OPINI | TD — Era digital telah menghadirkan transformasi mendalam dalam kehidupan, khususnya bagi generasi muda, termasuk mahasiswa. Akses mudah terhadap hiburan digital, terutama game online, menawarkan pelarian dari tekanan akademik dan tuntutan sosial. Namun, kemudahan ini juga menimbulkan dilema: bagaimana menyeimbangkan kesenangan bermain game online dengan kewajiban spiritual dan ibadah?
Artikel ini berargumen bahwa meskipun game online dapat memberikan manfaat tertentu, dampak negatifnya terhadap pelaksanaan ibadah mahasiswa, jika tidak dikelola dengan bijak, jauh lebih signifikan dan perlu mendapat perhatian serius.
Perlu diakui, dalam porsi yang terkontrol, game online dapat berfungsi sebagai penyeimbang stres. Namun, argumen ini lemah jika dihadapkan pada realitas kecanduan dan dampaknya terhadap ibadah. Kecanduan game online, yang ditandai dengan pola bermain yang berlebihan dan mengabaikan tanggung jawab lain, merupakan ancaman nyata bagi kehidupan spiritual mahasiswa.
Waktu yang seharusnya digunakan untuk beribadah, baik sholat lima waktu bagi umat Muslim, kegiatan keagamaan lainnya, atau introspeksi diri, tersedot habis oleh dunia maya. Ini bukan sekadar pengurangan waktu, melainkan pengabaian kewajiban agama yang memiliki konsekuensi spiritual dan moral.
Lebih lanjut, efek negatif game online tidak berhenti pada pengurangan waktu ibadah. Bermain game secara berlebihan dapat memicu kelelahan fisik dan mental, menurunkan motivasi, dan mengurangi konsentrasi. Kondisi ini jelas kontraproduktif dengan pelaksanaan ibadah yang membutuhkan ketenangan batin dan fokus penuh.
Ibadah yang dilakukan dalam kondisi lelah dan terburu-buru hanya akan menjadi formalitas tanpa makna spiritual yang mendalam. Gangguan pola tidur yang diakibatkan oleh bermain game hingga larut malam juga memperparah situasi, sehingga mahasiswa kesulitan untuk bangun pagi dan menjalankan ibadah seperti salat Subuh.
Beberapa pihak mungkin berargumen bahwa keberadaan komunitas game online berbasis agama dapat menjadi solusi. Meskipun komunitas ini menawarkan dukungan dan saling mengingatkan untuk beribadah, argumen ini tidak sepenuhnya valid. Komunitas tersebut hanya menawarkan solusi parsial dan bersifat tambahan, bukan solusi utama.
Keberadaan komunitas ini tidak menghapuskan potensi negatif game online itu sendiri, seperti kecanduan, gangguan pola tidur, dan pengurangan waktu untuk ibadah. Komunitas ini juga tidak dapat menjangkau semua mahasiswa, dan tidak semua game online memiliki komunitas berbasis agama.
Kesimpulannya, meskipun game online dapat memberikan hiburan dan manfaat tertentu, dampak negatifnya terhadap pelaksanaan ibadah mahasiswa jauh lebih signifikan.
Kecanduan game online, pengurangan waktu ibadah, dan penurunan motivasi spiritual merupakan ancaman serius yang tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, mahasiswa perlu memprioritaskan ibadah dan mengelola waktu bermain game secara bijak.
Membangun kesadaran spiritual yang kuat, menerapkan manajemen waktu yang efektif, dan mencari dukungan dari lingkungan sekitar merupakan langkah-langkah penting untuk mencapai keseimbangan yang harmonis antara kehidupan digital dan kewajiban spiritual. Game online dapat menjadi hiburan, tetapi tidak boleh menjadi penghambat perjalanan spiritual.
Penulis: Muhammad Naufal Azmi, mahasiswa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, Universitas Sultan Maulana Hasanuddin Banten. (*)