Budaya FOMO di Era Digital: Mengapa Kita Takut Tertinggal dari Kehidupan Orang Lain?

waktu baca 3 minutes
Minggu, 16 Nov 2025 14:25 0 Nazwa

OPINI | TD — Di era digital yang serba cepat, media sosial tidak hanya menjadi ruang berbagi informasi, tetapi juga arena pembentukan identitas, kompetisi sosial, dan performativitas diri. Unggahan foto liburan, pencapaian akademik, hingga gaya hidup estetis sering kali menjadi standar baru yang memengaruhi cara individu melihat dirinya sendiri. Dari sinilah fenomena Fear of Missing Out (FOMO) tumbuh subur: kecemasan bahwa hidup kita tertinggal jauh dari orang lain.

Fenomena FOMO tidak berdiri sendiri. Ia terbentuk melalui proses komunikasi digital—bagaimana pesan dibingkai, bagaimana identitas dikonstruksi, dan bagaimana kita memproses informasi tanpa henti. Artikel ini mengulas budaya FOMO melalui kacamata teori-teori komunikasi modern yang membantu kita memahami akar persoalannya.

FOMO dan Cara Media Membingkai Realitas

Dalam teori Framing, media membentuk realitas dengan menonjolkan sisi-sisi tertentu yang dianggap ideal dan menarik. Media sosial bekerja dengan prinsip yang sama:

  • tampilan foto terbaik,
  • potongan cerita paling bahagia,
  • pencapaian paling impresif.

Akibatnya, pengguna keliru menafsirkan bahwa hidup orang lain selalu lebih indah. Padahal, yang ditampilkan hanyalah cuplikan paling positif dari kehidupan seseorang. Distorsi inilah yang menjadi lahan subur bagi munculnya FOMO.

Perbandingan Sosial yang Tak Pernah Usai

Menurut Social Comparison Theory (Festinger), manusia cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain. Di media sosial, proses ini menjadi lebih ekstrem: scroll sebentar saja, kita sudah melihat puluhan “kehidupan ideal”.

Akibatnya, banyak orang terjebak pada upward comparison, yakni membandingkan diri dengan mereka yang terlihat lebih sukses—meski konteks hidupnya berbeda sama sekali. Dari sinilah muncul rasa tidak cukup, kurang berprestasi, dan tertinggal.

Kebutuhan Sosial yang Berubah Menjadi Tekanan

Teori Uses and Gratifications menjelaskan bahwa kita menggunakan media sosial untuk hiburan, identitas, dan koneksi. Namun kebutuhan itu bisa berubah menjadi tekanan ketika:

  • Unggahan orang lain terlihat lebih menarik,
  • Likes dan komentar menjadi ukuran harga diri,
  • Validasi digital lebih diutamakan daripada kenyamanan diri.
  • Notifikasi mengganggu fokus, karena ketergantungan pada teknologi digital.

Media yang seharusnya membantu membangun hubungan justru berubah menjadi sumber kecemasan.

Algoritma yang Membuat Kita Merasa Wajib Mengikuti Tren

Melalui teori Agenda Setting, kita memahami bahwa media menentukan isu dan tren apa yang dianggap penting. Media sosial bekerja lebih agresif: algoritma mempromosikan konten viral sehingga kita merasa semua orang sedang melakukannya.

Inilah yang memicu dorongan ikut challenge TikTok, membeli produk viral, atau ikut gaya hidup tertentu—meski sebenarnya tidak butuh atau tidak tertarik.

Takut Berbeda dan Fenomena Spiral of Silence

Teori Spiral of Silence menjelaskan bahwa individu cenderung diam ketika pendapatnya tidak sejalan dengan mayoritas. Di era digital, ini tampak ketika seseorang mengikuti tren hanya untuk “tetap dianggap ada”.

Tak ikut tren = takut tersisih.
Tak memposting = takut tak dilihat.
Tak berpartisipasi = takut dianggap tidak relevan.

Media sosial menjadi ruang konformitas, bukan lagi ruang ekspresi.

Bagaimana Mengurangi FOMO? Pendekatan Komunikasi yang Lebih Sehat

Untuk meredakan FOMO, diperlukan strategi komunikasi yang lebih sadar dan kritis:

1. Tingkatkan Literasi Media

Sadari bahwa apa yang tampil di linimasa hanyalah konstruksi realitas, bukan kenyataan utuh.

2. Kelola Identitas Digital Secara Autentik

Gunakan media sosial sebagai ruang ekspresi, bukan kompetisi pencapaian.

3. Kurangi Paparan Pemicu FOMO

Atur algoritma: unfollow akun yang menimbulkan tekanan emosional.

4. Perkuat Interaksi Tatap Muka

Komunikasi interpersonal di dunia nyata membantu mengurangi ketergantungan pada validasi digital dan membangun hubungan yang lebih bermakna.

Kesimpulan

Budaya FOMO di era digital merupakan fenomena komunikasi yang kompleks. Framing, perbandingan sosial, algoritma, serta tekanan konformitas semuanya berperan menciptakan kecemasan sosial bahwa kita tertinggal.

Dengan memahami teori-teori komunikasi ini, kita dapat lebih kritis dalam mengelola informasi, lebih bijak membangun identitas digital, serta lebih tenang menjalani kehidupan yang autentik. Pada akhirnya, kemampuan mengendalikan narasi diri menjadi kunci untuk keluar dari jebakan budaya FOMO.

Penulis: Sindi Anggia Risti
Mahasiswa Semester 1, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA