Najwa Zalfa Nabila (Foto: Dok. Pribadi)OPINI | TD — Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250% di Kabupaten Pati bukan sekadar soal angka, tetapi soal rasa keadilan. Ketika kebijakan lahir tanpa mendengar denyut nadi rakyat, maka protes adalah konsekuensi logis. Demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada 10–13 Agustus 2025 adalah cerminan dari kegagalan komunikasi publik dan pemutusan hubungan emosional antara pemimpin dan yang dipimpinnya.
Alih-alih menjadi solusi, keputusan itu justru membakar bara yang telah lama terpendam: ketidakpercayaan terhadap pemerintah daerah. Inilah titik balik ketika warga Pati berkata cukup. Mereka turun ke jalan, bukan sekadar menolak beban pajak, tetapi menolak cara kekuasaan yang semakin jauh dari nilai-nilai demokrasi partisipatif.
Sebuah kebijakan publik, terlebih yang menyentuh langsung dompet rakyat, tidak boleh dibuat di ruang tertutup. Naiknya PBB-P2 hingga 250% mencerminkan kebijakan yang diputuskan secara top-down, tanpa partisipasi, tanpa transparansi, dan yang lebih parah — tanpa empati.
Dalam iklim ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, langkah ini jelas tidak sensitif. Pemerintah seharusnya hadir dengan kebijakan yang melindungi, bukan menindih. Pajak memang penting untuk pembangunan, tetapi ketika rakyat merasa dizalimi, maka pembangunan justru kehilangan legitimasi.
Kemarahan warga semakin tak terbendung ketika Bupati Pati, Sudewo, secara terbuka menantang warga untuk berdemonstrasi, bahkan menyebut siap menerima 5.000 hingga 50.000 demonstran. Ini bukan sekadar pernyataan yang buruk secara komunikasi publik, tetapi juga menandakan lemahnya kepekaan pemimpin terhadap keresahan warganya.
Pemimpin bukan hanya jabatan administratif; ia adalah simbol kepercayaan. Dan ketika simbol itu mencederai rakyatnya dengan retorika yang seolah meremehkan, maka krisis kepercayaan menjadi keniscayaan.
Empat hari aksi massa bukan hanya bentuk perlawanan, tetapi juga bentuk pendidikan politik warga. Aliansi Masyarakat Pati Bersatu lahir dari kesadaran bersama bahwa kebijakan yang tidak adil harus dilawan secara kolektif. Ini menunjukkan bahwa demokrasi lokal masih hidup, bahwa rakyat tidak pasrah saat haknya dilanggar.
Solidaritas ini juga menunjukkan bahwa warga tak hanya menolak kebijakan, tetapi juga menuntut perubahan cara berpikir para penguasa lokal: dari otoritarianisme birokratis menuju keterbukaan dan partisipasi.
Bupati akhirnya membatalkan kenaikan pajak dan meminta maaf secara terbuka. Tetapi apakah ini cukup? Tidak sepenuhnya. Bagi sebagian warga, pencabutan kebijakan adalah kemenangan. Tapi bagi yang menuntut pengunduran diri Bupati, ini hanyalah penyelesaian setengah hati.
Krisis kepercayaan belum selesai. Dan jika tidak ada pembenahan dalam pola komunikasi serta perumusan kebijakan, luka ini hanya akan menganga lebih dalam dan menjadi preseden buruk bagi demokrasi lokal.
Peristiwa Pati harus menjadi pelajaran bahwa kekuasaan yang berjalan tanpa umpan balik dari rakyat akan menciptakan jarak, bahkan perlawanan. Kebijakan tidak bisa hanya didekati dengan logika teknokratis dan target pendapatan.
Pemerintah daerah wajib membangun forum komunikasi dua arah. Dialog antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil harus menjadi mekanisme tetap sebelum kebijakan strategis diputuskan. Transparansi anggaran dan keterbukaan informasi publik bukan hanya bonus demokrasi, tapi fondasinya.
Demonstrasi Pati adalah alarm keras bahwa demokrasi lokal sedang diuji. Ketika suara rakyat diabaikan, maka jalanan menjadi ruang untuk berbicara. Namun jangan salah mengartikan: rakyat tidak anti-pemerintah. Mereka hanya ingin menjadi bagian dari keputusan yang menyangkut hidup mereka.
Jika pemerintah ingin mengembalikan kepercayaan yang hilang, maka jawabannya bukan sekadar mencabut kebijakan, melainkan membangun ulang relasi kuasa: dari relasi dominasi menjadi relasi kolaborasi. Hanya dengan itu, demokrasi lokal bisa tumbuh sehat — bukan sekadar prosedural, tapi juga substantif.
Penulis: Najwa Zalfa Nabila, Mahasiswa Semester 1 Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA). (*)