Budaya Korupsi di Indonesia: Dari Elite Politik hingga Masyarakat Permisif

waktu baca 3 minutes
Rabu, 8 Okt 2025 15:44 0 Redaksi

 

OPINI | TD — Korupsi di Indonesia bukan lagi sekadar praktik individu yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi telah menjelma menjadi budaya yang mengakar kuat di hampir setiap lapisan masyarakat. Mulai dari elite politik yang gemar mempertontonkan gaya hidup mewah hasil uang rakyat, hingga masyarakat biasa yang secara tidak sadar melanggengkan praktik suap, pungli, dan gratifikasi dalam kehidupan sehari-hari. Budaya permisif inilah yang menjadi fondasi subur bagi bertahannya korupsi di negeri ini.

Ironisnya, generasi muda yang diharapkan menjadi agen perubahan justru mulai terlibat dalam praktik korupsi. Di tengah harapan akan munculnya pemimpin muda yang bersih dan progresif, publik malah disuguhi kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat usia muda. Pada 2023, misalnya, beberapa birokrat muda terjerat kasus korupsi dana hibah dan suap digitalisasi pemerintahan daerah. Usia mereka baru tiga puluhan—usia di mana idealisme seharusnya masih menyala. Namun idealisme itu seakan mudah luntur ketika masuk dalam sistem yang sudah lama membusuk.

Fenomena ini mengindikasikan bahwa masalah korupsi di Indonesia bukan hanya disebabkan oleh individu korup atau lemahnya penegakan hukum, melainkan juga oleh budaya sosial yang permisif terhadap kecurangan. Kita terbiasa mendiamkan praktik kecil yang koruptif: menyuap agar urusan cepat selesai, menyebut pungli sebagai “uang rokok”, dan menganggap gratifikasi sebagai bentuk “terima kasih”. Bahkan saat memilih pemimpin, masih banyak masyarakat yang menutup mata terhadap rekam jejak buruk selama kandidat tersebut memberikan bantuan materi.

Sikap permisif masyarakat ini tidak lepas dari buruknya keteladanan di tingkat elite. Ketika pejabat tinggi justru terlibat korupsi besar dan lolos dengan hukuman ringan, masyarakat pun kehilangan kepercayaan pada sistem hukum. Ketimpangan perlakuan hukum membuat penegakan hukum tampak tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Kondisi ini tercermin dalam penurunan Indeks Persepsi Anti-Korupsi (IPAK) Indonesia: dari 3,82 pada 2023 menjadi 3,76 di 2024 untuk dimensi persepsi, dan dari 3,96 menjadi 3,89 untuk dimensi pengalaman. Ini menandakan makin rendahnya kepercayaan publik terhadap keseriusan pemberantasan korupsi.

Dalam perspektif hukum, korupsi bukan hanya pelanggaran etika, melainkan kejahatan serius yang merugikan negara dan melanggar hak ekonomi serta sosial masyarakat. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan pembaruannya melalui UU Nomor 20 Tahun 2001 sudah secara tegas mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi. Sayangnya, implementasi hukum ini masih jauh dari harapan karena lemahnya pengawasan, celah regulasi, dan rendahnya integritas aparat.

Edward Nainggolan, Kepala Kanwil DJKN Kalimantan Barat, menyatakan bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi persoalan sistemik yang tidak hanya berakar dari budaya, tetapi juga diperkuat oleh lingkungan sosial yang permisif. Masyarakat cenderung membiarkan praktik suap dan gratifikasi berjalan, bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah. Dalam ekosistem semacam ini, korupsi tidak hanya sulit diberantas—ia bahkan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Yang lebih mengkhawatirkan, budaya korupsi ini bukan hanya ada di kalangan tua, tapi juga mulai dipelajari dan diulang oleh generasi muda. Pemuda-pemudi yang awalnya idealis, saat masuk ke dalam sistem yang sudah rusak, akhirnya ikut terseret arus. Mereka tidak hanya mewarisi jabatan, tapi juga cara bermain kotor yang sudah menjadi “tradisi”.

Jika dibiarkan terus-menerus, korupsi akan tetap menjadi lingkaran setan. Dan selama masyarakat masih memaklumi kecurangan—baik karena apatis, takut, atau merasa tidak punya pilihan—maka tidak akan ada perubahan nyata. Pemberantasan korupsi bukan hanya tugas KPK atau aparat hukum. Ini adalah tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa, dimulai dari kesadaran paling sederhana: menolak gratifikasi kecil, berani melapor pelanggaran, dan memilih pemimpin berdasarkan integritas, bukan popularitas atau iming-iming materi.

Korupsi bukanlah budaya bangsa. Ia adalah penyakit sosial yang menyamar dalam kebiasaan, dan hanya bisa diberantas jika kita berhenti menganggapnya sebagai hal biasa. Tanpa perubahan sikap dari masyarakat, sekuat apa pun hukum dibentuk, korupsi akan tetap punya ruang untuk hidup.

Penulis: Muhammad Haikal Nurfaqih
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA