TANGERANG | TD – Goenawan Mohamad, salah satu sastrawan puncak Tanah Air, kini lebih memilih menekuni dunia seni rupa. Di akun twitternya, @gm_gm, Goenawan Mohamad mengatakan ia sedang mempersiapkan karya-karya intaglionya untuk sebuah pameran (1/2/23). Goenawan Mohamad akan menggelar pameran tersebut di Ubud, Bali.
“Saya menjauh dari Jakarta–yang mulai tak sedap oleh sodok menyodok politik menjelang pilpres,” tulis Goenawan Mohamad.
Pengaruh Goenawan Mohamad dalam dunia sastra Tanah Air sangat besar sejak kemunculan pertamanya di sebuah majalah. Terjemahan dari sekumpulan sajak Emily yang terbit di Harian Abadi pada tahun 1960-an merupakan debut Goenawan Mohamad di ruang publik.
Kala itu Goenawan Mohamad sudah 19 tahun. Ia sudah menulis sejak dua tahun sebelumnya. Akhirnya, karya-karya pertamanya yang berbentuk puisi juga terbit di Harian Abadi, menjadi satu kumpulan berjudul “Manifestasi” bersama puisi-puisi Taufiq Ismail dan penulis-penulis lainnya.
Karya-karya Goenawan Mohamad dengan cepat menarik perhatian publik. Kecerdasannya, dan juga pengetahuannya yang berada di atas rata-rata membuat karyanya memiliki poin lebih.
Goenawan Soesatyo Mohamad, atau lebih dikenal sebagai Goenawan Mohamad, lahir tahun 1941 di dalam keluarga yang cukup mapan. Goenawan lahir di Batang, Jawa Tengah, pada 29 Juli 1941.
Ayah Goenawan Mohamad adalah seorang tokoh pergerakan di daerahnya. Latar belakang itulah yang membuat Goenawan dan saudaranya beroleh kesempatan membaca buku lebih luas dari orang kebanyakan.
Kesukaan Goenawan akan puisi telah tumbuh sejak kelas VI SD. Ia rajin mendengarkan acara puisi program RRI. Goenawan juga memanfaatkan majalah “Kisah” langganan kakaknya, Kartono.
Ketertarikannya pada dunia tulis menulis seperti gayung bersambut. Pada saat ia mengikuti kuliah psikologi di Universitas Indonesia, Goenawan Mohamad mendapatkan perhatian dari salah seorang anggota intelejen Amerika Serikat, Ivan Kats.
Arahan-arahan Ivan Kats kepada Goenawan Mohamad nyata pada dokumen-dokumen yang tersimpan di Pusat dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Kumpulan surat tersebut bertanggal antara tahun 1968-1973. Tetapi Martin Suryajaya, dalam laporan tertulisnya, mengatakan kemungkinan korespondensi antara Goenawan Mohamad dan Ivan Kats terjalin jauh sebelum 1965.
Rupanya pengaruh besar inilah yang membuat Goenawan tak menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia (UI). Goenawan Mohamad kemudian terbang ke Belgia untuk belajar filsafat dan ilmu pengetahuan pada tahun 1965. Ia mendaftar di College d’Europe di Brugge, Belgia.
Pada tahun tersebut Goenawan menerjemahkan lagi beberapa sajak Emily Dickinson yang dimuat dalam majalah Sastra. Tidak hanya sajak, Goenawan Mohamad juga menuliskan riwayat Emily lengkap dengan situasi psikologisnya dengan bahasa yang sangat baik. Pada pengantar dan riwayat Emily Dickinson tersebut terlihat pengaruh pengetahuan psikologi yang ia raih di UI.
Berikut salah satu sajak Emily yang diterjemahkan Goenawan Mohamad:
KEPADA AUSTIN, SAUDARAKU
Ada sebuah langit ada
Selalu terang serta senang
Ada sebuah matari lain
Walau hari disana kelam
Jangan hirau hutan yang muram, Austin,
Jangan hirau padang yang suram
Sebuah inilah rimba yang mungil
Dengan daun hijau berdesir
Sebab inilah kebun yang cerah
Dimana tak salju turun ketanah
Antara bunga yang tak kering
Kudengar lebah segar berdesing
Maka datanglah, saudaraku,
Masuk ketengah taman punyaku !
Dalam bahasa aslinya, demikianlah puisi Emily Dickinson yang diterjemahkan Goenawan Mohamad tersebut:
There is another sky,
Ever serene and fair,
And there is another sunshine,
Though it be darkness there;
Never mind faded forests, Austin,
Never mind silent fields –
Here is a little forest,
Whose leaf is ever green;
Here is a brighter garden,
Where not a frost has been;
In its unfading flowers
I hear the bright bee hum:
Prithee, my brother,
Into my garden come!
Tidak lama menempuh dunia filsafat di Belgia, Goenawan Mohamad bertolak ke Universitas Oslo di Norwegia pada tahun 1966. Kemudian, tampaknya, ia pulang ke Tanah Air dan menjadi wartawan pada Harian Kami pada tahun yang sama.
Sejak itu, kiprah Goenawan Mohamad terkenal dalam media pers di Indonesia. Ia ikut dalam mendirikan surat kabar Ekspres pada tahun 1970. Tetapi sebuah perselisihan membuat Goenawan Mohamad lebih memilih mendirikan sendiri media pers-nya, yaitu Tempo, pada tahun 1971.
Dengan Tempo sebagai media barunya, yang mengusung jiwa jurnalisme internasional ala Time, Goenawan Mohamad menulis banyak kolom tentang politik Tanah Air. Kekritisannya terhadap pemerintah Orde Baru yang menekan kebebasan pers membuat pemerintah memicingkan mata. Tempo pun sempat dibredel pemerintah pada tahun 1994.
Kembali pada masa sekitar 1960-1970, Goenawan Mohamad terkait dengan Manifes Kebudayaan bersama para budayawan lain seperti Mochtar Lubis dan PK Ojong. Manifes Kebudayaan adalah gerakan yang berusaha memurnikan seni. Propagandanya adalah “seni untuk seni”. Manifes Kebudayaan disebut berusaha memerdekakan seni dari segala beban dan pengaruh politik.
Martin Suryajaya, dalam laporan tertulisnya, mengatakan kegiatan Goenawan Mohamad dan beberapa budayawan lainnya dalam Manifes Kebudayaan tidak lepas dari arahan Ivan Kats. Bahkan, Ivan Kats-lah, yang meminta Goenawan Mohamad menerjemahkan Albert Camus sekaligus kata pengantar yang istimewa tentangnya.
Hal inilah yang kemudian membuat Goenawan Mohamad, yang terkesan anti terhadap gerakan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Lekra lekat dengan gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu getol menyuarakan keprihatinan rakyat kecil dengan semangat anti-kapitalismenya.
Namun, stigma Goenawan Mohamad yang anti-Lekra tersebut luruh ketika ia juga mempekerjakan orang-orang Lekra dalam media pers yang ia dirikan. ***