TANGERANG | TD – Isu kawasan rentan iklim menjadi salah satu pokok pembicaraan dalam Annual Meeting of the Global Future Councils 2023 (GFC 2023) atau pertemuan tahunan yang diadakan oleh World Economic Forum.
Pertemuan tersebut diadakan selama 16-18 Oktober di Dubai, Emirat Arab, dengan melibatkan 450 partisipan dari 80 negara.
Dikutip dari laman World Economic Forum, pembicaraan mengenai isu lingkungan tersebut antara lain mengungkapkan potensi naiknya suhu dari 1,5 hingga 2 derajat Celsius menjadi 4 derajat Celsius di tahun 2050, terutama di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (Midle East and North Africa atau MENA).
Tingginya kenaikan suhu tersebut dikhawatirkan dapat memperluas wilayah menjadi gurun, kelangkaan air, dan cuaca ekstrem seperti banjir bandang dan gelombang panas.
Perubahan lingkungan tersebut tentu juga akan memperparah kesenjangan ekonomi dan sosial, serta kondisi di daerah yang sudah rapuh dan dilanda perang.
Pertemuan tahunan tersebut melakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintah dan swasta dalam komitmennya untuk mengurangi emisi karbon, dan mendorong terbentuknya wacana keberlanjutan lingkungan dengan mengedepankan kekhasan kawasan.
Dalam evaluasinya, panel tersebut mengatakan bahwa swasta telah gagal menunjukkan komitmennya dalam menurunkan jumlah karbon meski telah ditopang pemerintah. Dan dari seluruh kawasan MENA, hanya 12% yang menunjukkan kepedulian untuk mengikuti program net zero emission. Dan dari presentase tersebut, hanya 7% yang sudah menunjukkan langkah-langkah secara jelas untuk menuju goals tersebut.
Pertemuan tersebut juga memberikan catatan survei bahwa dari 2000 responden terpilih, hanya 45% yang memahami bahwa MENA berada dalam kondisi rentan dalam menghadapi perubahan iklim.
Namun, bagaimanapun juga krisis iklim harus diatasi, salah satunya dengan transisi energi. Meskipun memerlukan biaya yang tidak sedikit, tetapi harus disadari bahwa tindakan untuk mengubah emisi menjadi nol persen (net zero emission) justru akan menciptakan peluang baru untuk terciptanya lapangan kerja yang baru, mempercepat pertumbuhan, diversifikasi ekonomi, dan juga ekspor.
Panel juga menyebutkan bahwa industri hidrogen hijau dan hidrogen biru, serta usaha penangkapan, penyimpanan, dan pemanfaatan karbon sedang dikembangkan di kawasan MENA sebagai salah satu lompatan menuju net zero emission.
Tantangan yang dimiliki adalah para pemimpin kawasan harus dapat menyeimbangkan antara dua hal penting, yaitu memberikan subsidi secepatnya kepada negara yang membutuhkan bantuan menuju transisi energi, dan melaksanakan pengendalian iklim di wilayahnya masing-masing.
Kedua hal tersebut tentunya membutuhkan energi yang besar, yang akan terbayarkan dengan terpeliharanya sumber energi untuk generasi mendatang. (*)