Pajak di Era Kemenkeu Baru

waktu baca 3 minutes
Jumat, 26 Sep 2025 12:16 0 Nazwa

OPINI | TD — Isu mengenai APBN 2026 menjadi salah satu topik politik paling hangat dalam beberapa bulan terakhir. Setelah sekian lama dipimpin oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, kini jabatan tersebut diemban oleh Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, yang hadir dengan pendekatan dan gaya kepemimpinan berbeda. Perubahan ini bukan sekadar urusan administratif, melainkan momentum krusial yang akan menentukan arah pengelolaan fiskal, khususnya terkait kebijakan pajak.

Sebagai sumber pendapatan utama negara, pajak memiliki makna lebih dari sekadar alat ekonomi. Pajak lahir dari interaksi kompleks antara kebutuhan masyarakat, elit politik, dan pelaku bisnis. Di bawah kepemimpinan baru ini, pajak diharapkan menjadi fondasi kuat untuk mendukung APBN 2026 yang dianggap cukup ambisius. Namun, target penerimaan yang tinggi di tengah masyarakat yang baru pulih dari krisis ekonomi menimbulkan pertanyaan besar: Apakah kebijakan pajak kali ini akan menjamin keadilan fiskal atau justru menambah beban bagi masyarakat kecil?

Dari sudut pandang politik, kebijakan fiskal selalu berkaitan erat dengan kepentingan. Pemerintah berupaya menjaga stabilitas fiskal demi keberlanjutan pembangunan. Namun, tidak jarang elit politik dan pengusaha besar mendapatkan perlakuan istimewa berupa diskon pajak atau insentif. Kondisi ini membuat pajak sering dipandang sebagai beban bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, sementara kelompok tertentu justru memperoleh keuntungan. Dengan demikian, era Kementerian Keuangan yang baru menjadi ujian penting: Apakah keadilan fiskal benar-benar dijalankan untuk kepentingan rakyat?

Secara ekonomi, pajak adalah tulang punggung APBN. Namun, strategi pemerintah terkadang membatasi ruang hidup masyarakat. Perluasan cakupan pajak, penerapan pajak digital, dan penyesuaian tarif memang sah secara hukum, tetapi jika dilakukan tanpa memperhatikan kondisi riil rakyat, hal ini berpotensi meningkatkan biaya hidup. Sektor UMKM yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi nasional bisa terdampak negatif jika aturan pajak baru tidak diterapkan dengan bijak.

Dari sisi sosial, kebijakan pajak sangat berkaitan dengan rasa keadilan di masyarakat. Ketika masyarakat tidak merasakan manfaat nyata dari pajak — seperti infrastruktur yang merata, pelayanan publik berkualitas, atau subsidi yang memadai — maka tingkat ketidakpercayaan terhadap pemerintah akan meningkat. Apalagi di era media sosial, rasa kekecewaan dapat menyebar dengan cepat dan berpotensi merusak legitimasi politik. Dengan kata lain, kegagalan dalam pengelolaan komunikasi dan penerapan pajak bisa menimbulkan krisis kepercayaan yang lebih dalam.

Dalam perspektif komunikasi politik, tantangan pemerintah sangat besar. Pajak sering dipromosikan melalui narasi “untuk pembangunan” atau “demi kemandirian bangsa,” tetapi penyampaian ini seringkali tidak sejalan dengan kenyataan yang dialami masyarakat. Kurangnya transparansi dan maraknya kasus penyalahgunaan pajak semakin memperlebar jurang ketidakpercayaan. Oleh karena itu, di era Kementerian Keuangan yang baru, narasi perlu didukung oleh bukti nyata: laporan yang mudah diakses, partisipasi masyarakat, serta pengawasan yang jelas.

Pada akhirnya, pengelolaan pajak di bawah kepemimpinan baru ini menjadi tantangan besar. Target ambisius APBN 2026 berisiko membebani masyarakat kecil, sementara elit politik dan pengusaha besar masih berpeluang mendapatkan insentif. Jika kondisi ini dibiarkan terus berlanjut, APBN akan kehilangan fungsi utamanya sebagai instrumen yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Oleh sebab itu, pengawasan kritis dari masyarakat sangat penting. Pajak tidak boleh dijadikan alat untuk menutupi defisit anggaran, melainkan harus kembali pada tujuan awalnya: menciptakan keadilan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jika tidak, APBN 2026 justru bisa menjadi catatan buruk sebagai anggaran yang membebani, bukan memberikan manfaat nyata bagi rakyat luas.

Penulis: Aura Cantika Britania, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (*)

LAINNYA