SAINTEK | TD – Tahukah kamu bahwa plastik sangat erat hubungannya dengan krisis iklim?
Plastik sangat erat hubungannya dengan pemanasan global tidak hanya karena berasal dari bahan yang sama dengan bahan bakar fosil. Tetapi juga karena perusahaan penghasil produk plastik biasanya merupakan anak perusahaan minyak dan gas.
Hal ini dapat ditemukan pada perusahaan seperti Shell, ExxonMobil, Sinopec, dan Sabic. Perusahaan-perusahaan tersebut biasanya mempunyai anak perusahaan yang bergerak di bidang petrokimia sebagai wadah untuk menampung hasil tambang minyak dan gas bumi.
Dilansir dari jurnal Swara Patra, asal pembuatan plastik adalah unsur karbon, oksigen, hidrogen, klorin, belerang, dan nitrogen yang dihasilkan dalam pemurnian minyak bumi dan gas bumi.
Unsur-unsur tersebut kemudian diolah dalam industri petrokimia menjadi etana dan propana. Kedua senyawa ini kemudian dipecah dengan pemanasan dengan suhu yang sangat tinggi untuk menghasilkan etilena dan propilena.
Kedua senyawa ini direaksikan dengan suatu katalis dan membentuk polimer plastik sebagai cikal bakal bijih plastik.
Bijih plastik inilah yang kemudian diolah lagi pada industri-industri lanjutan menjadi berbagai produk plastik. Misalnya sisir, botol plastik, ember, gigi palsu, pipa paralon, produk elektronik, badan motor, dan lainnya.
Awalnya, kebutuhan konsumsi minyak bumi untuk pembuatan plastik di dunia hanyalah 9%. Namun karena permintaan minyak bumi untuk bahan bakar menurun akhir-akhir ini, maka perusahaan-perusahaan minyak tersebut mengalihkan kelebihan persediaan minyak dan gas bumi mereka ke dalam industri plastik.
Kecenderungan plastik yang dianggap lebih murah dan lebih mudah diolah untuk menggantikan bahan lain, kayu pada lemari misalnya, menjadi peluang yang dilirik oleh perusahaan-perusahaan besar tersebut.
Peluang inilah yang kemudian menjadikan International Energy Agency memprediksi pada tahun 2040, 45% permintaan minyak global adalah untuk memproduksi plastik. Bahkan, proyeksi BP, perusahaan minyak yang berbasis di London, mengatakan konsumsi minyak bumi untuk plastik mencapai 95% di tahun tersebut.
Meningkatnya produksi plastik searah dengan meningkatnya emisi global dari 1,7 gigaton CO2 (2015) menjadi 6,5 gigaton (2050). Konsumsi plastik yang naik berlipat ganda tersebut disebabkan oleh ketergantungan atas produk plastik yang didukung oleh infrastruktur, teknologi, dan perilaku masyarakat. Ini disebut ‘carbon lock’.
Bahkan, New York Times pernah meliput perilaku ‘carbon lock’ Amerika Serikat pada tahun 2019 telah mengkonsumsi plastik 16 kali lipat dari negara-negara berkembang.***