OPINI | TD — Indonesia memasuki babak baru dengan visi besar: Indonesia Emas 2045. Visi ini menggambarkan cita-cita bangsa menyambut usia 100 tahun kemerdekaan dengan kemajuan ekonomi, sosial, dan teknologi yang mumpuni. Namun, di balik optimisme tersebut, muncul perdebatan penting yang tak boleh diabaikan: bagaimana mengimbanginya antara kebutuhan pembangunan yang mendesak dengan urgensi menjaga kelestarian lingkungan?
Tidak bisa dipungkiri, pembangunan infrastruktur dan ekonomi memang mendesak. Indonesia butuh lapangan kerja, peningkatan daya saing, serta pemerataan kesejahteraan untuk mengatasi ketimpangan sosial. Namun, pembangunan yang mengabaikan aspek lingkungan justru berisiko menghancurkan fondasi masa depan itu sendiri. Kita sudah menyaksikan berbagai bencana akibat kerusakan lingkungan — dari kebakaran hutan hingga pencemaran air yang mengancam kesehatan masyarakat.
Konflik ini kerap menjadi batu sandungan dalam kebijakan publik. Pihak yang menuntut percepatan pembangunan seringkali mengabaikan konsekuensi ekologis, sementara pendukung konservasi dianggap menghambat kemajuan. Padahal, solusi sejatinya harus menggabungkan keduanya, tidak pilih kasih.
Masalah lain yang tak kalah serius adalah dinamika politik yang kerap mengutamakan kepentingan sesaat. Janji-janji populis dan program jangka pendek sering mengalahkan diskusi mendalam tentang pembangunan berkelanjutan. Visi Indonesia Emas 2045 yang memerlukan komitmen jangka panjang sering kali terlupakan di tengah siklus politik lima tahunan.
Ini menjadi tantangan besar: bagaimana mewujudkan kebijakan yang konsisten dan berkelanjutan, lepas dari tekanan politik sesaat? Jika tidak, visi gemilang itu akan tetap menjadi angan-angan tanpa realisasi berarti.
Sebagai negara mega-biodiversitas, Indonesia punya tanggung jawab besar menjaga alamnya. Deforestasi dan perubahan iklim bukan hanya isu global, tapi ancaman nyata bagi kehidupan masyarakat di sini. Bencana alam yang semakin sering terjadi mengingatkan kita bahwa lingkungan bukan sekadar pelengkap, tapi pusat dari segala kebijakan pembangunan.
Mengabaikan lingkungan sama artinya mengabaikan masa depan bangsa. Setiap kebijakan harus mempertimbangkan dampak ekologis secara serius, agar Indonesia tidak hanya tumbuh ekonominya, tapi juga lestari dan berkelanjutan.
Membangun masa depan bukan hanya tugas pemerintah. Masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta harus terlibat aktif dalam mengawal pembangunan berkelanjutan. Pendidikan politik yang sehat, kebebasan pers, dan ruang diskusi terbuka menjadi kunci agar suara rakyat didengar dan dijadikan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.
Kolaborasi antar berbagai pihak akan memperkuat demokrasi sekaligus menjaga arah pembangunan agar tetap pada jalur yang benar.
Untuk menyeimbangkan urgensi pembangunan dan kelestarian lingkungan, diperlukan langkah strategis yang nyata:
Debat soal pembangunan dan lingkungan harus dipandang sebagai kesempatan, bukan hambatan. Perbedaan pandangan yang konstruktif akan menguatkan jalan menuju solusi terbaik. Indonesia membutuhkan nasionalisme kritis — sebuah cinta tanah air yang diwujudkan dengan keberanian memperjuangkan kepentingan jangka panjang bangsa, bukan sekadar pencitraan politik sesaat.
Hanya dengan begitu, Indonesia Emas 2045 bukan menjadi slogan kosong, melainkan realitas yang membanggakan.
Penulis: Siska Dewi, Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP UNITIRTA. (*)