Muhamad Hijar Ardiansah, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. (Foto: Dok. Pribadi)OPINI | TD — Setiap 22 Oktober, bangsa Indonesia merayakan Hari Santri Nasional (HSN) — momen untuk mengenang jasa para santri yang ikut memperjuangkan kemerdekaan sekaligus meneguhkan peran mereka dalam membangun karakter bangsa. Tapi tahun ini, HSN terasa berbeda. Di tengah gegap gempita perayaan, muncul satu peristiwa yang mengguncang ruang publik: tayangan “Xpose Uncensored” di Trans7 yang menyinggung Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.
Konten itu menuai reaksi keras. Santri, alumni, dan masyarakat luas menilai tayangan tersebut tidak sensitif terhadap kehidupan pesantren. Publik marah, bukan semata karena pesantren disorot, tapi karena cara penyajiannya dianggap tidak menghormati nilai-nilai agama dan etika. Kasus ini dengan cepat memunculkan pertanyaan besar: sejauh mana kebebasan media boleh berjalan tanpa menabrak batas moral dan penghormatan terhadap lembaga keagamaan?
Trans7 memang sudah meminta maaf. Mereka mengakui adanya keteledoran dan berjanji untuk lebih berhati-hati. Langkah itu patut diapresiasi, tapi tetap saja, insiden ini menyisakan catatan penting: di era kebebasan informasi, tanggung jawab etis tidak boleh ditinggalkan.
Media punya peran besar dalam membentuk opini publik. Satu tayangan bisa membangun citra, tapi juga bisa merusak kepercayaan. Di sinilah pentingnya etika penyiaran. Jurnalisme bukan sekadar soal menyampaikan fakta, tapi juga soal bagaimana fakta itu disampaikan. Apalagi jika menyangkut lembaga seperti pesantren — tempat lahirnya generasi berakhlak, penjaga nilai moral, dan benteng terakhir kesantunan di tengah dunia yang semakin permisif.
Menariknya, peristiwa ini terjadi berdekatan dengan HSN 2025 yang mengusung tema “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia.” Tema itu sejatinya mengajak santri untuk aktif dalam menghadapi tantangan global, termasuk di dunia digital. Santri kini tidak hanya dituntut menguasai ilmu agama, tetapi juga melek media, cakap teknologi, dan mampu menjadi penyeimbang di tengah derasnya arus informasi yang sering kali tak beretika.
Fenomena “Xpose Uncensored” justru memperlihatkan bahwa nilai-nilai pesantren — seperti kehati-hatian, adab, dan tanggung jawab sosial — masih sangat relevan di era digital. Ketika sebagian media terjebak dalam sensasi dan rating, pesantren justru mengingatkan tentang pentingnya kesantunan dalam berbicara dan kejujuran dalam menyampaikan kebenaran.
Publik pun menunjukkan kesadaran baru. Reaksi masyarakat terhadap tayangan itu menjadi bukti bahwa khalayak tak lagi pasif. Mereka berani menegur, mengkritik, bahkan menuntut media untuk lebih bermartabat. Inilah bentuk kontrol sosial yang sejatinya sehat — bukan untuk membungkam, tapi untuk mengingatkan bahwa kebebasan tanpa etika akan berujung pada kekacauan moral.
Momentum HSN tahun ini bisa menjadi pengingat bersama: santri dan media seharusnya tidak berseberangan, tapi saling menguatkan. Media bisa menjadi ruang dakwah yang cerdas dan santun, sementara santri bisa menjadi penjaga moralitas di dunia digital. Keduanya memiliki tujuan yang sama — mencerdaskan bangsa dengan cara yang bermartabat.
Di tengah derasnya informasi dan kebisingan media sosial, nilai-nilai pesantren seperti adab, kesabaran, dan tanggung jawab justru semakin dibutuhkan. Etika bukan penghalang kemajuan, tapi fondasi agar kemajuan itu tidak kehilangan arah.
Peringatan Hari Santri Nasional 2025 seharusnya tidak berhenti pada seremonial dan jargon. Ia harus menjadi ajakan untuk memperkuat kesadaran etis dalam bermedia, serta menegaskan kembali bahwa santri bukan hanya pelajar agama, tetapi juga penjaga akhlak di tengah dunia digital yang serba cepat.
Karena pada akhirnya, santri dan media sama-sama punya kekuatan untuk membentuk peradaban — satu dengan ilmu, yang lain dengan informasi. Dan keduanya akan membawa Indonesia menuju peradaban yang beradab, jika berjalan dalam satu jalan yang sama: jalan etika dan tanggung jawab.
Penulis: Muhamad Hijar Ardiansah, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. (*)