Tunjangan DPR: Polemik, Transparansi Anggaran, dan Kesenjangan Sosial

waktu baca 3 minutes
Minggu, 5 Okt 2025 14:51 0 Nazwa

OPINI | TD — Isu tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menjadi sorotan publik. Polemik ini bukan sekadar soal besaran angka yang fantastis, melainkan tentang transparansi anggaran dan kesenjangan sosial yang semakin melebar antara para wakil rakyat dengan masyarakat yang mereka wakili. Di saat jutaan rakyat masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar, para legislator justru mendapat fasilitas mewah yang memicu kritik keras.

DPR dan Fungsi Representasi yang Dipertanyakan

Secara normatif, DPR adalah representasi suara rakyat, garda terdepan dalam legislasi, pengawasan, dan penganggaran. Namun dalam realitas sehari-hari, publik lebih sering mendengar kabar mengenai tunjangan fantastis dibanding capaian kinerja.

Sorotan publik terutama tertuju pada tunjangan perumahan. Berdasarkan surat Sekretariat Jenderal DPR No. B/733/RT.01/09/2024, anggota DPR periode 2024–2029 diberikan tunjangan perumahan hingga Rp50 juta per bulan, menggantikan fasilitas Rumah Jabatan Anggota (RJA). Angka tersebut bukan hanya mengejutkan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan etis: bagaimana mekanisme penetapan nilai tunjangan sebesar itu, dan di mana letak akuntabilitasnya?

Transparansi Anggaran yang Dipertanyakan

Meski DPR rutin merilis laporan keuangan, rincian detail soal tunjangan, fasilitas, dan biaya operasional cenderung sulit diakses dan dipahami publik. Kondisi ini memperkuat persepsi bahwa DPR tertutup bila menyangkut penggunaan anggaran untuk kepentingan pribadi.

Arif, dalam artikelnya di Tirto.id berjudul “Tunjangan Perumahan DPR Dinilai Tidak Peka Keadaan Rakyat” (6 Oktober 2024), menilai mekanisme transparansi DPR masih minim. Publik berhak tahu bagaimana uang rakyat digunakan, namun yang terlihat justru kebijakan yang muncul mendadak tanpa komunikasi yang memadai.

Jurang Kesenjangan Sosial

Perbandingan sederhana dapat memperlihatkan jurang kesenjangan itu. Menurut BPS (2023), rata-rata pendapatan per kapita masyarakat Indonesia adalah sekitar Rp56 juta per tahun. Artinya, tunjangan perumahan DPR dalam satu bulan hampir setara dengan penghasilan tahunan seorang warga biasa.

Lebih jauh, ICW memperkirakan pemborosan anggaran untuk tunjangan perumahan DPR periode 2024–2029 mencapai Rp1,36–2,06 triliun. Jumlah sebesar itu, bila dialihkan, dapat digunakan untuk membangun sekolah, memperluas layanan kesehatan, atau meningkatkan infrastruktur desa-desa terpencil.

Konteks Ekonomi Rakyat

Kritik publik semakin masuk akal bila melihat kondisi ekonomi 2025. Data BPS pada Maret 2025 mencatat jumlah penduduk miskin mencapai 23,85 juta jiwa atau 8,47% dari populasi. Sementara itu, data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) hingga Juni 2025 menunjukkan 42.385 pekerja terkena PHK, naik 32,1% dibandingkan tahun sebelumnya.

Dengan kondisi ini, pemberian tunjangan fantastis kepada wakil rakyat jelas kontras dengan realitas masyarakat yang masih berjuang keras untuk bertahan hidup.

Jalan Menuju DPR yang Lebih Akuntabel

Polemik tunjangan DPR bukan sekadar soal nominal, tetapi soal prioritas, keadilan, dan akuntabilitas. Ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan:

  • Transparansi Anggaran
    DPR wajib mempublikasikan rincian anggaran, termasuk tunjangan, dalam format sederhana dan mudah dipahami masyarakat.
  • Evaluasi Berkala Tunjangan
    Besaran tunjangan harus dievaluasi dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi, tingkat kemiskinan, dan kebutuhan rakyat.
  • Penguatan Pengawasan
    Mekanisme pengawasan, baik internal maupun eksternal, harus diperkuat agar kebijakan DPR tidak menyimpang dari prinsip akuntabilitas.
  • Partisipasi Publik
    DPR perlu membuka ruang bagi masyarakat untuk memberi masukan, mengajukan pertanyaan, dan mengawasi langsung penggunaan anggaran.

Saatnya DPR Memprioritaskan Rakyat

Polemik tunjangan DPR seharusnya menjadi refleksi bagi para legislator: apakah mereka benar-benar bekerja untuk rakyat atau sekadar menikmati privilese jabatan? Di saat rakyat berjuang melawan kemiskinan dan PHK, DPR justru mempertebal citra sebagai elite politik yang jauh dari kehidupan sehari-hari masyarakat.

Sebagai warga negara, kita memiliki hak sekaligus tanggung jawab untuk mengawasi jalannya lembaga legislatif. Dengan partisipasi publik yang aktif, DPR bisa didorong untuk kembali pada peran sejatinya: menjadi wakil rakyat, bukan sekadar penikmat tunjangan.

Penulis: Aura Fadillah Riawan, Mahasiswi Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta. (*)

LAINNYA