Arah Politik Prabowo-Gibran Setelah Pemilu 2024: Dampak Koalisi Besar bagi Demokrasi Indonesia

waktu baca 3 minutes
Jumat, 10 Okt 2025 01:42 0 Redaksi

OPINI | TD — Kemenangan pasangan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilu 2024 bukan hanya menandai transisi kepemimpinan nasional, melainkan juga memperlihatkan arah politik baru yang ditopang oleh koalisi besar. Koalisi semacam ini menjanjikan stabilitas pemerintahan, tetapi sekaligus memunculkan pertanyaan serius: apakah demokrasi Indonesia masih sehat ketika oposisi makin melemah dan kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir elite?

Koalisi Besar: Stabilitas atau Ancaman Demokrasi?

Fenomena koalisi besar pasca Pemilu 2024 memperlihatkan realitas politik yang pragmatis. Partai-partai yang sebelumnya berseberangan dengan Prabowo, satu per satu bergabung ke dalam pemerintahan. Akibatnya, oposisi menjadi kian mengecil. Dari sudut pandang stabilitas politik, hal ini tampak menguntungkan karena memudahkan pemerintah mendapatkan dukungan parlemen.

Namun, stabilitas semu yang dihasilkan dari koalisi besar justru bisa mereduksi esensi demokrasi. Demokrasi memerlukan oposisi yang kuat sebagai penyeimbang, pengawas, dan pemberi alternatif kebijakan. Tanpa oposisi yang kritis, ruang deliberasi publik menyempit, dan kekuasaan lebih rentan dikuasai oleh logika oligarki politik.

Ekonomi dan Pembangunan: Agenda Besar Pemerintah Baru

Prabowo-Gibran datang dengan janji populis dan ambisius: makan siang gratis untuk anak sekolah, hilirisasi industri agar Indonesia tidak sekadar menjadi pengekspor bahan mentah, transformasi digital, hingga pemerataan pembangunan di luar Jawa.

Agenda-agenda ini secara substansi memiliki nilai strategis, tetapi tantangannya terletak pada implementasi. Program makan siang gratis, misalnya, membutuhkan anggaran besar yang berpotensi menekan fiskal negara. Hilirisasi industri, di sisi lain, menuntut keberanian menghadapi tekanan global sekaligus reformasi struktural di dalam negeri. Pertanyaannya: apakah pemerintahan yang terlalu sibuk menjaga koalisi besar mampu menjalankan agenda-agenda ini secara konsisten, atau justru terjebak dalam politik bagi-bagi kursi dan kepentingan?

Konsolidasi Elit: Siapa yang Diuntungkan?

Kemenangan Prabowo-Gibran diikuti dengan konsolidasi politik elit. Hampir semua kekuatan politik besar kini berada di lingkar kekuasaan. Situasi ini menciptakan kesan bahwa arah politik lebih ditentukan oleh kompromi elite ketimbang kebutuhan rakyat.

Koalisi besar memang menjamin stabilitas jangka pendek, tetapi berisiko memperkuat politik transaksional. Alih-alih memunculkan terobosan kebijakan, pemerintah bisa terjebak dalam kewajiban menjaga harmoni antarpartai pendukung. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat hanya menjadi penonton yang menyaksikan bagaimana kursi kekuasaan dibagi, tanpa banyak ruang untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan.

Tantangan Demokrasi: Ruang Publik yang Menyempit

Jika tidak dikelola dengan hati-hati, koalisi besar bisa mereduksi kualitas demokrasi Indonesia. Demokrasi bukan hanya soal stabilitas politik atau kemenangan elektoral, melainkan juga keterlibatan masyarakat dalam proses politik.

Ruang publik berpotensi menyempit ketika oposisi melemah dan media terkooptasi oleh kepentingan penguasa. Kritik publik bisa dianggap ancaman, padahal dalam demokrasi, kritik adalah mekanisme korektif yang sehat. Pemerintahan baru dituntut tidak hanya menjaga legitimasi elektoral, tetapi juga memperkuat legitimasi partisipatif dengan membuka ruang bagi masyarakat sipil, akademisi, dan kelompok-kelompok masyarakat untuk ikut berkontribusi dalam kebijakan.

Penutup

Koalisi besar yang menopang pemerintahan Prabowo-Gibran adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia bisa menjadi fondasi untuk menjalankan program pembangunan secara konsisten karena dukungan politik di parlemen relatif aman. Namun, di sisi lain, ia bisa melemahkan demokrasi jika stabilitas politik hanya dimanfaatkan untuk konsolidasi elit dan membungkam oposisi.

Demokrasi Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar stabilitas; ia membutuhkan partisipasi rakyat, transparansi kebijakan, dan ruang kritik yang terbuka. Pemerintah baru harus membuktikan bahwa kekuasaan besar tidak hanya digunakan untuk membagi kursi, melainkan untuk menghadirkan keadilan sosial dan kesejahteraan nyata bagi seluruh rakyat.

Penulis: Sri Tuti Mulyati R
Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP UNTIRTA. (*)

LAINNYA