Fenomena Politik “Gendong Kerabat” di Pilkada 2024

waktu baca 2 menit
Sabtu, 6 Jul 2024 11:05 0 128 Redaksi TD

TANGERANG | TD — Pilkada serentak 2024 disemarakkan dengan bermunculannya figur-figur yang akan berkontestasi untuk meraih jabatan sebagai kepala daerah ataupun wakil kepala daerah.

Dari sekian figur yang muncul tersebut, publik disuguhi bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pucuk pimpinan daerah sebelumnya.

Di antara para figur yang akan berkontestasi di wilayah Tangerang Raya di antaranya Fadlin Akbar, putera dari mantan Gubernur Banten Wahidin Halim yang digadang-gadang bakal mendampingi politikus PSI Faldo Maldini maju dalam Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Pilwalkot) Tangerang, dan Intan Nurul Hikmah yang digadang-gadang akan mendampingi Mochamad Maesyal Rasyid pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati (Pilbup) Kabupaten Tangerang.

Menyikapi fenomena tersebut, akademisi Universitas Negeri Sultan Ageng Tirtayasa Ikhsan Ahmad menilai, praktik politik dinasti hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Sebab pada hakikatnya, dalam demokrasi, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk maju sebagai kepala daerah maupun wakil kepala daerah.

“Tapi fenomena politik dinasti menunjukkan tidak terjadinya kaderisasi yang ideal di partai politik, karena semestinya mereka yang diusung adalah kader-kader terbaik di partai politik yang telah membuktikan kemampuannya,” ungkapnya saat diwawancarai melalui sambungan telepon, Sabtu, 6 Juli 2024.

Disamping itu, Ikhsan juga mencermati fenomena mantan kepala daerah mendorong keluarganya maju pada Pilkada 2024 karena pengaruh faktor pemodal. Sebab kontenstasi politik di Pilkada membutuhkan biaya yang besar.

“Karena bohir-bohir politik membutuhkan jaminan jika yang maju adalah kontestan baru. Jika tidak ada satupun calon baru yang bisa memberikan jaminan, maka kecenderungannya mereka akan mendukung calon yang memiliki hubungan dengan kepala daerah sebelumnya. Karena lebih jelas jaminannya,” terangnya.

Hal ini, kata dia, menyiratkan politik dinasti menjadi jaring pengaman konfigurasi politik antara mantan kepala daerah dengan para pemodal, karena terjadi keberlangsungan patronase antara penguasa politik dengan pemodal untuk memuluskan berbagai kepentingan mereka ke depan.

“Dampak secara umum regenerasi politik ini menjadi salah satu simpul terjadinya korupsi. Hal ini juga menjelaskan, partai politik bersikap tidak demokratis dan diskriminatif terhadap kader terbaiknya. Demokrasi baru berjalan sebagai prosedural, belum substansif, karena kaderisasi mandek,” tegasnya. (Red)

LAINNYA