menebas ranting atau bambu, lalu mengiris lidah, leher, tangan, atau betisnya. Tentu saja ia harus berhati-hati agar jangan sampai terkena bagian ujung yang tajam. Selain golok-golok yang diasah secara khusus seperti itu, ada juga golok-golok yang diasah seluruh sisi tajamnya hingga putih benar, tetapi kemudian semuanya digerinda agar tumpul. Dengan golok-golok ini, aktor pertunjukan bisa dengan bebas mengiriskan seluruh bagian golok itu ke bagian-bagian tubuhnya tanpa khawatir terluka.
Baru enam bulan ini Kamra bergabung dengan kelompok pertunjukan debus Darma Laksana pimpinan Abah Awang. Setelah selama lima bulan diberi tugas sebagai asisten petugas penyimpan alat-alat pertunjukan, sekarang Kamra mendapat tugas sebagai pengurus alat-alat pertunjukan. Dan setelah bergabung dengan kelompok ini serta mengikuti kegiatan-kegiatan rutin, Kamra jadi tahu berbagai keterampilan, latihan, dan trik yang digunakan dalam pertunjukan. Meskipun demikian, seperti anggota lainnya, Kamra juga diminta untuk tidak membocorkan trik berbagai atraksi pertunjukan kepada siapa pun.
Kamra tahu mayoritas orang yang gemar menonton pertunjukan debus percaya bahwa para aktor itu benar-benar memiliki ilmu kekebalan atau dilindungi dengan ilmu kekebalan oleh tokoh sakti di belakang layar. Mereka tidak tahu bahwa, sebagaimana seni pertunjukan lainnya, pertunjukan debus pun menggunakan berbagai trik untuk mengelabui mata penonton sehingga tampak seolah-olah benar terjadi. Dari pertunjukan-pertunjukan ke berbagai daerah yang pernah diikutinya, Kamra melihat bahwa kelompok penonton inilah yang sambutannya paling meriah pada setiap atraksi.
Setahu Kamra, kelompok penonton ini percaya bahwa para aktor itu memiliki ilmu kebal yang didapat melalui laku tirakat dan wiridan tertentu. Kalaupun para aktor itu tidak melakukan tirakat atau wiridan, setidaknya mereka mendapatkan perlindungan kekebalan dari pawang pertunjukan, yaitu tokoh sakti di belakang layar yang selalu ada dalam setiap kelompok pertunjukan. Biasanya, pawang ini adalah lelaki baya atau kakek-kakek pemilik kelompok pertunjukan itu sendiri.
Kepercayaan penonton akan kekebalan itu berhubungan dengan kepercayaan mereka kepada klenik atau kegiatan perdukunan. Memang, Kamra tahu nyaris tidak ada orang di daerahnya yang tidak percaya atau tidak mempraktikkan klenik. Hampir segala masalah dalam hidup mereka konsultasikan kepada dukun atau—istilah yang lebih halus—ahli hikmah. Bukan hanya masalah, sering kali juga mereka menggunakan jasa dukun untuk keinginan-keinginan yang mestinya bisa mereka upayakan dengan cara “normal”, seperti menetapkan tanggal pernikahan, mendapatkan hati seseorang, menjalankan bisnis, menjadi PNS, naik jabatan, berhasil terpilih sebagai kepala desa, atau terpilih sebagai anggota dewan.
Sebagian penonton lainnya adalah mereka yang menganggap semua atraksi pertunjukan debus hanyalah trik. Ini tentu tidak seluruhnya benar karena Kamra tahu pertunjukan tradisional pun perlu menerapkan strategi tertentu, tidak hanya mengandalkan trik. Pertunjukan debus mungkin tidak menggunakan trik selengkap pesulap profesional di kota-kota besar yang mendayagunakan keterampilan tangan, teknik kamuflase, pengetahuan psikologi, fisika, kimia, juga matematika. Namun, trik dan strategi yang digunakan kelompok pertunjukan tradisional ini pun tak bisa disebut ecek-ecek. Beberapa di antaranya bahkan membutuhkan strategi yang cukup rumit dan melibatkan para figuran yang tak terduga. Terlebih lagi, berbagai atraksi yang berupa trik itu pun tak dapat dilakukan sembarang orang. Tetap diperlukan keterampilan dan keahlian tertentu yang dibangun melalui latihan-latihan rutin dan berkesinambungan.
Atraksi menancapkan paku besar yang dipalu ke tubuh, misalnya (atraksi utama inilah yang disebut debus). Atraksi ini ternyata memanfaatkan prinsip energi kinetik dan kelembaman—meskipun mereka mungkin tak menyebutnya begitu. Paku dan bonggol debus yang besar itu sengaja dibuat berat (dari besi dan jenis kayu berat), sedangkan palunya dibuat dengan perbedaan berat: gagangnya berat (dari kayu berat) dan kepalanya ringan (dari kayu ringan). Ukuran debus dan palu itu dibuat sama-sama besar dan penampilannya dikamuflase agar tampak berat. Dengan perbedaan berat itu, energi orang yang menghantam akan terserap gagang yang berat, sedangkan hantaman kepala palu yang ringan ke bonggol debus akan terserap bonggol paku yang erat sehingga hanya sedikit energi yang diteruskan ke paku tersebut. Alhasil, hantaman paku besi ke tubuh pun tak terlampau kuat, selain pemain juga bisa menahan gerakan paku dengan genggamannya. Meskipun begitu, tidak setiap orang bisa melakukannya. Hanya mereka yang sudah terlatih fisiknya dan memiliki stamina baik yang dapat mempertunjukkan atraksi tersebut.
Untuk alat atraksi membelah kelapa yang berisi ikan, ular, belut, kalajengking, atau benda-benda lainnya, Kamra dibantu Mursid untuk mempersiapkannya. Biasanya, persiapan dilakukan beberapa jam sebelum pertunjukan. Di sebuah ruangan atau tempat yang steril dari penonton, Kamra dan Mursid dengan hati-hati membuka bagian tangkai dan kelopak di atas buah kelapa. Lalu, mereka lubangi bagian itu dengan paku besar atau bor, sekadar agar bisa memasukkan hewan atau benda tertentu. Setelah hewan atau benda dimasukkan, mereka menutup kembali bagian tangkai dan kelopaknya sedemikian rupa agar bagian itu tidak membuka. Karena itu, setiap pemain yang melakukan atraksi membelah kelapa akan menutupi bagian tersebut dengan telapak tangan kirinya dan hanya menunjukkan bagian bawah yang tak berlubang kepada penonton. Agar hewan-hewan yang dimasukkan bisa bertahan cukup lama, biasanya air kelapa itu diganti dengan air tawar.
***
Semalam, selain menyiapkan peralatan debus dan atraksi potong lidah, Kamra juga menyiapkan trik untuk atraksi membelah kelapa. Dia memasukkan ikan, anak ular, dan kalajengking ke dalam beberapa butir kelapa. Akan tetapi, ada yang istimewa untuk pertunjukan kali ini: Abah Awang menyuruh Kamra memasukkan batu kalimaya ke dalam sebutir kelapa.
Setelah butir istimewa itu siap, Abah Awang menemui mereka dan memperkenalkan seorang remaja bergaya punk yang tidak mereka kenal. Kamra dan Mursid menduga remaja itu berasal dari kelompok anak-anak punk yang sering berkumpul di sekitar lampu merah menjelang gerbang tol. Abah Awang mendiktekan apa yang harus dilakukan remaja itu nanti, termasuk isyarat apa yang akan diberikan Mursid ketika memilih kelapa langsung di pohonnya. Nanti, pada saat Mursid memberikan isyarat, remaja punk itu harus memilih buah kelapa yang Mursid pegang.
Setelah remaja itu mengulang petunjuk Abah Awang dan berlatih sebentar, Abah Awang menyuruh mereka bertiga menaruh butir kelapa bersisi batu kalimaya itu di salah satu pohon kelapa di sekitar lapangan pertunjukan yang akan digunakan besok siang. Dalam kegelapan malam Mursid memanjat salah satu pohon kelapa dan mengikatkan butir istimewa itu di antara butir-butir kelapa yang ada. Remaja punk itu mengingat mana pohon kelapa yang harus dia tunjuk besok.
***
Sarmad memegang sebatang ranting dengan tangan kirinya, lalu membacokkan golok di tangan kanannya. Ranting itu putus seketika. Kemudian, dia mengambil sebatang bambu berukuran kecil di tepi lapangan dan menebasnya hingga putus sekali tebas. Para penonton mulai senyap, menatap dengan penuh minat.
Sarmad berdiri tegak menghadap penonton. Beberapa saat, tangan kanannya memutar-mutar golok di tangan kanannya dengan lincah dan cepat, lalu mengacungkannya tinggi-tinggi. Bagian tajam golok itu berkilat-kilat memantulkan sinar matahari. Kedua kakinya kokoh terpacak di atas tanah berdebu. Dadanya telanjang berkilat. Sejenak dia menunduk seperti berdoa. Setelah wajahnya lurus kembali, dijulurkannya lidahnya, dia tarik dengan ibu jari dan telunjuk kirinya, lalu dia gosok-gosokkan sisi tajam golok itu ke lidahnya.
Sambil terus mengiris-iris lidahnya, Sarmad memutar tubuhnya sedikit demi sedikit agar seluruh penonton di sekeliling lapangan bisa melihat atraksinya. Lalu, dia pun berjalan mendekati penonton. Pada jarak sekitar satu setengah meter dari penonton, dia tunjukkan lagi atraksi potong lidah itu. Dia gosok-gosokkan lagi sisi golok yang putih terasah. Ternyata, lidahnya tetap utuh—tanpa luka, tak ada darah. Penonton pun bertepuk tangan meriah.
Atraksi berikutnya adalah menusuk dada dengan pedang. Dengan kekuatan tubuhnya, Sarmad akan menahan tusukan hingga pedang itu membengkok. Kamra bergegas menyerahkan sebilah pedang kepada Ohang.
Endi memegang ujung-ujung sebatang balok kayu secara horizontal. Ohang menusukkan dan menekan pedang itu kuat-kuat hingga menancap. Setelah menancap agak dalam, Endi melepaskan balok yang tertancap di ujung pedang. Ohang mengangkat pedang dengan balok di ujungnya itu tinggi-tinggi untuk meyakinkan penonton.
Sarmad duduk bersila dengan sikap bersemadi, memejamkan mata dan mengatur napas. Ohang berancang-ancang dengan kuda-kuda kokoh di depannya. Ujung pedang dia tempelkan ke dada Sarmad dengan gagang ditahan telapak kanannya. Ohang menarik napas lalu menekan kuat-kuat pedang itu ke dada Sarmad. Sarmad menjerit dan terjengkang dengan pedang tertancap di dadanya.
Kamra tercekat. Wajahnya pucat. Lututnya seperti kehilangan tulang. Dialah yang menyiapkan pedang itu semalam dan dia juga yang memberikannya kepada Ohang barusan. Dengan mata membelalak dia menoleh ke Abah Awang.
Abah Awang sontak bangkit dari silanya dan menoleh ke sana ke mari. Matanya menyelidik di antara para penonton, tetapi justru tak sedikit pun melirik ke arah Kamra yang mempersiapkan pedang itu. Belum sempat Abah Awang menemukan yang dicarinya, Sarmad yang dadanya berlumuran darah sudah dibaringkan di depannya. Abah Awang berlutut, berdiam sebentar, lalu menyapu luka menganga di dada Sarmad dengan telapak tangannya. Luka itu langsung merapat dengan garis berwarna darah membujur dari atas ke bawah. Mursid dan beberapa awak pertunjukan lainnya segera membersihkan darah yang berlumuran di dada Sarmad.
Abah Awang melompat ke tengah lapangan dan memungut pedang yang dilepaskan Ohang. Dengan sekali menyentuh bilahnya, ia segera tahu bahwa seseorang telah menggantinya. Pedang yang biasa digunakan adalah pesanan khusus. Profil bilahnya unik. Dengan profil seperti itu, pedang akan bengkok jika ditusukkan dengan tekanan yang sedikit dibelokkan ke arah tertentu. Ini bukan pedang yang biasa digunakan. Pedang ini tidak bisa membengkok.
Ketika semua awak pertunjukan dan penonton tercekam kengerian, sebersit senyum membayang lalu menghilang di bibir seorang perempuan di antara penonton.
*****
Cisoka, November 2020