Dakwah Digital: Antara Peluang dan Tantangan di Era Media Sosial

waktu baca 3 menit
Senin, 2 Des 2024 16:52 0 30 Redaksi

OPINI | TD — Dakwah di era digital telah mengalami transformasi signifikan, beralih dari mimbar tradisional ke platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube. Potensi jangkauan yang luar biasa ini menawarkan peluang emas untuk mentransformasi perilaku dan membentuk karakter generasi muda Muslim.

Namun, seperti pisau bermata dua, dakwah digital menghadirkan tantangan kompleks yang memerlukan analisis yang jauh lebih mendalam dari sekadar menilai dampak positif dan negatif secara sederhana. Keberhasilannya bergantung pada strategi yang cermat dan pemahaman mendalam tentang dinamika media sosial serta psikologi remaja.

Hasil Penelitian

Meskipun sejumlah penelitian menunjukkan korelasi antara paparan konten dakwah online dan peningkatan religiusitas, korelasi ini tidak secara otomatis mengimplikasikan kausalitas. Banyak faktor lain, termasuk lingkungan keluarga, pendidikan formal, dan pengaruh teman sebaya, berperan dalam membentuk perilaku keagamaan remaja.

Menyatakan bahwa media sosial sendiri meningkatkan keimanan adalah kesimpulan yang terlalu terburu-buru dan reduksionis. Studi-studi tersebut seringkali mengabaikan variabel-variabel penting yang turut mempengaruhi perilaku remaja muslim, menciptakan gambaran yang tidak komprehensif dan berpotensi menyesatkan.

Kualitas konten dakwah merupakan faktor penentu. Konten yang menghibur namun dangkal, meskipun menarik perhatian remaja, justru dapat menghambat pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam.
Penyederhanaan ajaran agama demi popularitas online dapat mengakibatkan penyebaran informasi yang keliru, bahkan menyesatkan.

Dalam era post-truth, di mana kebenaran fakta seringkali dikesampingkan demi kepentingan narasi tertentu, dakwah digital rentan dimanfaatkan untuk menyebarkan propaganda dan ideologi ekstrem yang menyimpang dari ajaran Islam yang moderat dan toleran.

Media sosial juga menciptakan gelembung informasi (filter bubble dan echo chamber) di mana pengguna lebih sering terpapar informasi yang sesuai dengan bias dan pandangan mereka sendiri. Hal ini dapat memperkuat sikap eksklusifitas dan intoleransi, khususnya jika konten dakwah yang dikonsumsi mengadopsi pendekatan yang kaku dan tidak inklusif.

Dakwah yang seharusnya mempersatukan justru dapat menjadi pemicu perpecahan dan konflik antar kelompok, bahkan antar individu. Fenomena ini diperparah oleh algoritma media sosial yang cenderung memperkuat polarisasi dan menguatkan bias konfirmasi.

Selain itu, remaja rentan terpapar konten negatif seperti kekerasan, pornografi, dan promosi gaya hidup konsumtif yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Paparan terus-menerus terhadap konten tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah psikologis dan sosial, seperti depresi, kecemasan, dan rendahnya harga diri. Lebih jauh lagi, media sosial membentuk norma-norma sosial baru yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai tradisional, seperti tren cyberbullying dan body shaming, yang dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan kesejahteraan remaja.

Pendekatan Holistik Dakwah Digital

Oleh karena itu, strategi dakwah digital memerlukan pendekatan yang lebih holistik dan kritis. Bukan sekadar menciptakan konten yang menarik, tetapi juga membangun literasi digital dan kritis pada remaja.

Pendidikan agama yang komprehensif dan berkelanjutan, baik di lingkungan keluarga maupun di lembaga pendidikan formal, sangat penting untuk membekali remaja dengan kemampuan untuk menyaring informasi dan membentuk ketahanan mental terhadap pengaruh negatif media sosial.

Kolaborasi antara para da’i, pendidik, psikolog, dan orang tua sangat krusial untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat dan kondusif bagi perkembangan karakter remaja Muslim.

Kesimpulan

Dakwah digital melalui media sosial menawarkan potensi besar namun juga menghadirkan risiko yang signifikan. Keberhasilan dakwah digital bukan semata-mata diukur dari jumlah pengikut atau tingkat popularitas, tetapi dari sejauh mana ia mampu membentuk karakter generasi muda yang beriman, berilmu, berakhlak mulia, dan mampu beradaptasi dengan tantangan era digital yang semakin kompleks ini.

Perlu pendekatan yang integratif, yang menggabungkan kekuatan teknologi dengan bimbingan spiritual yang kuat dan pendidikan karakter yang komprehensif, untuk memastikan dakwah digital menjadi berkah, bukan bencana.

Keberhasilannya bergantung pada kesadaran kolektif untuk memanfaatkan teknologi dengan bijak dan bertanggung jawab, serta komitmen untuk menciptakan konten yang mendidik, menginspirasi, dan menyejahterakan.

Penulis: Muhammad Andri Maulana, Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten. (*)

LAINNYA