KRIMINAL | TD – Berbahayanya deepfake porn, dari sisi psikologis korban, adalah timbulnya trauma yang dapat digolongkan dalam gejala PTSD (post-traumatic stress disorder) atau gangguan stres pasca trauma yang kurang lebih sama dengan gejala gangguan mental yang dialami oleh seseorang yang mengalami kekerasan seksual.
Hal tersebut diungkapkan oleh Joan Rumengan, aktivis perempuan sekaligus host dalam channel YouTube ProgreSIP pada 20 November 2023.
Bahkan, gejala PTSD yang diidap oleh para korban deepfake porn sama dengan gejala yang diderita oleh mereka yang menjadi korban pelecehan seksual di dunia nyata. Misalnya sering mimpi buruk terkait kasus tersebut. Juga cenderung untuk mengelak atau menghindari pembicaraan, tempat, serta aktivitas yang terkait, dalam hal ini misalnya tidak mau mengunggah foto diri lagi di media sosial. Merasa putus asa dan lebih suka menyendiri, serta mudah emosi hingga membahayakan diri sendiri. Korban juga dapat menjadi sulit tidur dan tidak dapat berkonsentrasi.
Penderitaan yang diterima oleh para korban deepfake porn juga bertambah tatkala sejumlah netizen justru menyalahkan korban sembari menuduh bahwa korban hanya mencari sensasi.
Karena itulah sangat penting untuk memasukkan kasus-kasus deepfake porn ke dalam ranah hukum untuk melindungi para korban, dan membantu mereka memulihkan kondisi mental serta kerugian sosial dan ekonomi yang menyertai penderitaannya.
Sejauh ini masih sedikit negara yang mengakui bahwa deepfake porn sebagai kekerasan seksual. Di Amerika Serikat saja, hanya 4 negara yang menyatakan deepfake porn sebagai kejahatan seksual. Yakni di California, Virginia, New York, dan Georgia. Sedangkan di Eropa, hanya Inggris yang sudah menerapkan sanksi hukum untuk pelaku deepfake atau penyebaran informasi palsu/manipulatif.
Sedangkan beberapa platform media sosial sudah memberikan dukungan untuk membatasi gerakan para pelaku. Yakni dengan analisa perilaku yang dapat digunakan sebagai pendukung atas laporan fenomena deepfake dari Facebook. Platform TikTok juga telah melarang konten seksual eksplisit dan mengharuskan penggunanya untuk mencantumkan label deepfake bila mengunggah postingan rekayasa. Berbagai platform AI juga telah melarang pembuatan konten seksual secara eksplisit.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa semua dukungan dari platform tersebut hanyalah sejengkal dari usaha yang berarti bagi perlindungan terhadap seluruh pengguna dunia digital, terutama bagi para pekerja perempuan di dalamnya.
Seluruh pekerja dunia digital, seperti influencer, pembawa acara, digital marketer, dan lainnya, yang wajahnya selalu tersebar di seluruh platform, sudah selayaknya mendapat perlindungan hukum yang sah dari negara agar terhindar dari kasus-kasus pencurian dan pemalsuan informasi seperti deepfake porn. Termasuk di Indonesia.
Sementara perlindungan dari pemerintah Indonesia saat ini hanya mengandalkan UU KUHP, yakni UU 1 tahun 2023 pasal 407 yang mengatur tentang sanksi hukum bagi penyebarluasan konten pornografi.
Di samping itu diharapkan peran serta para akademisi untuk meneliti lebih jauh dampak pelecehan seksual dari pict dan video deepfake porn, dan menemukan solusi atas dampak tersebut.
Pun disarankan kepada para pekerja untuk membangun solidaritas untuk memerangi fenomena deepfake porn.
Sumber: podcat ProgreSIP. (Pat)