Pers Indonesia Tegaskan Dukungan untuk Perjuangan Palestina Lewat Pemberitaan

waktu baca 4 minutes
Jumat, 7 Nov 2025 23:31 0 Nazwa

JAKARTA | TD — Pers Indonesia sejak lama memainkan peran penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina dari penjajahan Zionis Israel. Melalui pemberitaan dan liputan yang konsisten, media nasional menyoroti isu kemanusiaan, diplomasi internasional, serta genosida yang terjadi di Jalur Gaza sejak pecahnya konflik pada Oktober 2023 hingga kini.

Peran penting tersebut menjadi sorotan utama dalam Seminar Internasional bertema “The Role of Indonesian Media in Palestine’s Effort to Achieve True Independence” yang digelar di Jakarta, Jumat (7/11). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Palestine International Forum for Media and Communication Tawasol, lembaga berbasis di Istanbul, Turki, yang menghimpun jurnalis, aktivis, dan akademisi dari berbagai negara pendukung kemerdekaan Palestina.

Direktur Eksekutif Tawasol, Dr. Bilal Khalil, memberikan apresiasi terhadap kontribusi media Indonesia dalam menyuarakan penderitaan rakyat Palestina. Ia menilai perhatian media nasional terhadap isu kemanusiaan di Gaza sejalan dengan amanat Pembukaan UUD 1945, yang menegaskan bahwa segala bentuk penjajahan di muka bumi harus dihapuskan.

“Perhatian terhadap isu kemanusiaan dan keselamatan bangsa Palestina merupakan bukti komitmen pers nasional Indonesia. Misi ini sejalan dengan nilai konstitusi kita yang menolak segala bentuk penjajahan,” ujar Dr. Bilal.

Sementara itu, Desi Fitriani, wartawan senior Metro TV yang telah tiga kali meliput langsung ke Gaza sejak 2008, berbagi pengalaman mengenai tantangan liputan di wilayah konflik. Ia menekankan pentingnya komunikasi intens dengan otoritas setempat untuk mengakses berbagai lokasi vital, termasuk terowongan yang digunakan menyalurkan makanan dan obat-obatan.

“Saya menyaksikan sendiri bagaimana bantuan dari Indonesia, seperti mie instan dan ban produksi dalam negeri, dikirim melalui terowongan untuk menembus blokade Israel,” ungkap Desi.

Desi juga menyoroti banyaknya jurnalis yang gugur di Gaza dalam dua tahun terakhir, membuat media televisi Indonesia kerap mengandalkan gambar dari media internasional. Ia menegaskan pentingnya ketelitian produser berita agar tidak terjebak dalam narasi yang menyudutkan Palestina.

“Kita harus cermat dalam memilih kata dan visual, agar narasi yang dibangun tetap berpihak pada kemanusiaan dan kebenaran,” tegasnya.

Dalam sesi berikutnya, Pizaro Gozali, wartawan senior yang pernah bertugas di Anadolu Agency dan BenarNews, menekankan pentingnya peran media digital dalam memperkuat dukungan terhadap Palestina. Ia menyebut media siber sebagai ruang baru perjuangan untuk melawan upaya Israel menutupi kejahatan kemanusiaan.

“Media digital harus menjadi garda terdepan dalam membongkar upaya Israel mencuci tangan dari kejahatan yang mereka lakukan di Palestina,” jelasnya.

Mengutip jurnalis Palestina-Amerika Mariam Barghouti, Pizaro menyoroti kecenderungan media arus utama dunia yang lebih fokus pada reaksi Palestina ketimbang agresi Israel, sehingga menciptakan narasi bias.

Sementara itu, Annisa Theresia, aktivis Palestina dan Pembebasan Masjidil Al-Aqsha, dalam presentasinya berjudul “Centering Human Dignity Through Creativity”, menegaskan bahwa tragedi di Gaza bukan konflik, melainkan pendudukan dan genosida yang disiarkan dunia secara langsung.

“Genosida yang terjadi di Gaza adalah kejahatan kolektif dunia karena tidak ada tindakan nyata untuk menghentikannya,” ujar Annisa, mengutip pernyataan Utusan Khusus PBB, Francesca Albanese.

Ia juga menyoroti perlawanan kreatif rakyat Palestina melalui seni dan budaya global. Salah satunya, lagu “Hind’s Hall” karya Macklemore yang menceritakan kisah tragis Hind Rajab, bocah perempuan Palestina yang tewas ditembak tentara Israel.

Dalam kesempatan lain, Ahmad Tirmizi, Pemimpin Redaksi indo.palinfo.com, menekankan pentingnya media Indonesia untuk terus mengangkat aspek hukum humaniter dan analisis kejahatan perang dalam pemberitaan.

“Israel tidak hanya membunuh manusia di Gaza, tetapi juga membunuh kebenaran melalui manipulasi narasi di media massa dan media sosial,” ujarnya tegas.

Sementara itu, mantan anggota Dewan Pers Dr. Asep Setiawan menyoroti perjalanan pemberitaan media Indonesia terhadap konflik Gaza dari 2023 hingga 2025. Ia membaginya menjadi tiga fase:

– Fase emosional (Oktober–Desember 2023), ditandai dengan liputan solidaritas kemanusiaan.

– Fase transisi (Januari–Juni 2024), mulai muncul analisis diplomasi dan politik.

– Fase substantif (Juli 2024–Juli 2025), media Indonesia semakin kritis dan mendalam dalam membahas isu Gaza.

Seminar tersebut juga dihadiri oleh Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Dr. Teguh Santosa, serta perwakilan Asia Middle East Center for Research and Dialogue (AMEC), menandai komitmen berkelanjutan dunia pers Indonesia untuk berdiri bersama Palestina. (Rls)

LAINNYA