TANGERANG | TD – Pemberhentian ekspor mineral mentah bauksit secara resmi telah dilaksanakan sejak hari Minggu (11/6/2023) lalu. Pemerintah melaksanakan penghentian tersebut dengan dasar UU No. 3 Tahun 2020 mengenai Pertambangan Mineral dan Batu Bara atau disebut UU Minerba.
Keputusan pemerintah RI untuk menghentikan ekspor mentah bijih bauksit tersebut bertujuan untuk meningkatkan nilai produksi. Caranya, bahan mentah bauksit akan dimurnikan dalam fasilitas pemurnian atau smelter.
Dengan pemurnian ini, diharapkan nilai bauksit akan bertambah hingga US$1,9 miliar, atau setara Rp28,1 triliun. Meskipun demikian, ada penurunan nilai yang akan terjadi di dalam negeri karena penghentian ekspor.
Penurunan nilai ekspor ini diperkirakan akan mencapai US$494,6 juta jika program penghentian ekspor bauksit mentah berjalan setahun. Begitu pula dengan royalti yang akan diterima negara akan turun hingga sebesar US$49,6 juta.
Selain itu, penghentian ekspor akan membawa permasalahan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para pekerja tambang. Diperkirakan akan ada 1.019 pekerja yang dirumahkan, baik pekerja di sektor produksi maupun penjualan.
Tetapi dengan dibukanya 4 smelter baru dalam program kebijakan hilirisasi industri, diharapkan akan membuka lapangan pekerjaan yang lebih banyak.
Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI, telah memperkirakan sejak 24 Mei 2023, dalam pertemuan dengan Komisi VII DPR RI, bahwa smelter-smelter baru tersebut akan menampung sebanyak 8.646 pekerja.
“Namun dengan terdapatnya 4 smelter eksisting, terdapat peningkatan nilai tambah dari hilirisasi bauksit sebesar US$ 1,9 miliar dan tenaga kerja 8.646 orang,” ujarnya.
Keempat smelter yang dimaksud adalah Smelter Chemical Grade Alumina yang berada di Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Ketapang di Provinsi Kalimantan Barat, serta di Kepulauan Riau. (*)