Gelayut Dinasti Jokowi dalam Demokrasi: Antara Legitimasi Politik dan Ancaman Nepotisme

waktu baca 4 minutes
Jumat, 3 Okt 2025 10:21 0 Nazwa

OPINI | TD — Demokrasi di Indonesia kembali diuji dengan menguatnya fenomena politik dinasti, khususnya melalui peran keluarga Presiden Joko Widodo dalam panggung kekuasaan. Fenomena ini memicu perdebatan tajam: apakah keterlibatan keluarga presiden mencerminkan hak politik yang sah, atau justru bentuk nepotisme yang mengancam meritokrasi?

Politik Dinasti dan Demokrasi yang Teruji

Politik dinasti merujuk pada praktik ketika kekuasaan diwariskan atau dikuasai anggota keluarga, bukan melalui kompetisi yang adil dan berbasis prestasi. Dalam teori demokrasi, setiap warga negara seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam politik.

Namun, seperti yang dipaparkan oleh Winters (2011), dinasti politik kerap mengurangi kualitas kompetisi dan menciptakan ketimpangan. Dal Bó, Dal Bó, dan Snyder (2009) bahkan menegaskan bahwa politik dinasti melemahkan akuntabilitas, sementara Choi (2018) menyebutnya sebagai ancaman terhadap meritokrasi.

Pasca-Reformasi, fenomena ini justru semakin subur di berbagai daerah. Kini, di era Jokowi, politik dinasti kembali menjadi sorotan nasional.

Peta Dinasti Jokowi: Dari Solo hingga Nasional

Keterlibatan keluarga Jokowi tidak lagi sebatas wacana, tetapi sudah nyata dan terukur.

  • Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, meniti karier politik cepat: dari Wali Kota Surakarta (2020) hingga menjadi calon wakil presiden 2024.
  • Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, mendadak muncul sebagai Ketua Umum PSI, sebuah jabatan strategis di dunia partai politik.
  • Bobby Nasution, menantu Jokowi, menjabat sebagai Wali Kota Medan.
  • Selain itu, beberapa keponakan dan kerabat Jokowi juga masuk ke arena politik lokal. Banyak pengamat menilai bahwa legitimasi politik, jaringan, dan efek elektoral Jokowi menjadi faktor penting di balik laju karier mereka.

Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam politik Indonesia, garis keturunan dan relasi personal masih memainkan peran besar, melampaui kapasitas individual semata.

Hak Politik atau Nepotisme yang Menyamar?

  • Perdebatan kerap berpusat pada pertanyaan fundamental: apakah keterlibatan keluarga Jokowi merupakan hak politik yang sah atau praktik nepotisme?
  • Pendukung berargumen: setiap warga negara, termasuk keluarga presiden, berhak ikut serta dalam kontestasi politik selama melalui mekanisme pemilu yang sah.
  • Kritikus menilai: jika akses politik terbuka karena nama besar dan kedekatan dengan kekuasaan, maka meritokrasi dan keadilan politik terancam.

Dalam konteks ini, demokrasi bisa terjebak pada prosedur formal belaka, sementara substansi keadilan dan kesetaraan justru hilang.

Dampak Dinasti terhadap Demokrasi Indonesia

Politik dinasti di era Jokowi menghadirkan sejumlah konsekuensi serius:

  1. Munculnya pola oligarki baru – jabatan publik berputar dalam lingkaran keluarga.
  2. Potensi konflik kepentingan – keputusan publik bisa bias terhadap kepentingan kelompok tertentu.
  3. Menurunnya kepercayaan masyarakat – publik meragukan legitimasi pemimpin jika karier politik lebih ditentukan oleh nama keluarga.
  4. Erosi norma politik – kekuasaan dipandang sebagai warisan, bukan hasil kompetisi sehat.

Jika dibiarkan, kondisi ini bisa menurunkan kualitas demokrasi dan menjebaknya pada bentuk prosedural yang miskin substansi.

Respon Publik dan Masyarakat Sipil

Isu politik dinasti menimbulkan keresahan publik. Data survei memperlihatkan tren penolakan:

  • Charta Politika (2024): 61,3% masyarakat tahu isu politik dinasti.
  • SMRC (2023): 68% responden yang tahu isu ini percaya praktiknya memang terjadi.
  • Katadata Insight Center: 55,3% masyarakat menolak politik dinasti.
  • Litbang Kompas: 63,7% setuju praktik ini perlu dibatasi.
  • Indikator Politik Indonesia: 39,2% khawatir, di Jawa bahkan 60% menilai dinasti berbahaya bagi demokrasi.

Selain survei, aksi nyata juga muncul. Kelompok seperti Nurani ’98 melaporkan dugaan KKN ke KPK. Koalisi masyarakat sipil meluncurkan petisi menolak politik dinasti, sementara diskusi publik di ruang digital semakin marak.

Meski Presiden Jokowi menyerahkan penilaian kepada masyarakat, data menunjukkan bahwa isu ini bukan sekadar polemik sesaat, melainkan kegelisahan serius rakyat terhadap arah demokrasi.

Solusi: Mencegah Demokrasi Jadi Sekadar Prosedur

Agar demokrasi tidak terjebak pada formalitas pemilu belaka, sejumlah langkah penting perlu diambil:

  • Reformasi regulasi – amandemen atau undang-undang khusus untuk membatasi politik dinasti di jabatan publik yang rawan konflik kepentingan.
  • Perbaikan partai politik – rekrutmen kader harus berbasis kapasitas, bukan garis keluarga.
  • Penguatan masyarakat sipil dan media – sebagai pengawas aktif, edukasi publik, serta pendorong literasi demokrasi.
  • Partisipasi rakyat berkelanjutan – tidak berhenti di bilik suara, tetapi juga melalui kontrol sosial dan penilaian objektif terhadap calon pemimpin.

Kesimpulan

Fenomena dinasti politik di era Jokowi memperlihatkan paradoks demokrasi Indonesia: hak politik tetap dijamin, tetapi meritokrasi terancam. Jika dibiarkan, demokrasi bisa kehilangan esensinya dan berubah menjadi sistem yang dikendalikan oleh nama keluarga.

Namun, dengan regulasi yang tegas, partai politik yang sehat, dan keterlibatan aktif masyarakat sipil, arah demokrasi Indonesia masih bisa dijaga. Tantangan utamanya adalah bagaimana memastikan kesetaraan kesempatan, meritokrasi, dan keadilan tetap menjadi fondasi utama politik Indonesia.

Penulis: Achmad Fatir Hasanudin, Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, UNTIRTA. (*)

LAINNYA