TOKOH SASTRA | TD – Chairil Anwar lahir di Kota Medan pada tanggal 26 Juli 1922. Dia adalah penyair fenomenal dan pelopor puisi modern Indonesia yang mengakhiri dominasi gaya Pujangga Baru. Pujangga Baru merupakan kaidah sastra klasik, dengan Mohammad Yamin sebagai pelopornya sejak era 1930-an. Sedangkan, esensi dari puisi modern membawa ontologi pemaknaan masuk ke dalam ruang lingkup yang lebih bebas dan reflektif. Dia mulai menulis dan muncul secara menonjol sejak tahun 1942 ke atas, menandai transisi besar dari puisi lama yang kaku menuju puisi yang lebih merdeka secara bentuk dan isi.
Chairil Anwar termasuk sebagai bagian dari kelompok sastrawan Angkatan ’45, yang mengekspresikan realita pasca kemerdekaan dengan gaya bahasa yang tajam, emosional, dan eksistensial. Pengaruhnya sangat kuat terhadap perkembangan sastra modern Indonesia, terutama dalam membuka jalan bagi lahirnya kebebasan berekspresi di dalam karya sastra.
Selama masa karier kesusastraannya, Chairil Anwar hanya menerima honor yang relatif rendah dari puisi-puisi dan sajak-sajaknya yang termuat di surat kabar. Namun sepeninggalnya, karya-karya itu mendapat pengakuan sebagai tonggak yang monumental dan reformatif . Dia menjalani kehidupan yang keras. Namun, justru dari jalan itulah lahir puisi-puisi tajam yang kemudian menjadi pondasi evolusi sastra modern Indonesia. Tragisnya, ia meninggal dunia dalam usia yang masih sangat muda belia, yaitu 27 tahun. Meskipun demikian, warisan puisinya akan tetap terus ada dalam kenangan sepanjang masa.
Dalam sejarah sastra Indonesia, Chairil Anwar bukan hanya seorang penyair. Dia adalah ruang gema, tempat kematian dan kehidupan saling bertabrakan dalam larik-larik puitis yang menolak tunduk pada bentuk baku. Dua puisinya yang paling akhir adalah : “Derai-Derai Cemara” dan “Yang Terampas dan Yang Putus”. Keduanya menyimpan lebih dari sekadar kesedihan. Keduanya adalah simfoni eksistensial menuju keheningan abadi.
“Derai-Derai Cemara” ia tulis pada awal tahun 1949. Puisinya lirih, perlahan, seperti udara pagi yang menggigil dalam dada seorang penyair yang telah merasakan dentang waktu yang semakin menyempit. Dalam satu baris terkenalnya, Chairil menulis: “Hidup hanya menunda kekalahan…” . Satu frasa yang menjungkirbalikkan seluruh optimisme manusia modern. Di puisi ini, kita menemukan perenungan, bukan pemberontakan. Chairil sedang duduk diam dalam dirinya sendiri dan menyadari, bahkan keberanian pun tak bisa mengalahkan kefanaan.
Berikut adalah salah satu puisinya yang fenomenal :
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
Chairil Anwar, 1949
Beberapa minggu setelah itu, muncul puisi “Yang Terampas dan Yang Putus”, sebuah fragmen terakhir dari napas kepenyairannya. Kali ini bukan hanya sendu, melainkan hampa. Dunia dalam puisi ini tak lagi bisa selamat hanya dengan estetika. Yang tersisa hanyalah ruang kosong, kenangan yang menyiksa, dan kerikil-kerikil tajam yang melukai langkah. Chairil tak lagi menggubah sebagai manusia yang utuh. Namun ia bicara sebagai bayangan yang tertinggal setelah segala makna dicabut paksa.
Dua puisi ini bukan sekadar berbeda nada. “Derai-Derai Cemara” adalah semacam musik perpisahan yang penuh dengan getaran dan melodius meski getir. Sedangkan “Yang Terampas dan Yang Putus” adalah caesura tanpa nada setelah simfoni berakhir. Chairil Anwar sang “binatang jalang”, pada akhirnya menyerah bukan karena kalah, tetapi karena dunia tak lagi memberinya tempat untuk berdiri.
Kematian Chairil Anwar memang terjadi pada 28 April 1949 di Jakarta. Namun sebenarnya, kematian itu telah ia rumuskan sendiri pada beberapa bulan sebelumnya serta dia satukan dalam dua puisi terakhirnya. Dia meninggal dengan cara yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang membaca puisi bukan sekadar sebagai seni, tapi sebagai peta batin seorang manusia yang tahu benar tentang bagaimana rasanya tercerabut dari segala makna.
Maka, dari Derai-Derai Cemara ke Yang Terampas dan Yang Putus, kita tidak hanya membaca dua puisi, tapi menyaksikan dua tahap pelepasan: dari kesadaran akan kekalahan, menuju kepasrahan mutlak atas kehilangan. Inilah dua simfoni kematian Chairil Anwar—dan barangkali, simfoni kita juga.
(Penulis: Sugeng Prasetyo)
Sumber Referensi :