EKBIS | TD – Kesepakatan dagang antara Indonesia dan Uni Eropa akhirnya tercapai dalam penandatanganan kerja sama kemitraan ekonomi Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).
Kesepakatan IEU-CEPA tersebut menjadi salah satu poin dalam pembicaraan Presiden Prabowo di hadapan pers pada pertengahan Juli tahun ini. Dalam konferensi yang terselenggara di Brussel, Belgia, tersebut, Ursula von der Leyen, Presiden Komisi Eropa, pun hadir.
IEU-CEPA menjadi harapan pemerintah Indonesia untuk menaikkan kuantitas ekspor ke Uni Eropa hingga 50 persen dalam 4 tahun ke depan. Jumlah ini menjadi lebih menguntungkan dengan kebijakan Uni Eropa yang akan menurunkan tarif pasar untuk komoditas-komoditas unggulan Indonesia dari 8 atau 12 persen ke nol. Nilai perdagangan melalui kesepakatan ini diproyeksi hingga 2 kali lipat, yakni dari 3o miliar dolar AS menjadi 60 miliar dolar AS.
Hal ini tentu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Ekspor ini akan berdampak hingga PDB Indonesia tumbuh 0,19 persen dalam 3 tahun ke depan. Dan menyumbang sekitar 0,04 persen pertumbuhan ekonomi nasional. Serta peningkatan investasi sekitar 40 persen.
Sebelumnya, negosiasi antara Indonesia dan Uni Eropa terus berlangsung selama 10 tahun karena banyaknya faktor yang sangat kompleks. Di antaranya:
Isu keberlanjutan (sustainability) menjadi utama bagi Uni Eropa pada masa tersebut. Juga mengenai pentingnya menjaga hak asasi manusia, dan pengelolaan keamanan lingkungan yang ketat. Sementara, Indonesia lebih menitikberatkan pada akses pasar sembari mengutamakan perlindungan terhadap industri dalam negeri.
Salah satu contoh tantangan dari Uni Eropa, dalam hal ini, adalah kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR). Regulasi tersebut mengharuskan setiap komoditas Indonesia yang masuk ke Uni Eropa memiliki sertifikat tidak berdampak pada deforestasi. Tentu ini menyulitkan, terutama, untuk komoditas seperti minyak kelapa sawit, karet, dan lainnya.
Di sisi lain, Indonesia terus berusaha agar terbukanya sistem perdagangan dengan Uni Eropa tidak berpengaruh buruk bagi industri kecil, petani kecil, dan eksportir lokal.
Kesepakatan dagang antara Indonesia dan Uni Eropa tersebut tidak hanya membawa kepentingan ekonomi. Tetapi juga berkaitan dengan hubungan harmonis antar negara dan kepentingan politik. Karenanya, perundingannya berjalan cukup lama. Dan, harus melalui 19 kali proses negosiasi resmi, yang dapat terdiri dari serangkaian sesi setiap prosesnya.
Dalam 19 kali proses tersebut, pembicaraan dimulai dengan penyusunan kerangka kerja, ruang lingkup, dan prinsip dasar. Kemudian beralih pada penyesuaian tarif dan akses pasar, terutama untuk industri tekstil, sepatu, otomotif, dan pertanian. Berlanjut pada kebijakan investasi serta pembukaan akses terhadap sektor jasa.
Selanjutnya, pertemuan negosiasi berada dalam perdebatan mengenai keberlanjutan dan keamanan lingkungan. Plus penyesuaian standar paten atau Hak Kekayaan Intelektual dan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Serta persoalan geografis.
Diskusi berlanjut dengan membicarakan standar teknis, sertifikasi wajib, serta hal-hal yang merupakan tantangan non-tarif lainnya. Negosiasi kemudian bergerak menuju susunan tetap hukum yang diperlukan serta kompromi terhadap kebijakan EUDR. Uni Eropa juga memberikan pengakuan atas produk-produk unggulan Indonesia yang terbukti valuable dalam perekonomian, sistem yang berlanjut dan ramah lingkungan, serta berperan penting dalam memenuhi kebutuhan global dalam ratifikasi.
Salah satu kompromi dalam tawar-menawar ini yaitu penundaan penerapan EUDR hingga Desember nanti.
Perang Ukraina-Rusia, Iran-Israel, Israel-Palestina, serta perang tarif Amerika-Cina memberikan pengaruh tak menguntungkan dalam negosiasi ini. Hal ini membuat kedua pihak merasa harus menunggu momen yang tepat untuk mendapat kesepakatan yang benar-benar ideal.
Demikianlah banyaknya permasalahan yang menjadi pembicaraan dalam negosiasi IEU-CEPA membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menghasilkan kesepakatan final. Perjanjian tersebut membuka jalan bagi Indonesia untuk lebih banyak memasarkan hasil industrinya ke Uni Eropa dengan tarif yang rendah bahkan nol di hampir semua komoditas. Baik dalam bidang pemasaran barang atau jasa, investasi dan digitalisasi, keberlanjutan dan transisi energi, serta menjamin pasokan bahan baku penting bagi keduanya. (Patricia)