SASTRA | TD – Kiprah Goenawan Mohamad dalam dunia jurnalisme tak sedikit. Perannya dalam mendirikan Aliansi Jurnalisme Independen dan perjuangannya mempertahankan Tempo merupakan hanya sedikit dari sepak terjangnya menekuni dunia kewartawanan yang tak lepas dari pengaruh politik Tanah Air.
Peran Goenawan dalam dunia jurnalistik yang jauh lebih banyak daripada jejak sastra bahkan diakuinya dalam sebuah pidato tentang Kesusasteraan dan Pers di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki.
“Sebab jurnalistik menghasilkan duit, sedang sastra tidak,” tutur Goenawan Mohamad mengajukan alasannya lebih banyak bekerja sebagai jurnalis.
Awal mula karirnya sebagai wartawan adalah di Harian Kami pada tahun 1967. Kemudian ia pindah ke majalah Ekspres pada tahun 1970. Ia lalu memutuskan mendirikan sendiri medianya, Tempo, pada tahun 1971 .
Goenawan Mohamad menunjukkan kepiawaiannya dalam mengorganisir sejak awal ia bekerja. Ia mengorganisir para sastrawan, termasuk Bur Rasuanto, Budiman S. Hartojo, Usamah, Putu Wijaya, Mohamad Sobari dan Isma Sawitri dalam kejurnalistikan Tempo.
Kepemimpinannya tersebut bahkan melahirkan gaya baru dalam tulisan-tulisan jurnalistik yang dihasilkan oleh Tempo. Gaya ini disebut “Cross X Jurnalism”. F Rahardi mengatakan dalam sebuah laporan tertulis bahwa gaya itu disebut “tidak ada duanya di dunia”. Gaya jurnalistik khas Tempo ini kemudian diadopsi oleh banyak majalah.
Keberaniannya beradu pendapat sebagai jurnalis terbukti saat ia berbeda pendapat dengan BM Diah, pemimpin umum Majalah Ekspres. Ketika itu Goenawan Mohamad mempersoalkan artikel kasus Persatuan Wartawan Indonesia yang ia tulis. Perdebatan berujung pemecatan.
Selesai dengan Majalah Ekspress, Goenawan mendirikan Tempo. Pada tahun yang sama, 1971, ia juga menjadi Badan Sensor Film (BSF). Sebagai orang BSF, ia berdebat dengan Dra. Zubaedah Mochtar, anggota DPRGR. Dra. Zubaedah menuntut BSF dibubarkan karena dianggap menyebarkan film porno.
Goenawan Mohamad juga beradu pendapat dengan Imam Walujo dari Harian Kami tentang esai Goenawan di Tempo yang membahas Golongan Putih dan Arief Budiman.
Pada tahun 1972, saat menerima hadiah uang tunai sebesar Rp250.000 dari pemerintah, Goenawan Mohamad menolak hadir dalam acara Anugrah Seni. Ketidakhadirannya tersebut juga menjadi polemik dengan MS Hutagalung.
Tahun 1973-1974, Tempo digugat oleh Majalah Time berkaitan dengan logo yang digunakan beserta hak ciptanya. Namun, Tempo menang atas gugatan tersebut.
Goenawan juga pernah terlibat polemik mengenai isu suap yang terjadi dalam pembuatan film “Bukan Sandiwara” besutan Syuman Jaya.
Tahun 1982, Pemerintah Orde Baru membredel Tempo tetapi cuma sebentar.
Goenawan Mohamad sempat mencicipi kursi anggota MPR pada tahun 1987-1992.
Tahun 1987, Goenawan Mohamad sempat merasakan nelangsa karena ditinggalkan oleh 40 wartawan asuhannya yang kemudian bersama-sama mendirikan Majalah Editor. Kemungkinan, perdebatannya dengan Syubah Asa adalah salah satu pemicunya. Pada tahun yang sama, Tempo digugat Rp10 miliar oleh Probo Sutedjo.
Tahun 1993, Goenawan mengundurkan diri dari kepemimpinannya dalam Tempo, dan kemudian turut campur dalam kepengurusan Horison. Tetapi campur tangannya Goenawan Mohamad justru menyebabkannya berselisih dengan Hamsad Rangkuti dan kawan-kawannya. Horison pun pecah menjadi dua. Yang mengikuti Goenawan Mohamad kemudian membidani lahirnya Jurnal Kalam.
Tahun 1994, Tempo kembali dibredel. Goenawan kemudian aktif dalam demo-demo tentang pembredelan. Pemecatan Goenawan dari Persatuan Wartawan Indonesia justru membuatnya bersemangat menggalang aliansi baru, Aliansi Jurnalis Independen.
Goenawan Mohamad memenangkan kembali Tempo melalui pengajuan gugatan kepada Menteri Penerangan pada 3 Mei 1995. Goenawan Mohamad dikaitkan dengan demo terhadap Presiden Soeharto dan rombongan di Dresden, Jerman. Majalah Tempo dapat kembali terbit ketika Pemerintah Orde baru tumbang.
Itulah beberapa cerita mengenai sepak terjang Goenawan Mohamad dalam dunia jurnalistik. ***