Fenomena Bahasa Gaul dan Media Sosial: Antara Kreativitas Linguistik dan Degradasi Bahasa

waktu baca 4 minutes
Senin, 15 Des 2025 01:31 0 Redaksi

OPINI | TD — Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam cara manusia berkomunikasi. Media sosial—seperti TikTok, Instagram, X, dan WhatsApp—menjadi ruang yang sangat dinamis bagi terbentuknya kultur bahasa baru. Salah satu fenomena paling menonjol adalah munculnya _bahasa gaul_ yang berkembang secara cepat dan masif.

Bahasa gaul di era digital tidak hanya berfungsi sebagai simbol keakraban atau gaya berkomunikasi, tetapi juga mencerminkan kreativitas linguistik generasi muda. Namun, di balik kekayaan tersebut, muncul pula kekhawatiran akan potensi degradasi penggunaan bahasa Indonesia yang baku dan formal.

Bahasa Gaul sebagai Kreativitas Linguistik

Pada dasarnya, bahasa gaul merupakan bentuk inovasi bahasa. Ia lahir dari kebutuhan generasi digital untuk berkomunikasi secara cepat, ringkas, dan ekspresif. Kreativitas linguistik ini tampak dalam beberapa fenomena berikut.

Penciptaan Kosakata Baru
Kata-kata seperti healing, bestie, anjay, ciwi-ciwi, gabut, hingga nolep menunjukkan bagaimana masyarakat menciptakan istilah baru yang kemudian digunakan secara luas dalam komunikasi sehari-hari.

Pengaruh Globalisasi dan Teknologi
Banyak istilah diserap dari bahasa asing seperti bahasa Inggris, Jepang, atau Korea. Hal ini mencerminkan proses interaksi lintas budaya yang semakin intens di era global.

Pemendekan dan Modifikasi Kata
Penggunaan singkatan seperti BTW, OOTD, FYI, hingga bentuk modifikasi seperti BTW-an menunjukkan kreativitas dalam menyesuaikan bahasa agar lebih efisien dalam komunikasi digital.

Ekspresi Emosional dan Identitas Kelompok
Bahasa gaul juga berfungsi sebagai penanda identitas, khususnya bagi generasi Z. Kesamaan bahasa menciptakan rasa kebersamaan dan kedekatan antarpengguna.

Dari perspektif linguistik, fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa bersifat hidup, fleksibel, dan terus berkembang sesuai dengan konteks zaman.

Media Sosial sebagai Ruang Produksi Bahasa

Media sosial berperan besar dalam mempercepat siklus kemunculan bahasa gaul. Algoritma platform memungkinkan sebuah istilah menjadi viral hanya dalam hitungan jam. Beberapa karakteristik media sosial yang mendorong fenomena ini antara lain:

Penyebaran yang Cepat dan Masif
Istilah baru yang muncul dalam konten populer dengan mudah dipelajari dan ditiru oleh pengguna lain.

Interaksi Berbasis Komunitas
Setiap komunitas memiliki jargon tersendiri, mulai dari komunitas gim, fandom K-pop, dunia kerja, hingga kalangan pelajar.

Perubahan Tren yang Sangat Cepat
Bahasa di media sosial menyerupai mode: cepat populer dan cepat pula tergantikan oleh istilah baru.

Visualisasi dan Humor
Meme, video pendek, dan konten humor berperan besar dalam menciptakan dan menyebarkan bentuk-bentuk bahasa baru.

Dengan demikian, media sosial tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi, tetapi juga sebagai ruang produksi dan reproduksi bahasa.

Antara Kreativitas dan Degradasi Bahasa

Meski kaya inovasi, fenomena bahasa gaul memunculkan perdebatan. Di satu sisi dianggap sebagai bentuk kreativitas linguistik, namun di sisi lain dinilai sebagai ancaman bagi keberlanjutan bahasa nasional.

Potensi Degradasi Bahasa

Melemahnya Penggunaan Bahasa Baku
Penggunaan bahasa gaul yang berlebihan dapat mengaburkan batas antara bahasa formal dan informal.

Kesalahan Berbahasa Menjadi Kebiasaan
Kesalahan seperti penggunaan kata “di” sebagai imbuhan dan kata depan, atau pencampuran bahasa Indonesia dan Inggris dalam konteks formal, mulai dianggap wajar.

Menurunnya Kemampuan Berbahasa Formal
Beberapa kajian menunjukkan bahwa generasi digital cenderung mengalami kesulitan dalam menyusun teks formal karena terbiasa dengan bahasa singkat dan informal.

Penurunan Sensitivitas terhadap Kaidah Bahasa
Kekuatan viral sering kali mengalahkan aturan kebahasaan, sehingga bentuk yang keliru justru lebih populer dibandingkan bentuk yang benar.

Kreativitas yang Perlu Dirayakan

Di sisi lain, bahasa gaul tidak sepenuhnya bersifat negatif. Fenomena ini menunjukkan kemampuan masyarakat dalam berinovasi dan menyesuaikan bahasa dengan perkembangan zaman. Selama pengguna memahami konteks penggunaan bahasa, kreativitas ini dapat menjadi aset budaya.

Tantangan dan Tanggung Jawab Bersama

Agar bahasa gaul tetap menjadi bentuk kreativitas tanpa merusak struktur bahasa Indonesia, diperlukan keseimbangan melalui beberapa upaya berikut:

Pendidikan Bahasa yang Adaptif
Lembaga pendidikan perlu memahami dinamika bahasa, sekaligus tetap menanamkan kaidah bahasa baku.

Peningkatan Literasi Digital
Masyarakat perlu memiliki kesadaran kapan harus menggunakan bahasa formal dan kapan bahasa gaul dapat digunakan.

Peran Media dan Influencer
Konten kreator memiliki pengaruh besar dalam membentuk pola bahasa dan perlu bertanggung jawab atas bahasa yang digunakan.

Sikap Bahasa yang Bijak
Penggunaan bahasa gaul tidak boleh menghilangkan fungsi bahasa Indonesia sebagai identitas dan pemersatu bangsa.

Kesimpulan

Fenomena bahasa gaul dan media sosial mencerminkan dinamika bahasa Indonesia di era digital. Fenomena ini memiliki dua sisi: kreativitas linguistik yang memperkaya khasanah bahasa, serta potensi degradasi yang dapat melemahkan penggunaan bahasa baku. Tantangan utama adalah merayakan kreativitas tanpa mengorbankan identitas bahasa nasional. Dengan literasi dan kesadaran berbahasa yang baik, bahasa gaul dapat menjadi bagian dari evolusi alami bahasa, bukan ancaman bagi keberlangsungannya.

Penulis: Muhammad Fikri
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA