Kekecewaan Politik Gen Z dan Ancaman Golput di Pemilu 2029

waktu baca 3 minutes
Minggu, 5 Okt 2025 12:39 0 Nazwa

OPINI | TD — Kekecewaan politik di kalangan generasi Z semakin nyata dan berpotensi memengaruhi jalannya Pemilu 2029. Generasi muda yang tumbuh di era digital ini memiliki akses luas terhadap informasi politik, namun keterbukaan tersebut justru menyingkap wajah muram demokrasi Indonesia: janji politik yang tak ditepati, kebijakan yang kurang berpihak pada rakyat, hingga perilaku wakil rakyat yang jauh dari aspirasi publik.

Fenomena ini menimbulkan dilema. Gen Z di satu sisi peduli dan kritis terhadap isu-isu sosial, tetapi di sisi lain, rasa frustrasi membuat mereka enggan terlibat dalam politik formal seperti pemilu. Jika kekecewaan ini terus berlanjut, ancaman meningkatnya angka golput di 2029 bukan lagi sekadar prediksi, melainkan realitas yang bisa mengguncang legitimasi demokrasi Indonesia.

Demo Agustus 2025: Simbol Ketidakpuasan Politik

Demo Agustus 2025 menjadi simbol jelas kekecewaan generasi muda. Ribuan mahasiswa turun ke jalan menyuarakan keresahan soal ekonomi, kebebasan berpendapat, hingga kritik terhadap DPR. Aksi itu bukan sekadar ritual tahunan, melainkan cermin jurang yang makin lebar antara rakyat dengan wakilnya.

Poster, spanduk, dan orasi kala itu menyampaikan pesan keras: wakil rakyat gagal menjalankan mandat sebagai penyambung suara rakyat. Respons pemerintah dengan janji evaluasi kebijakan justru menambah frustrasi karena hingga kini dianggap tak ada langkah nyata yang benar-benar menjawab aspirasi anak muda.

Potensi Golput di Pemilu 2029

Dari berbagai survei, terlihat gejala meningkatnya niat golput di kalangan Gen Z. Sikap ini tidak selalu lahir dari apatisme, melainkan bentuk protes politik. Bagi banyak anak muda, memilih atau tidak memilih dianggap tidak membawa perbedaan berarti, karena mereka merasa suara rakyat tidak pernah sungguh-sungguh didengar.

Jika fenomena ini berkembang, Pemilu 2029 bisa diwarnai lonjakan angka golput yang signifikan. Demokrasi pun terancam hanya menjadi formalitas lima tahunan tanpa partisipasi bermakna. Lebih dari itu, tingginya golput dapat mengikis legitimasi pemilu, baik di mata publik domestik maupun dunia internasional.

Golput: Protes Politik, Bukan Apatisme

Melabeli golput sebagai tanda ketidakpedulian adalah kesalahan besar. Banyak generasi muda tetap aktif membahas isu bangsa, mengkritisi kebijakan publik, hingga bersuara di media sosial. Keputusan untuk golput justru lahir dari rasa kecewa yang mendalam terhadap elite politik. Golput menjadi bentuk ekspresi politik alternatif, tanda bahwa ada krisis representasi dalam demokrasi.

Fenomena ini bisa berubah menjadi gerakan kolektif jika tidak diantisipasi. Dengan jumlah pemilih Gen Z yang dominan, golput 2029 berpotensi lebih masif dibanding pemilu sebelumnya. Bila itu terjadi, golput tidak lagi sekadar pilihan individu, melainkan kritik sosial yang mengguncang fondasi demokrasi.

Harapan untuk Politik yang Lebih Peka

Meski ancaman golput besar, selalu ada ruang harapan. Generasi muda menuntut wakil rakyat kembali pada peran sejatinya: menepati janji politik, memperjuangkan kepentingan publik, dan menghadirkan kebijakan yang berpihak pada rakyat.

Namun, tanggung jawab memperbaiki demokrasi bukan hanya ada di pundak elite. Generasi muda pun perlu terus aktif mengawasi, menyuarakan aspirasi, dan memanfaatkan ruang demokrasi. Golput bisa menjadi protes, tetapi partisipasi aktiflah yang mampu menekan elite agar benar-benar berubah.

Pemilu 2029 akan menjadi ujian besar bagi demokrasi Indonesia. Jika elite politik gagal menjawab kekecewaan generasi muda, golput bisa menjelma simbol perlawanan. Sebaliknya, jika aspirasi mereka benar-benar diakomodasi, maka kepercayaan publik bisa dipulihkan.

Penulis: Ayu Setiana Maryanto, Mahasiswa Semester 1 Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP UNTIRTA. (*)

LAINNYA