OPINI | TD – Pemilihan kepala daerah merupakan pilar utama demokrasi lokal yang diharapkan mampu menjembatani aspirasi rakyat dengan pengambilan kebijakan di tingkat daerah. Dalam kerangka demokrasi Indonesia, Pilkada menjadi sarana penting untuk mengukur sejauh mana prinsip kedaulatan rakyat dijalankan secara substansial. Namun, tidak semua pelaksanaan Pilkada mencerminkan nilai-nilai luhur demokrasi tersebut. Kasus Pilkada Serang 2024 menjadi salah satu contoh nyata bagaimana demokrasi lokal bisa terdistorsi oleh praktik-praktik kekuasaan yang menyimpang, khususnya dalam bentuk intervensi pejabat pusat dan pengaruh politik dinasti yang kian mengakar.
Kontroversi mencuat ketika Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Yandri Susanto, diduga turut campur dalam proses Pilkada Kabupaten Serang untuk mendukung istrinya, Ratu Rachmatu Zakiyah, sebagai calon bupati. Dugaan ini bukan hanya mencoreng prinsip netralitas pejabat negara, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan demokrasi lokal yang sehat. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di wilayah tersebut memperkuat indikasi bahwa pelanggaran yang terjadi tidak bisa dianggap ringan. PSU merupakan langkah yang diambil MK hanya dalam kondisi pelanggaran serius, sistematis, dan masif, yang berarti intervensi tersebut dianggap telah memengaruhi hasil pemilu secara signifikan.
Intervensi Kekuasaan dan Abuse of Power
Pelanggaran ini menunjukkan bagaimana struktur kekuasaan di tingkat pusat dapat memengaruhi dan mendistorsi jalannya proses politik di daerah. Dalam kasus ini, seorang pejabat negara menggunakan posisinya untuk mendukung kandidat yang memiliki hubungan keluarga, dengan dugaan penggunaan fasilitas negara untuk kegiatan kampanye terselubung. Penggunaan kop surat kementerian dalam kegiatan yang dihadiri calon bupati tersebut merupakan bentuk nyata dari penyalahgunaan simbol negara untuk kepentingan politik pribadi. Ini bertentangan dengan prinsip netralitas pejabat publik yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Politik Dinasti dan Struktur Kuasa Lokal
Keterlibatan Yandri Susanto tidak bisa dilepaskan dari konteks politik dinasti di Banten. Ratu Rachmatu Zakiyah merupakan bagian dari keluarga besar Natakusumah, yang telah lama memiliki akar politik kuat di provinsi tersebut. Politik dinasti menjadi fenomena yang berbahaya karena dapat mengurangi ruang partisipasi politik yang adil bagi masyarakat luas. Ketika kekuasaan politik terkonsentrasi dalam lingkaran keluarga tertentu, maka proses demokrasi tidak lagi terbuka dan kompetitif, melainkan menjadi arena perebutan kekuasaan oleh elite yang memiliki sumber daya besar dan akses ke struktur negara. Ini menciptakan ketimpangan politik yang memperlemah kualitas demokrasi secara keseluruhan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi dan Kelembagaan Demokrasi
Mahkamah Konstitusi, sebagai penjaga konstitusi dan pengadil sengketa pemilu, mengambil sikap tegas dengan memerintahkan PSU. Keputusan ini menjadi preseden penting bahwa praktik penyalahgunaan kekuasaan, apalagi yang dilakukan oleh pejabat aktif, tidak bisa ditoleransi dalam sistem demokrasi. Putusan MK tersebut juga menunjukkan bahwa lembaga yudikatif masih berfungsi sebagai kontrol terhadap praktik politik yang menyimpang. Namun, keputusan hukum ini seharusnya tidak hanya berhenti pada pengulangan proses pemilihan, tetapi juga harus diikuti oleh penegakan sanksi administratif, etik, bahkan pidana bagi pihak-pihak yang terbukti melanggar aturan.
Lemahnya Pengawasan dan Efektivitas Regulasi
Kasus ini juga menunjukkan lemahnya efektivitas lembaga pengawas seperti KPU dan Bawaslu dalam mengawasi netralitas pejabat publik. Meski secara formal memiliki kewenangan untuk menindak pelanggaran, kedua lembaga ini sering kali terbentur oleh keterbatasan politik, sumber daya, atau bahkan keberanian dalam menghadapi elite berpengaruh. Akibatnya, pelanggaran semacam ini bisa berjalan tanpa hambatan hingga menimbulkan dampak besar terhadap hasil pemilu. Lemahnya pengawasan ini menjadi celah yang terus dimanfaatkan oleh elite politik untuk melanggengkan kekuasaan mereka.
Dampak Sosial dan Fiskal
Selain berdampak pada aspek legal dan etis, kasus Pilkada Serang ini juga berdampak secara sosial dan fiskal. Penyelenggaraan PSU membutuhkan biaya besar yang harus ditanggung oleh APBD, sehingga mengalihkan anggaran dari sektor lain yang lebih dibutuhkan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga harus kembali mengikuti proses pemilu yang secara psikologis dan sosial menimbulkan ketegangan dan konflik horizontal. Situasi ini seharusnya tidak terjadi jika pejabat publik benar-benar menjalankan fungsinya secara netral dan menjauhkan diri dari konflik kepentingan.
Peran Masyarakat Sipil
Reaksi masyarakat sipil terhadap kasus ini cukup kuat. Sejumlah organisasi seperti Lokataru Foundation dan BEM Banten Bersatu menyuarakan penolakan terhadap praktik politik dinasti dan intervensi kekuasaan. Mereka menuntut agar PSU dilakukan secara transparan, bebas dari tekanan politik, dan diawasi secara ketat oleh lembaga independen. Perlawanan masyarakat sipil ini menjadi elemen penting dalam menjaga integritas demokrasi. Tanpa kontrol sosial yang kuat, kekuasaan akan cenderung menyimpang dan digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Perlunya Reformasi Demokrasi Lokal
Jika dibiarkan, fenomena seperti ini akan mengikis semangat reformasi dan desentralisasi yang sejak awal bertujuan untuk mendekatkan kekuasaan kepada rakyat. Ketika kekuasaan justru dikonsentrasikan dalam keluarga-keluarga elite, maka desentralisasi hanya menjadi formalitas tanpa substansi. Otonomi daerah pun kehilangan maknanya jika kepala daerah yang terpilih bukan merupakan hasil dari kompetisi yang sehat, melainkan hasil dari mobilisasi kekuasaan pusat dan jaringan dinasti politik.
Dalam konteks ini, diperlukan reformasi menyeluruh terhadap sistem pemilu, termasuk pengetatan aturan mengenai netralitas pejabat negara, larangan terhadap konflik kepentingan, serta pemberian sanksi tegas bagi pelanggar. Selain itu, regulasi yang melarang atau membatasi politik dinasti perlu dikaji dan diimplementasikan secara konsisten untuk membuka ruang politik yang lebih adil dan setara bagi seluruh warga negara.
Kesimpulan
Kasus Pilkada Serang 2024 harus menjadi peringatan keras bagi semua pihak bahwa demokrasi lokal bisa rusak jika kekuasaan tidak dikontrol secara ketat. Intervensi pejabat pusat, politik dinasti, dan lemahnya pengawasan adalah kombinasi berbahaya yang dapat menghancurkan semangat reformasi yang telah dibangun sejak dua dekade lalu. Mahkamah Konstitusi telah menunjukkan bahwa hukum masih bisa menjadi alat koreksi, tetapi penegakan nilai demokrasi tidak boleh bergantung pada satu lembaga saja. Diperlukan keterlibatan aktif dari seluruh elemen bangsa, mulai dari masyarakat sipil, akademisi, media, hingga pemilih itu sendiri.
Akhirnya, menjaga demokrasi lokal dari infiltrasi kekuasaan bukan hanya tanggung jawab institusi formal, tetapi tanggung jawab bersama sebagai warga negara. Demokrasi yang sejati tidak lahir dari prosedur, melainkan dari kesadaran dan komitmen untuk menjadikan kekuasaan sebagai alat pelayanan publik, bukan sebagai warisan keluarga. Pilkada Serang 2024 adalah cermin yang memperlihatkan wajah demokrasi kita saat ini, dan dari cermin itulah kita belajar bahwa perubahan hanya bisa terjadi jika kita berani menolak praktik kekuasaan yang menyimpang dan memperjuangkan sistem politik yang benar-benar adil, bersih, dan berpihak kepada rakyat.
Penulis: Azzam Firdaus, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (*)