OPINI | TD – Raja Ampat, permata di timur Indonesia, nyaris kehilangan kemurniannya. Lima izin tambang nikel sempat diberikan. Empat di antaranya masuk ke wilayah Geopark Nasional Raja Ampat, yang merupakan kawasan konservasi kelas dunia. Atas hal tersebut, protes datang bertubi-tubi. Masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan warganet kompak berkata: “Hentikan!” Lalu, seperti adegan dalam film aksi, Prabowo datang menyelamatkan. Empat izin tambang langsung dicabut. Tersisa satu, PT Gag Nikel yang masih dibiarkan beroperasi dengan alasan berada di luar wilayah sensitif.
Pujian mengalir. “Presiden hijau”, “pahlawan bumi”, “penjaga warisan negeri”. Julukan-julukan itu tersemat pada sosok yang kini tak hanya terkenal karena karier militer dan kekuatan politik, tapi juga “kebijaksanaan ekologis”. Respon cepat Prabowo memang patut mendapat apresiasi. Namun, tak sedikit juga masyarakat yang merespon tindakan ini dengan sebuah pertanyaan mendasar. Yaitu mengapa izin pertambangan tersebut bisa lolos sejak awal?
Momen seperti ini bukan yang pertama. Sebelumnya, masyarakat juga menyaksikan episode demi episode penyelamatan dari Prabowo. Dari mencabut kenaikan UKT, membatalkan pencabutan subsidi listrik, hingga menormalkan kembali distribusi elpiji 3 kg. Polanya konsisten:
Kebijakan kontroversial → Publik gaduh → Prabowo turun tangan → Masalah dibatalkan → Citra melambung.
Jika diibaratkan sebuah sinetron, Prabowo selalu muncul di akhir episode sebagai tokoh utama yang menyelamatkan semua orang. Tapi kalau pemeran utamanya selalu harus turun tangan, bukankah itu tanda bahwa ada yang salah dengan alurnya? Menurut teori tata kelola publik, ini adalah gejala klasik dari sistem yang reaktif, bukan preventif. Birokrasi gagal mengantisipasi masalah. Menteri jalan sendiri-sendiri. Presiden harus jadi pemadam kebakaran, terus-menerus.
Kebijakan-kebijakan tidak pro rakyat yang lolos begitu saja menandakan bahwa mekanisme kontrol kebijakan nyaris lumpuh. Sistem checks and balances yang seharusnya jadi inti demokrasi, kini seperti panggung formalitas. Parlemen lebih sibuk jadi penyambung lidah kekuasaan daripada pengawas rakyat. Lembaga pengujian kebijakan, seperti DPR, justru lebih sering pasif atau sibuk berkompromi. Padahal, dalam teori demokrasi deliberatif, kebijakan publik yang baik harus melewati proses pertimbangan rasional, diskusi terbuka, dan evaluasi dari berbagai perspektif.
Tapi di Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya: kebijakan lahir dalam ruang tertutup, terburu-buru, dan sering kali hanya diuji oleh opini publik setelah diumumkan. Kalau sistem politik kita bekerja sebagaimana mestinya, tak perlu menunggu masyarakat gaduh untuk menyadari ada kebijakan yang cacat.
Teori legitimacy crisis dari Jürgen Habermas menjelaskan bahwa masyarakat yang kehilangan kepercayaan pada institusi cenderung menggantungkan harapan pada sosok figuratif. Figur ini jadi simbol penyelamat, bahkan ketika sistem di sekitarnya tak berjalan. Prabowo kini berada dalam posisi itu. Ia tampil sebagai solusi dari masalah yang seharusnya dicegah oleh sistem yang ia pimpin sendiri. Tumpang tindih fungsi dan lemahnya koordinasi merupakan risiko dari gemuknya kabinet yang ia bentuk. Dalam konteks ini, Prabowo seperti menjadi penambal lubang di kapal bocor. Dan kebocorannya bukan karena gelombang besar dari luar, tapi karena keroposnya fondasi dari dalam.
Raja Ampat tak diselamatkan oleh negara, melainkan ia nyaris hilang karenanya. Kita terlalu sering menyaksikan negara berjalan seperti panggung bagi aktor yang hanya bereaksi setelah gaduh dan peduli saat semua mata menyoroti. Sementara itu, kebijakan buruk lahir dari ruang-ruang yang sempit, jauh dari mata rakyat, tapi dekat dengan kepentingan.
Maka jangan terlalu cepat berbahagia atas tindakan ‘penyelamatan’ yang represif atas kebijakan tersebut. Sebab yang perlu kita soroti bukan siapa yang menyelamatkan. Tetapi, mengapa bisa kebijakan tersebut bisa lolos sehingga perlu adanya adegan ‘penyelamatan’ yang heroik.? Kalau sistem kita benar, krisis tak perlu diselamatkan, karena takkan pernah terjadi. Tapi jika kita terus mengandalkan figur tunggal untuk menambal kesalahan sistem, maka kita sedang memelihara kegagalan, bukan membangun masa depan. Dan jangan heran, bila kelak negeri ini tak hanya kehilangan Raja Ampat saja, tetapi kehilangan arah.
Penulis: Muhammad Rayya Abidzar, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Editor: Patricia