Jarak tidak selalu menjadi alasan retaknya hubungan. Yang membuat hancur adalah ketika komunikasi kehilangan kejujuran dan rasa. Di bawah langit senja, kita diingatkan: kata yang tulus lebih kuat dari jarak ribuan kilometer. (Foto: Dok. Penulis) PRISMA | TD — Hubungan jarak jauh atau long distance relationship (LDR) kerap dipandang romantis di awal. Ada kesan perjuangan, kesetiaan, dan pengorbanan yang menjadi bumbu cerita cinta. Namun, di balik nuansa romantis tersebut, hubungan jarak jauh menyimpan tantangan besar dalam hal komunikasi interpersonal—dan sering kali, di sinilah benih perselingkuhan mulai tumbuh.
Perselingkuhan bukan hanya sekadar pengkhianatan terhadap cinta, tetapi juga terhadap sistem komunikasi yang sudah dibangun lama. Dampaknya tidak berhenti pada rasa sakit emosional, melainkan juga mengguncang fondasi psikologis seseorang dalam berinteraksi, mempercayai, dan memahami pasangan maupun orang lain di masa depan.
Dalam ilmu komunikasi, hubungan interpersonal yang sehat dibangun atas dua elemen utama: keterbukaan (openness) dan kepercayaan (trust). Ketika salah satu elemen ini terganggu, terutama akibat pengkhianatan, pola komunikasi ikut berubah. Kalimat yang dulu terasa hangat kini terdengar hambar, senyum yang dulu berarti kasih sayang kini terasa penuh sandiwara.
Kepercayaan yang runtuh mengakibatkan korban cenderung menutup diri. Mereka mungkin mengalami trust issue, kesulitan membaca intensi orang lain, dan bahkan memaknai komunikasi sederhana secara negatif. Di sinilah komunikasi menjadi tidak efektif, karena persepsi sudah terdistorsi oleh luka emosional.
Menurut Teori Expectation Violation dalam psikologi komunikasi, hubungan berjalan harmonis ketika kedua pihak memenuhi ekspektasi satu sama lain. Perselingkuhan adalah bentuk pelanggaran ekspektasi yang ekstrem. Ketika harapan akan kesetiaan dan kejujuran dilanggar, maka bukan hanya keintiman emosional yang rusak, tetapi juga pola komunikasi sehari-hari—mulai dari nada bicara yang dingin, intensitas percakapan yang menurun, hingga kebohongan kecil yang menjadi pola.
Hubungan jarak jauh membuat pasangan harus bergantung pada komunikasi digital: pesan singkat, panggilan video, atau sekadar emoji yang mewakili perasaan. Ketika interaksi ini tidak dikelola dengan empati dan konsistensi, ruang kosong emosional mulai terbentuk. Dalam ruang inilah, peluang untuk mencari validasi atau perhatian dari pihak lain terbuka lebar.
Bukan jaraknya yang menjadi masalah utama, melainkan kualitas komunikasi di dalamnya. Banyak pasangan gagal mempertahankan kedekatan emosional karena komunikasi berubah menjadi formalitas. Ketika sapaan “selamat pagi” kehilangan makna emosionalnya, kedekatan perlahan memudar.
Beberapa pasangan memilih bertahan meski pernah melalui krisis kepercayaan. Namun, proses pemulihan tidak mudah. Membangun kembali komunikasi yang rusak ibarat menyusun ulang pecahan kaca—bisa dilakukan, tetapi hasilnya jarang kembali sempurna seperti semula.
Untuk memulihkan komunikasi interpersonal pasca-perselingkuhan, dibutuhkan kesadaran emosional, kejujuran total, dan waktu yang panjang. Pasangan perlu membangun kembali dialog yang terbuka tanpa rasa curiga, serta menumbuhkan empati terhadap luka masing-masing. Komunikasi yang sehat pasca-trauma tidak hanya berbentuk kata-kata, tetapi juga hadir dalam kehadiran yang konsisten dan tulus.
Pada akhirnya, dampak dari hubungan jarak jauh dan perselingkuhan tidak hanya berputar pada siapa yang bersalah atau tersakiti. Lebih dalam dari itu, fenomena ini memperlihatkan bagaimana komunikasi interpersonal menjadi cerminan keutuhan batin dan kualitas hubungan.
Jarak tidak seharusnya menjadi alasan untuk berkhianat. Justru, ia seharusnya menjadi ruang pembuktian bahwa komunikasi yang jujur dan terbuka mampu menembus batas geografis. Ketika dua individu mampu menjaga komunikasi dengan penuh empati dan tanggung jawab, jarak hanyalah ujian—bukan penyebab kehancuran.
Penulis: Aleyza Catri
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)