Hutan Mangrove dan Ekosistem Blue Carbon; Pentingnya Konservasi Bakau Indonesia untuk Perbaikan Iklim Dunia

waktu baca 5 minutes
Senin, 17 Feb 2025 14:45 0 Patricia Pawestri

LINGKUNGAN| TD – Hutan mangrove atau kawasan konservasi bakau merupakan ekosistem blue carbon yang menjadi harapan bumi untuk memperbaiki kerusakan iklim akibat pemanasan global.

Pemanasan global, atau meningkatnya suhu global per tahun terjadi akibat emisi gas rumah kaca yang mengisi atmosfer dan menghalangi pelepasan panas ke luar bumi. Hal ini dapat berbahaya bagi kehidupan, karena naiknya suhu dapat berpengaruh pada kelangsungan hidup berbagai makhluk di bumi.

Panas yang semakin tinggi dapat menyebabkan lapisan es pada daerah kutub mencair dan menyebabkan kenaikan air laut secara signifikan. Iklim dengan suhu yang semakin ekstrem akibat panas yang meningkat pada atmosfer bumi juga dapat memicu ketidakmerataan curah hujan. Sehingga dapat menimbulkan kekeringan di satu daerah, sementara daerah lainnya justru mengalami banjir.

Hal ini akan menjadi bencana alam yang semakin parah bila terjadi erosi dan abrasi akibat tidak ada pepohonan yang cukup kuat untuk menahan limpahan air dari curah hujan. Bisa jadi, pepohonan tersebut pun telah mati karena suhu yang terlalu tinggi.

Demikianlah pemanasan global dan kerusakan iklim menjadi seperti lingkaran setan yang tak mempunyai ujung. Namun, ada secercah harapan untuk memperbaiki hal tersebut. Salah satunya dengan ekosistem blue carbon.

Mengenai apa itu ekosistem blue carbon dan keterkaitannya dengan hutan mangrove,  penulis menyusun penjelasan sebagai berikut.

Ekosistem Blue Carbon

Blue carbon merupakan istilah untuk menggambarkan kemampuan penyerapan karbon atau emisi gas rumah kaca oleh pepohonan dan penyimpanannya di dasar perairan atau laut. Laut yang identik dengan warna biru inilah yang menjadi asal muasal dari nama blue carbon. Blue carbon sendiri ditujukan untuk endapan karbon yang berhasil diamankan tersebut.

Ekosistem blue carbon menjadi andalan dalam penyerapan karbon karena terbukti lebih efektif. Hutan berkemampuan khusus ini dapat menyerap karbon 50 kali lebih cepat daripada hutan terrestrial. Dan juga dapat menampung karbon hingga 4 kali lebih banyak.

Beberapa ekosistem yang dapat membentuk kawasan ekosistem blue carbon yang ideal adalah pepohonan bakau di pesisir pantai, daerah rawa, dan juga lamun atau pepohonan yang rapat pada laut dangkal. Namun, kali ini, penulis hanya akan membahas pepohonan bakau, atau hutan mangrove, sebagai ekosistem blue carbon.

Pada ekosistem bakau, blue carbon terjadi karena pepohonan bakau yang mampu menyerap sedemikian banyak emisi karbon dan menyimpannya ke dalam tanah atau biomassa. Dengan demikian, karbon tidak lagi mencemari udara, dan justru dapat berperan dalam membangun lingkungan kehidupan berbagai makhluk hidup di kawasan perairan.

Pentingnya bakau dalam pengendalian iklim adalah kemampuannya menyerap emisi karbon yang sangat tinggi. Para ahli mengeklaim bahwa bakau atau mangrove dapat menyerap karbon di atmosfer hingga 5 kali lipat lebih tinggi daripada pepohonan jenis hutan lainnya di daratan. Menurut laporan yang dirilis Center for International Forestry Research (CIFOR) pada 2003, hutan mangrove dapat menyimpan karbon sebanyak 800 hingga 1.200 ton karbon per hektar.

Kemampuan pepohonan bakau dalam menyimpan karbon, terutama di area perakarannya dalam tanah, terestimasi mencapai 50 hingga 90% dari seluruh karbon yang ia serap dan simpan di seluruh tubuhnya. Tingginya kemampuan serap ini mengandalkan serapan dari seluruh permukaan tubuhnya yang mampu tumbuh hingga setinggi 40 meter.

Kekayaan Hutan Mangrove Indonesia yang Berpotensi Sebagai Ekosistem Blue Carbon

Untuk menggambarkan daya serap mangrove tersebut, sebagai contoh, Sulawesi Utara tercatat mempunyai 11.691 hektar dapat menyerap karbon hingga 1.169.141 ton. Dalam perbandingan yang sederhana, 100 ton karbon berhasil ditangkap dan disimpan oleh setiap hektar hutan mangrove. Hal ini dikutip dari makalah penelitian karya Calvin FA Sondak dalam Jurnal of Asean Studies on Maritime Issues, Volume 1 No. 1, November tahun 2015.

Dalam jurnal tersebut, Calvin mengungkapkan jika setiap orang menghasilkan karbon CO2 sebanyak 16 ton per tahun di Amerika Serikat, maka hutan mangrove Sulawesi Utara tersebut mampu menyerap emisi dari 73.071 orang AS selama satu tahun.

Dalam perbandingan lain, misalnya dengan emisi yang dihasilkan pabrik semen yang membuang karbon ke udara hingga 1 juta ton, maka hutan mangrove Sulawesi tersebut mampu untuk menyedot emisi pabrik semen selama setahun.

Kemampuan tersebut juga dapat diperbandingkan dengan emisi buangan sebuah negara kecil, misalnya Bhutan. Negeri kerajaan yang terletak di Himalaya ini mempunyai emisi buangan sekitar 2 juta ton karbondioksida per tahun. Maka, hutan mangrove Sulawesi tersebut mampu untuk menyerap hingga 60% emisi negara Bhutan setiap tahunnya. Jumlah yang luar biasa, bukan?

Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (Ditjen PDASRH) melakukan pemetaan hutan mangrove di seluruh Indonesia sejak tahun 2013 hingga 2019. Peta sebaran mangrove tersebut rilis pada tahun 2021. Dan mengungkapkan adanya 3.364.080 hektar hutan mangrove, ditambah dengan 756.183 hektar lahan potensial mangrove yang dapat lebih berkembang.

Dalam peta yang dirilis, garis pantai di ketujuh pulau besar di Indonesia, sebagian besar tampak memiliki ekosistem mangrove. Yaitu masing-masing:

1. Pulau Jawa mempunyai ekosistem mangrove seluas 35.910 hektar.
2. Pulau Sumatera mempunyai ekosistem mangrove seluas 666.439 hektar.
3. Pulau Sulawesi berekosistem mangrove seluas 118.892 hektar.
4. Pulau Kalimantan memiliki 735.886 hektar kawasan mangrove.
5. Pulau Papua dengan luas hutan mangrove 1.497.723 hektar.
6. Pulau Bali dan Nusa Tenggara memiliki 34.835 hektar.
7. Kepulauan Maluku dengan ekosistem bakau seluas 221.560 hektar.

Luas seluruh mangrove di Tanah Air tersebut setara dengan 23%, atau hampir seperempat dari luas ekosistem mangrove di seluruh dunia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia benar-benar telah menjadi paru-paru dunia.

Dalam perbandingan dengan kemampuan penyerapan hutan mangrove di Sulawesi Utara di atas, maka dapat diketahui seluruh kawasan mangrove Indonesia dapat menyerap karbon yang dihasilkan oleh 21.025.000 oran Amerika Serikat setiap tahunnya.

Demikianlah hutan mangrove di Indonesia dapat menjadi ekosistem blue carbon yang dapat diandalkan. Dengan luas hampir seperempat dari seluruh ekosistem mangrove yang ada di seluruh dunia, pengelolaan intensif konservasi bakau akan menjadikan Indonesia mampu memberi kontribusi penting dalam menahan laju pemanasan global. (Pat)

""
""
""
LAINNYA