Ilustrasi gambar oleh penulisOPINI | TD — Di era digital seperti sekarang, tidak sulit menemukan remaja yang bercerita tentang perasaannya kepada kecerdasan buatan (AI). Mulai dari chatbot di aplikasi mental health, hingga asisten virtual seperti ChatGPT—AI kini bukan hanya alat bantu belajar, tetapi juga menjadi tempat mencurahkan isi hati. Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: apakah AI benar-benar bisa menjadi teman curhat yang baik?
Generasi muda hari ini hidup dalam keterhubungan tanpa batas, tetapi ironisnya, mereka justru sering merasa kesepian. Media sosial menciptakan ruang penuh pencitraan, di mana keaslian perasaan kerap tersisih. Di sinilah AI masuk sebagai pendengar yang selalu siap, tidak menghakimi, dan tersedia 24 jam.
“AI nggak pernah bosan dengar aku,” kata seorang remaja dalam sebuah survei daring. Kalimat sederhana ini menggambarkan kebutuhan mendasar manusia: didengarkan.
AI memang menawarkan rasa aman untuk berbagi. Tak ada gosip, tak ada cibiran, dan selalu memberi respons empatik. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran: apakah data curhatan itu benar-benar aman? Siapa yang memiliki akses atas isi percakapan pribadi tersebut?
Lebih dari itu, AI tidak memiliki emosi nyata. Ia bisa mensimulasikan empati, tapi tidak bisa merasakan. Ini bisa menimbulkan ketergantungan emosional yang semu—remaja merasa dipahami oleh entitas yang sebenarnya tidak punya hati.
Ketika curhat ke AI menjadi kebiasaan, ada risiko menurunnya interaksi sosial nyata. Padahal, manusia tumbuh lewat relasi dengan manusia lain: teman, keluarga, guru, atau konselor. Tanpa itu, empati bisa tumpul, dan kemampuan menyelesaikan konflik sosial bisa menurun.
AI seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti kehangatan manusia. Yang dibutuhkan remaja bukan sekadar jawaban, tetapi juga pelukan, tatapan mata, dan keberadaan nyata seseorang di sisi mereka.
Fenomena ini tidak perlu ditolak, tetapi perlu diarahkan. AI bisa menjadi teman pertama untuk mencurahkan perasaan—asal tetap disertai pendampingan manusia. Orang tua, guru, dan lembaga pendidikan perlu hadir memberi ruang dialog terbuka, agar remaja tidak merasa harus mencari pelarian ke dunia digital.
AI bisa jadi teman curhat, tapi bukan tempat bersandar sepenuhnya. Sebab pada akhirnya, manusia tetap membutuhkan manusia untuk benar-benar memahami makna kesedihan, cinta, dan kebahagiaan.
Penulis: Sherly, pemerhati perkembangan teknologi kecerdasan buatan. (*)