Dilema Demokrasi Kontemporer dan Solusinya

waktu baca 7 minutes
Kamis, 19 Jun 2025 20:14 0 Patricia Pawestri

OPINI | TD – Demokrasi, sebagai sistem pemerintahan yang menjunjung tinggi partisipasi rakyat, kebebasan berpendapat, dan perlindungan hak asasi manusia, telah menjadi simbol kemajuan politik dunia sejak runtuhnya rezim-rezim otoriter di abad ke-20. Banyak negara, terutama yang baru merdeka atau mengalami transisi politik, menjadikan demokrasi sebagai model pemerintahan utama yang diyakini mampu menciptakan kesejahteraan dan keadilan. Namun, memasuki abad ke-21 dengan segala kompleksitas globalisasi, ledakan informasi digital, dan pertumbuhan ekonomi yang timpang, maka demokrasi tidak lagi berada dalam posisi aman.

Kini, sistem ini semakin dipertanyakan. Mengapa banyak negara demokratis mengalami krisis kepercayaan? Mengapa pemilu yang bebas justru melahirkan pemerintahan yang otoriter secara halus? Apakah demokrasi masih menjadi harapan? Atau telah menjelma menjadi sekadar ilusi yang menutupi wajah sebenarnya dari kekuasaan yang tersentralisasi dan manipulatif?

Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting untuk diajukan mengingat demokrasi tidaklah bersifat final. Ia adalah sistem yang hidup, berubah, dan sangat tergantung pada konteks sosial-politik dan budaya masyarakatnya. Di abad modern ini, demokrasi menghadapi tantangan fundamental yang memaksa kita untuk mengevaluasi kembali maknanya. Apakah demokrasi masih mengabdi kepada rakyat atau hanya menjadi panggung teatrikal bagi elite untuk melanggengkan kekuasaan? Inilah dilema demokrasi kontemporer: berada di antara harapan ideal dan kenyataan yang mengecewakan.

Demokrasi Prosedural dan Oligarki Terselubung

Salah satu persoalan mendasar dari demokrasi modern adalah pergeseran esensinya dari demokrasi substantif ke demokrasi prosedural. Demokrasi prosedural mengacu pada pelaksanaan pemilu secara teratur, adanya partai politik, dan keberadaan lembaga perwakilan. Namun dalam praktiknya, banyak dari elemen ini bersifat formalistik. Pemilu bisa saja berjalan sesuai aturan. Tetapi kandidat yang tampil adalah hasil saringan oligarki politik yang memiliki modal besar, akses media, dan jaringan kekuasaan. Hal ini menciptakan demokrasi yang dikendalikan, di mana rakyat hanya memilih dari daftar yang telah dikurasi oleh elite.

Contoh nyata terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia. Yaitu di mana biaya politik yang tinggi membuat hanya segelintir orang dengan kekayaan dan kekuasaan yang dapat bersaing dalam kontestasi politik. Alih-alih merepresentasikan aspirasi rakyat, para pejabat publik justru terikat pada kepentingan sponsor dan kelompok pemodal. Maka tak heran jika kebijakan publik sering kali tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak, tetapi menguntungkan kelompok elite tertentu. Demokrasi yang demikian hanya memberikan ilusi partisipasi. Dan juga menutup ruang perubahan struktural yang dibutuhkan rakyat.

Demokrasi prosedural ini juga memperlihatkan kegagalan dalam menciptakan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Banyak kasus korupsi, konflik kepentingan, dan pelanggaran etika kekuasaan justru tumbuh subur dalam sistem demokrasi yang kehilangan substansi. Dalam konteks ini, demokrasi menjadi topeng yang dipakai oleh para elite untuk meraih legitimasi tanpa benar-benar mengabdi pada rakyat.

Teknologi, Media Sosial, dan Disinformasi

Di era digital, informasi bergerak sangat cepat. Internet dan media sosial seharusnya menjadi sarana penting dalam memperkuat partisipasi politik masyarakat. Namun kenyataannya, ruang digital justru menjadi tempat berkembangnya disinformasi, hoaks, dan propaganda politik. Manipulasi opini publik tidak lagi membutuhkan kekuatan senjata, cukup dengan algoritma dan buzzer.

Media sosial juga memperkuat polarisasi politik. Algoritma yang bekerja berdasarkan preferensi pengguna menciptakan echo chamber di mana individu hanya terpapar pada informasi yang memperkuat pandangan mereka, dan menolak sudut pandang yang berbeda. Ini merusak prinsip deliberasi publik yang sehat dalam demokrasi. Sebaliknya, publik menjadi lebih emosional, reaktif, dan mudah dimobilisasi secara instan untuk tujuan politik jangka pendek.

Para aktor politik populis dengan cerdik memanfaatkan kondisi ini. Mereka memproduksi narasi-narasi sederhana, sering kali provokatif, untuk menciptakan pembelahan tajam antara “kami” dan “mereka”, “rakyat” versus “elite”, atau “umaat” versus “musuh agama”. Di sinilah demokrasi menjadi rentan. Ketika emosi massa lebih dominan dibanding nalar, maka yang terjadi adalah demokrasi tanpa kedewasaan politik.

Namun, ruang digital tidak sepenuhnya negatif. Di sisi lain, teknologi juga menyediakan alat perlawanan yang kuat terhadap ketidakadilan. Kampanye digital, petisi daring, dan peliputan warga menjadi senjata baru bagi gerakan sosial. Demokrasi digital menjadi medan baru untuk merebut narasi dan menggalang solidaritas.

Lebih dari itu, media digital juga mendorong transparansi. Keberadaan platform pelaporan publik, partisipasi anggaran berbasis daring, serta forum-forum diskusi virtual telah memecah eksklusivitas pengambilan keputusan politik. Ini menjadi peluang untuk mendekatkan kembali demokrasi dengan warganya.

Krisis Representasi dan Apatisme Publik

Tantangan lain yang menghantui demokrasi modern adalah krisis representasi. Rakyat merasa tidak lagi memiliki saluran yang efektif untuk menyampaikan aspirasi mereka. Lembaga-lembaga perwakilan seperti parlemen dianggap lebih sibuk dengan urusan internal, alokasi kursi, dan kompromi politik ketimbang menyuarakan kepentingan rakyat. Fenomena ini melahirkan apatisme politik yang cukup meluas, terutama di kalangan generasi muda.

Generasi milenial dan Gen Z, yang menjadi kekuatan demografis dominan, justru banyak yang merasa bahwa keterlibatan dalam politik formal tidak membawa dampak nyata. Mereka lebih memilih jalur non-formal seperti kampanye digital, advokasi sosial, hingga aktivisme lingkungan. Meskipun ini positif, namun menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap sistem politik formal mengalami penurunan serius. Jika terus dibiarkan, demokrasi akan kehilangan legitimasi sosialnya.

Apatisme politik bukanlah tanda masyarakat tidak peduli, melainkan cerminan frustrasi terhadap sistem yang tidak berubah. Dalam konteks ini, demokrasi harus berbenah. Partai politik dan lembaga perwakilan harus membuka ruang partisipasi yang lebih inklusif, transparan, dan akuntabel.

Pendidikan politik juga menjadi kunci penting. Ketika masyarakat memahami proses politik, hak-hak konstitusional, dan cara menyuarakan aspirasinya secara efektif, maka demokrasi akan kembali mendapatkan daya hidupnya. Investasi negara terhadap pendidikan kewarganegaraan tidak boleh lagi hanya menjadi pelengkap, melainkan pilar utama dalam menjaga keberlangsungan demokrasi.

Masih Ada Harapan: Perlawanan Sipil dan Dinamika Koreksi

Meskipun demokrasi menghadapi berbagai tantangan, menyebutnya sebagai ilusi semata adalah klaim yang terlalu pesimistis. Di balik kerapuhan demokrasi, justru terdapat peluang-peluang harapan yang masih bisa diperjuangkan. Demokrasi adalah satu-satunya sistem politik yang secara teoritis dan praktis masih membuka ruang bagi koreksi, perlawanan, dan keterlibatan warga negara.

Gerakan masyarakat sipil, jurnalis independen, kelompok advokasi, hingga tokoh-tokoh muda yang kritis terus membuktikan bahwa demokrasi masih bisa hidup dan menjadi lebih baik. Ketika kebijakan pemerintah terlihat menyalahi konstitusi atau merugikan rakyat, protes dan tekanan publik sering kali berhasil membatalkan atau merevisi kebijakan tersebut. Ini membedakan demokrasi dari sistem otoriter yang biasanya menutup ruang kritik dan hanya memelihara kepatuhan.

Bahkan dalam era digital yang sarat disinformasi, kesadaran literasi media dan gerakan fact-checking mulai tumbuh. Di sinilah tantangan sekaligus peluang bagi demokrasi. Yakni menjadikan warga negara bukan hanya sebagai pemilih pasif, tetapi sebagai aktor sadar yang mampu menyaring informasi, berpendapat kritis, dan ikut merumuskan masa depan bangsanya.

Momentum pemuda, perempuan, dan kelompok minoritas dalam politik juga menunjukkan bahwa demokrasi bisa menjadi ruang pemberdayaan. Selama akses terhadap politik terus bertambah luas, maka demokrasi akan menjelma bukan sekadar sistem. Tetapi sebagai budaya politik yang hidup dan tumbuh dalam kesadaran kolektif.

Kesimpulan

Demokrasi abad modern memang sedang berada di bawah tekanan. Baik dari dalam sistem itu sendiri, maupun dari perubahan sosial dan teknologi yang masif. Oligarki, manipulasi digital, krisis kepercayaan publik, serta polarisasi politik adalah bukti bahwa demokrasi tidak sedang dalam kondisi ideal. Namun demikian, menyebut demokrasi sebagai semata-mata ilusi adalah pandangan yang menutup ruang transformasi. Justru dalam tantangan-tantangan ini, demokrasi melalui pengujian. Apakah ia mampu menyesuaikan diri, mereformasi kelemahannya, dan kembali pada ruh dasarnya yakni kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Masyarakat harus diajak untuk tidak pasrah dan tidak sinis terhadap demokrasi. Kita harus sadar bahwa tidak ada sistem politik yang sempurna. Demokrasi adalah sistem yang selalu dalam proses. Kadang mundur, kadang stagnan, kadang maju. Namun, selama rakyat masih mendapat ruang untuk bersuara, maka demokrasi masih menyimpan harapan untuk diperjuangkan.

Oleh karena itu, reformasi demokrasi bukan hanya tugas negara, tetapi juga tanggung jawab warga. Kita semua memegang peran penting. Mulai dari memastikan kejujuran informasi yang kita sebarkan, hingga memilih wakil rakyat yang benar-benar mewakili nurani kolektif. Demokrasi harus diperjuangkan setiap hari, bukan hanya di bilik suara saat pemilu.

Arah demokrasi di abad modern berada di persimpangan. Yaitu antara harapan yang perlu dijaga dan ilusi yang harus dibongkar. Tantangan besar seperti dominasi elite, manipulasi digital, dan krisis kepercayaan publik menuntut kita untuk tidak hanya menjadi penonton. Tetapi pelaku aktif dalam merawat demokrasi. Demokrasi bukanlah sistem yang berjalan otomatis. Ia memerlukan warga negara yang sadar, kritis, dan terlibat. Hanya dengan cara itulah demokrasi bisa tetap hidup, berkembang, dan tidak menjadi ilusi kosong.

Di tengah pusaran zaman yang cepat berubah, demokrasi membutuhkan perawat yang setia dan kritis. Bukan hanya pengagum retorisnya, tetapi juga pembela nilai-nilainya yang sejati. Maka, apakah demokrasi akan menjadi harapan atau sekadar ilusi jawabannya ada di tangan kita semua, warga negara yang sadar dan terlibat.

Kini saatnya membuktikan bahwa demokrasi bukan sekadar sistem. Melainkan perjuangan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Demokrasi hidup bukan karena konstitusi semata. Melainkan karena rakyat memilih untuk mempercayainya, merawatnya, dan memperjuangkannya dengan kesadaran dan keberanian.

Penulis: Mufti Aminudin Haris, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Editor: Patricia

LAINNYA