OPINI | TD — Pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Umum PBB ke-80 pada 23 September 2025 memantik perdebatan luas. Ia menyatakan bahwa jika Palestina merdeka, Indonesia akan mempertimbangkan untuk mengakui Israel, bahkan turut menjaga stabilitas kawasan. Pertanyaan pun muncul: apakah ini murni strategi diplomasi untuk mengukuhkan posisi Indonesia di kancah global, atau sekadar manuver simpati yang diarahkan pada publik dalam negeri?
Dari perspektif diplomasi, langkah Prabowo bisa dibaca sebagai strategi “jalan tengah”. Ia tidak menutup kemungkinan normalisasi hubungan, tetapi tetap menegaskan syarat mutlak: kemerdekaan Palestina. Sikap ini mengirimkan pesan bahwa Indonesia tidak akan berkompromi dengan prinsip keadilan, sekaligus ingin tampil sebagai aktor konstruktif dalam upaya perdamaian Timur Tengah.
Jika benar dijalankan, strategi ini memiliki implikasi penting. Pertama, Indonesia bisa memperkuat peran sebagai mediator netral di PBB maupun OKI. Kedua, Indonesia berpeluang membangun citra global sebagai jembatan antara dunia Islam dan Barat. Ketiga, normalisasi dengan Israel juga membuka pintu kerja sama strategis, terutama di bidang teknologi, pertahanan, dan ekonomi.
Namun, risiko tetap besar. Bagaimana memastikan syarat “Palestina merdeka” tidak dimanfaatkan Israel sebagai legitimasi politik? Bagaimana pula memastikan dukungan rakyat Indonesia tidak tergerus oleh kesan kompromi terhadap amanat konstitusi?
Konflik Palestina–Israel memang isu luar negeri, tetapi resonansinya sangat kuat di dalam negeri. Dukungan pada Palestina adalah konsensus moral masyarakat Indonesia, mayoritas muslim. Dengan mengumandangkan dukungan itu di forum dunia, Prabowo mendapatkan keuntungan politik domestik: simpati emosional, legitimasi ideologis, dan citra moral di mata rakyat.
Lebih jauh, langkah ini juga dapat dipandang sebagai strategi memperbaiki citra pribadi. Prabowo ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak hanya dikenal sebagai figur militer dengan masa lalu penuh kontroversi, tetapi juga sebagai pemimpin yang berpihak pada kemanusiaan global. Namun, tidak bisa dipungkiri, isu luar negeri ini juga bisa berfungsi sebagai pengalih perhatian publik dari berbagai persoalan domestik, mulai dari program Makan Bergizi Gratis yang menuai kritik, kasus keracunan anak, hingga sorotan tajam terhadap kenaikan fasilitas DPR.
Respons publik terhadap pernyataan Prabowo beragam. Banyak yang menyambut positif karena dianggap konsisten dengan garis politik Indonesia yang selalu mendukung Palestina. Salah satu komentar di kanal YouTube Prabowo Subianto menyebut: “Saya sangat bangga, Pak. Tetap di jalur rakyat tertindas.”
Namun, kritik juga tidak sedikit. Sebagian menilai wacana pengakuan Israel melemahkan prinsip solidaritas abadi Indonesia. Komentar di TikTok, misalnya, menulis: “Prabowo mendukung two-state solution, artinya juga mengakui eksistensi Israel. Sejak kapan sejarah kita mengajarkan itu?”
Perdebatan ini menunjukkan adanya polarisasi opini. Di satu sisi, langkah Prabowo dianggap berani dan visioner; di sisi lain, ia dipandang penuh risiko dan berpotensi menodai komitmen historis Indonesia pada Palestina.
Janji Prabowo soal Palestina merdeka dan pengakuan Israel bukanlah pernyataan biasa. Ia adalah manuver yang memadukan idealisme, strategi global, dan kalkulasi politik domestik. Namun, janji itu juga akan diuji oleh konsistensi: apakah benar Indonesia tetap teguh mendukung Palestina, atau justru tergelincir dalam kompromi geopolitik?
Sejarah mencatat, Indonesia selalu berdiri di sisi Palestina. Karena itu, dunia kini menanti: apakah janji Prabowo akan menjadi strategi diplomasi yang memperkuat posisi Indonesia, atau hanya simpati politik yang menguap bersama waktu?
Penulis: Mutiara Dwi Salsabila, Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA). (*)