Tambang Nikel di Raja Ampat: Akankah ‘Surga Terakhir’ di Bumi Lenyap?

waktu baca 5 minutes
Selasa, 10 Jun 2025 00:25 0 Patricia Pawestri

LINGKUNGAN | TD – Kekhawatiran masyarakat luas akan dampak kerusakan lingkungan akibat tambang nikel di Raja Ampat, Papua, terus merebak.

Beberapa pulau kecil di wilayah tersebut telah menampakkan area gundul cukup luas yang merupakan usaha eksploitasi nikel dari beberapa perusahaan tambang. Sementara, industri nikel di Sulawesi dan Maluku telah mengakibatkan alam di wilayah setempat rusak hingga ke tahap yang sangat memprihatinkan. Inilah yang menyebabkan kecemasan bahwa hal yang sama akan terjadi di Raja Ampat.

Keindahan Raja Ampat, “The Last Heaven”

Raja Ampat, Papua, sebenarnya telah menjadi UNESCO Global Geopark sejak 2023. Artinya, wilayah Raja Ampat merupakan kawasan lindung yang bernilai secara geologi, budaya, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal.

Penetapan Raja Ampat sebagai kawasan konservasi tersebut erat kaitannya dengan formasi batuan tertua yang usianya setara dengan sepersepuluh usia bumi. Atau, sekitar 350 hingga 450 juta tahun. Formasi lapisan bumi dari zaman Silur-Devon tersebut bergabung dengan lapisan atasnya, yakni batuan mesozoikum, membentuk dasar laut di perairan Raja Ampat. Inilah lahan subur tumbuhnya karst, dengan pondasinya berupa kapur, yang terus berkembang pada zaman Eosen dan Miosen-Pliosen.

Tumbuhnya karst ini, yang kemudian bernama Karst Wayag, terus menjulang membentuk rangkaian pulau-pulau kecil. Keindahan wilayah ini salah satunya berasal dari kontrasnya warna pulau kapur, yang telah tertutup hutan, dengan biru hijaunya laut di sekitar. Inilah pemandangan Raja Ampat yang spektakuler berjulukan “The Emerald Karst in the Equator“.

Kayanya keindahan wilayah karst, antara lain adanya gua-gua yang terbentuk secara alami. Tak jarang, gua kapur ini terbentuk di bawah permukaan air. Sehingga menjadi area yang menarik dalam wisata diving. Dan, di antara tebing karst Raja Ampat, juga terdapat temuan lukisan prasejarah yang mengungkapkan adanya masyarakat awal dan budaya yang telah berusia ribuan tahun.

Karst yang terus tumbuh dengan lestari di Raja Ampat menciptakan ekosistem yang mengagumkan. Para pecinta alam menyebutnya “The Last Heaven” atau surga terakhir di bumi. Ekosistem yang juga bernama “Coral Triangle” atau segitiga karang dunia ini menyimpan kekayaan hayati perairan yang paling tinggi.

Gugusan kepulauan Raja Ampat sangatlah mengagumkan. Terdiri dari 1500 pulau kecil bersama ‘beting’ (sedimentasi lumpur yang membentuk daratan kecil) dan ‘atol’ (pulau dari terumbu karang berbentuk cincin dengan laguna di tengahnya) yang mengelilingi 4 pulau utama yang lebih besar. Wilayah tersebut merupakan habitat dari 550 lebih spesies terumbu karang yang indah bersama 1600 lebih spesies ikannya. Tingginya keanekaragaman ini diperkirakan mewakili 75 persen jenis terumbu karang yang ada di seluruh dunia.

Lestarinya alam Raja Ampat tidak lepas dari budaya lokal yang masih terpelihara. Masyarakat setempat masih kental dengan tradisi atau kearifan lokal dalam mata pencaharian. Sehingga sumber daya alamnya pun masih terjaga dengan baik.

Aktivitas Penambangan Nikel Mengancam Kelestarian Raja Ampat

Setidaknya, terdapat 6 pulau di sekitar kawasan Raja Ampat yang telah terdapat aktivitas penambangan nikel di atasnya. Pulau-pulau tersebut yaitu Gag, Waigeo, Kawei, Manuran, Manyaifun, dan Batang Pele.

Pulau Gag sebenarnya berada lebih dari 40 kilometer dari kawasan konservasi Raja Ampat. Dalam evaluasi amdal, pengelolaan oleh PT GAG Nikel (anak perusahaan PT ANTAM) di pulau ini cukup aman. Namun, kekhawatiran dampak industri nikel yang dapat mengancam kelestarian hayati terus bergulir. Karena kerusakan akibat limbah nikel dapat mengalir atau mencemari udara dalam jangkauan yang cukup jauh. Aktivitas penambangan seluas 188 ha yang ada di Pulau Gag pun merupakan yang terbesar di antara pulau-pulau lainnya.

Pulau Kawei memiliki area penambangan nikel seluas 89 ha. Pulau ini berada cukup dekat dengan Pulau Wayag yang telah tercakup dalam wilayah lindung. Pengelola tambang pulau ini, PT Kawei Sejahtera Mining, melakukan pelanggaran dengan menambang di area izin pinjam pakai kawasan hutan seluas 5 ha.

Pulau Manuran berdekatan dengan gugusan pulau konservasi. Kerusakan lingkungan di pulau ini telah nyata dengan rusaknya penahan kolam pengendapan limbah nikel yang mencemari perairan pantai.

Pengelola tambang nikel di Pulau Manuran, PT Anugerah Surya Pratama (ASP) juga melakukan pelanggaran serius di Pulau Waigeo. Pulau terbesar di Raja Ampat ini merupakan kawasan konservasi yang tidak boleh disentuh industri. Namun, mereka tetap melakukannya.

Sedangkan Pulau Batang Pele dan Pulau Manyaifun, melansir sebuah media nasional, merupakan kawasan lindung. Tetapi sudah terdapat aktivitas eksplorasi. Mengenai hal ini, Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkunga Hidup, mengatakan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) telah mendapatkan izin usaha pertambangan tetapi tanpa dokumen penunjang lainnya.

Regulasi yang Seharusnya Dapat Melindungi Raja Ampat

Setidaknya terdapat dua peraturan yang dapat melindungi kawasan Raja Ampat dan sekitarnya dari kerusakan akibat tambang nikel di Raja Ampat. Pertama, Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 yang mengulas tentang pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dalam perundangan tersebut, terdapat dua larangan yang terdapat pada pasal 35 dan 27. Yaitu tidak diperbolehkannya eksploitasi mineral di wilayah pesisir dan pulau kecil, terutama jika terdapat potensi kerusakan lingkungan. Dan, jika luas pulau tidak lebih dari 2 ribu kilometer persegi, usaha pertambangan jelas terlarang.

Kedua, RUU Perampasan Aset. Di dalam undang-undang yang belum resmi ini, terdapat solusi untuk menyita aset tambang nikel di Raja Ampat, menghentikan operasi, serta memulihkan kelestarian lahan yang telah rusak akibat pertambangan.

Meskipun telah terdapat perlindungan hukum untuk menjaga kelestarian Raja Ampat, tetapi hal itu ternyata tidak cukup. Misalnya, izin untuk meneruskan usaha bagi industri tambang karena telah mengantongi kontrak karya sebelum UU Kehutanan menjadi resmi di tahun 1999. Adapun, perundangan kehutanan tersebut melarang kegiatan pertambangan terbuka di hutan lindung (konservasi). Keistimewaan yang merupakan pemberian presiden RI di tahun 2004 tersebut menyebabkan 13 perusahaan tambang, termasuk PT GAG, lolos dan langgeng dalam kegiatan eksploitasi mineralnya di kawasan yang harusnya terlindungi.

Demikianlah mengenai tambang nikel di Raja Ampat. Betapa kaya dan indahnya wilayah konservasi Raja Ampat sudah diakui dunia internasional. Namun, kerusakan alamnya tak terhindarkan bila keserakahan atas eksploitasi mineral tidak dihentikan. Sementara, perlindungan perundangan dan kebijakan pemerintah Indonesia masih tumpul dan belum bisa menaklukkan keegoisan kapitalis industri. Akankah “Surga Terakhir” di bumi benar-benar lenyap, dan hanya tersisa neraka penuh limbah? (Pat)

LAINNYA