Habsah Larasati. (Foto: Dok. Pribadi)OPINI | TD – Gengsi sosial saat ini semakin terlihat kuat dalam kehidupan masyarakat. Banyak orang merasa harus tampil seolah memiliki kehidupan yang “sempurna”, baik melalui pakaian, gaya hidup, maupun unggahan di media sosial. Menurut saya, gengsi sosial ini bukan sekadar gaya atau tren kekinian, tetapi sudah mencerminkan tekanan sosial yang tinggi di kehidupan modern.
Salah satu penyebab utama munculnya gengsi sosial adalah kebiasaan membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Terutama bagi generasi muda, banyak yang merasa “kurang” ketika melihat pencapaian orang lain. Akibatnya, mereka terdorong untuk mengikuti standar tersebut. Banyak yang rela berhutang atau memaksakan diri demi menjaga citra di mata orang lain.
Selain itu, media sosial ikut memperkuat fenomena ini. Banyak platform digital menampilkan hanya sisi terbaik kehidupan seseorang. Saat orang lain melihat kehidupan yang tampak sempurna tersebut, mereka terdorong untuk menirunya agar tidak merasa ketinggalan zaman. Media sosial akhirnya menciptakan standar yang sulit dicapai, sehingga banyak individu berusaha keras menyesuaikan diri dengan hal yang sebenarnya tidak realistis dengan kondisi mereka sendiri.
Fenomena gengsi juga berkaitan dengan pergeseran nilai dalam masyarakat modern. Dulu, harga diri seseorang diukur dari kerja keras dan kontribusinya di lingkungan. Sekarang, banyak orang lebih dihargai berdasarkan apa yang tampak dari luar. Hal ini membuka ruang bagi perilaku pamer dan konsumtif. Budaya konsumtif yang semakin kuat, didorong oleh industri fashion, teknologi, dan hiburan yang terus menciptakan tren baru, membuat masyarakat merasa perlu mengikuti perkembangan zaman. Akibatnya, banyak yang terjebak dalam pola konsumtif yang tidak sehat.
Dari sisi ekonomi, ketimpangan sosial turut berkontribusi terhadap fenomena gengsi. Banyak orang ingin menunjukkan bahwa mereka mampu, meskipun kondisi finansial sebenarnya tidak mendukung. Hal ini memunculkan tekanan ekonomi terselubung yang dapat menimbulkan masalah finansial jangka panjang bagi individu maupun keluarga.
Secara sosial, budaya gengsi dapat merusak kualitas hubungan antar manusia. Seseorang yang terlalu fokus pada citra sering kehilangan kedekatan dengan orang-orang di sekitarnya. Hubungan sosial menjadi jauh dan tidak lagi dibangun atas dasar kejujuran atau keaslian, melainkan kemampuan memamerkan kesempurnaan. Akibatnya, muncul rasa kesepian meski berada di tengah keramaian.
Oleh karena itu, masyarakat perlu mengembangkan kesadaran kritis terhadap budaya gengsi. Hidup sesuai kemampuan, menerima proses diri sendiri, dan menghargai nilai kejujuran jauh lebih penting daripada mengejar pengakuan dari orang lain. Pendidikan karakter, literasi digital, dan penguatan kesehatan mental perlu digalakkan oleh pemerintah, sekolah, dan keluarga untuk memperkuat ketahanan masyarakat terhadap tekanan sosial.
Pada akhirnya, gengsi sosial hanyalah ilusi yang dapat menggerogoti kebahagiaan. Yang lebih penting adalah bagaimana seseorang menjalani hidup dengan jujur, sederhana, dan sesuai realitas. Nilai seseorang tidak ditentukan oleh penampilan luar, tetapi oleh karakter, integritas, serta kualitas hubungan yang mereka bangun. Dengan kesadaran ini, budaya gengsi dapat dilihat bukan sebagai tren yang harus diikuti, tetapi sebagai tekanan sosial yang perlu dikritisi dan diatasi bersama.
Penulis: Habsah Larasati, mahasiswa Prodi Administrasi Negara, Universitas Pamulang kampus Serang. (*)