Nana Suryana. (Foto: Dok. Pribadi)OPINI | TD — Dalam perjalanan panjang sejarah manusia, hanya sedikit profesi yang menempati posisi terhormat sebagaimana profesi guru. Dalam tradisi Islam, guru bahkan sering digambarkan memiliki kedudukan yang nyaris sejajar dengan para rasul. Bukan dalam arti membawa wahyu, melainkan karena mereka memikul misi yang seakar: menyampaikan kebenaran, menumbuhkan akhlak mulia, dan menerangi kehidupan dengan ilmu. Guru, pada hakikatnya, adalah pewaris peran profetik—mengajar, membimbing, dan menuntun masyarakat menuju peradaban yang lebih manusiawi.
Para rasul dimuliakan karena akhlak dan integritas mereka. Di titik inilah, martabat seorang guru diuji. Ilmu yang paling cemerlang sekalipun akan meredup jika tidak ditopang keteladanan; kata-kata akan kehilangan daya mengikatnya jika tidak berpijak pada moral yang kokoh. Guru hanya pantas memperoleh kehormatan sejati ketika kehadirannya membawa ketenteraman, tutur katanya memancarkan kebijaksanaan, dan perilakunya membuktikan nilai-nilai yang ia ajarkan. Dengan demikian, untuk disejajarkan secara moral dengan para rasul, seorang guru harus terlebih dahulu meneladani akhlak kenabian: jujur, amanah, sabar, dan penuh kasih sayang.
Menariknya, penghormatan terhadap profesi guru bukan hanya monumen teologis. Ia adalah kesepakatan universal yang lahir dari kebijaksanaan lintas budaya. Hampir seluruh peradaban besar—dari Yunani yang dipandu para filsuf, Cina yang dijaga ajaran Konghucu, India yang dituntun para rsi, hingga Nusantara yang dibimbing para ulama dan empu—menempatkan guru sebagai penjaga ilmu dan penata moral masyarakat. Di banyak komunitas tradisional, pelanggaran moral seorang guru dianggap lebih berat daripada pelanggaran orang biasa. Bukan karena guru lebih suci, tetapi karena masyarakat memberinya mandat sebagai teladan. Sekali seorang guru terjatuh, kepercayaan publik ikut terguncang.
Fenomena yang sering kita jumpai juga memperlihatkan hal serupa: dalam berbagai kasus kriminal, masyarakat kerap sulit mempercayai jika pelakunya seorang guru. Ia menjadi “terdakwa terakhir”, bukan karena kebal hukum, melainkan karena ada ekspektasi moral yang sangat tinggi terhadap profesi ini. Meski hukum tetap harus ditegakkan tanpa pandang bulu, persepsi ini menunjukkan betapa mulianya posisi guru di mata masyarakat.
Namun kemuliaan bukanlah status yang diwariskan secara otomatis. Ia harus dijaga dan diperjuangkan. Di sinilah pentingnya kode etik, standar profesional, dan rambu-rambu moral yang mengarahkan perilaku seorang guru. Aturan bukan sekadar formalitas administratif, melainkan pagar nilai yang menjaga guru dari godaan kekuasaan, kedekatan, dan penyalahgunaan otoritas. Ketika aturan diabaikan, martabat guru ikut runtuh; ketika martabat runtuh, kepercayaan pun pudar—dan pendidikan kehilangan fondasinya.
Pada akhirnya, bangsa mana pun tidak akan mampu melahirkan generasi yang cerdas dan bermartabat tanpa guru yang berintegritas. Guru yang menjaga kehormatannya sesungguhnya sedang menjaga masa depan bangsanya. Di tangan mereka, ilmu bukan sekadar tumpukan konsep, melainkan cahaya yang menghidupkan ruang-ruang peradaban. Oleh karena itu, memuliakan guru bukan hanya kewajiban sosial atau etika profesional—melainkan investasi moral untuk masa depan manusia itu sendiri.
Penulis: Nana Suryana
Dosen Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Suryalaya Tasikmalaya. (*)