TANGERANG | TD — Anggota DPRD Banten, Abraham Garuda Laksono, menyerukan pentingnya peran aktif seluruh civitas akademika dalam upaya pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Hal ini disampaikan dalam sosialisasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Provinsi Banten yang digelar di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Tangerang, Rabu, 11 Desember 2024.
Alumni Universitas James Cook University, Singapura tersebut menekankan pentingnya kolaborasi antara mahasiswa, dosen, dan rektorat untuk menciptakan lingkungan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual.
Abraham menyoroti fakta yang mengkhawatirkan bahwa angka kekerasan seksual masih tinggi. “Statistik menunjukkan bahwa satu dari empat perempuan berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan seksual,” ujarnya dengan nada tegas. Angka ini, menurutnya, menjadi alarm yang harus disikapi serius oleh semua pihak, termasuk perguruan tinggi.
Data tersebut dilansirnya dari Survei Prevalensi dan Hubungan Antar Faktor Risiko Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (SPHPN) 2024 dan Sistem Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (SNPHAR) 2024 Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak.
Dalam sosialisasi tersebut, politisi berusia 23 tahun dari PDI perjuangan mendorong perguruan tinggi untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam mencegah kekerasan seksual.
Beberapa langkah yang diusulkan antara lain: mengintegrasikan materi pencegahan kekerasan seksual ke dalam kurikulum perkuliahan, membentuk unit khusus untuk mendampingi korban kekerasan seksual, dan meningkatkan efektivitas mekanisme pelaporan kasus kekerasan seksual.
Abraham berharap sosialisasi ini menjadi titik awal bagi UMN dan perguruan tinggi lain di Banten untuk menciptakan lingkungan kampus yang lebih aman, inklusif, dan ramah bagi seluruh anggotanya.
Sementara narasumber lainnya akademisi dari UMN, Dr. Indiwan Seto Wahyu Wibowo menyoroti pelecehan seksual terhadap perempuan di media sosial.
Indiwan pun menyampaikan solusi pencegahan cyberbullying tersebut dengen menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mendeteksi dan mencegah pelecehan seksual online.
“Sistem AI ini bekerja dengan menganalisis berbagai bentuk konten, termasuk teks, gambar, dan video, untuk mengidentifikasi pola perilaku cyberbullying. Keunggulannya terletak pada kemampuannya mendeteksi bahkan bentuk-bentuk pelecehan yang terselubung dan sulit dikenali oleh manusia,” ungkapnya.
AI, lanjut dia, dapat menganalisis bahasa, konteks, dan emosi yang tersirat, AI mampu mengidentifikasi komentar, gambar, atau video yang mengandung unsur intimidasi, ancaman, atau pelecehan seksual, meskipun pelaku berupaya menyembunyikan maksud jahatnya.
“Deteksi dini dan intervensi proaktif yang ditawarkan oleh sistem AI ini diharapkan dapat secara signifikan mengurangi dampak buruk cyberbullying terhadap korban. Intervensi bisa berupa peringatan kepada pelaku, penghapusan konten yang bersifat merugikan, atau bahkan pemblokiran akun pelaku. Hal ini memungkinkan pencegahan eskalasi pelecehan dan perlindungan korban dari trauma yang lebih dalam,” terangnya.
Meskipun penggunaan AI dalam memerangi cyberbullying menawarkan solusi yang lebih efektif dan efisien, lanjut Indiwan, tantangan tetap ada. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi bias algoritma yang dapat menyebabkan ketidakadilan atau ketidaktepatan dalam identifikasi kasus cyberbullying. Selain itu, perlindungan privasi data pengguna juga menjadi hal yang krusial dan perlu dijaga agar penggunaan AI dalam konteks ini tetap etis dan bertanggung jawab.
“Namun demikian, potensi besar AI dalam menciptakan lingkungan digital yang lebih aman tidak dapat diabaikan. Dengan pengembangan dan penyempurnaan teknologi yang berkelanjutan, serta penerapan etika dan regulasi yang tepat, AI berpotensi menjadi benteng pertahanan yang efektif dalam melawan cyberbullying dan melindungi pengguna media sosial dari ancaman kekerasan online,” pungkasnya.
Sosialisasi Raperrda ini diharapkan menjadi langkah awal untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat kampus dalam mencegah kekerasan seksual dan kekerasan berbasis digital. Pendekatan edukatif dan penguatan regulasi dianggap krusial untuk melindungi kelompok rentan dan menciptakan lingkungan kampus yang aman dan inklusif.
“Dengan sinergi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan mahasiswa, diharapkan upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat lebih efektif dan menyeluruh,” pungkas Abraham. (*)