Politik Identitas dan Perlawanan: Memahami Dinamika Sosial Gerakan Perempuan di Indonesia

waktu baca 4 menit
Selasa, 26 Nov 2024 16:50 0 138 Redaksi

OPINI | TD — Politik identitas merupakan fenomena yang semakin relevan dalam konteks sosial dan politik di Indonesia, yang menekankan pentingnya identitas kelompok—baik berdasarkan ras, etnis, gender, agama, orientasi seksual, maupun faktor identitas lainnya—sebagai dasar perjuangan politik dan sosial. Dalam kerangka politik identitas, individu atau kelompok yang berbagi identitas tertentu, terutama yang terdiskriminasi atau terpinggirkan, berupaya membangun solidaritas, memperjuangkan hak-hak mereka, serta mendapatkan pengakuan atas keunikan dan pengalaman spesifik yang mereka miliki.

Sering kali, istilah gender disamakan dengan perempuan, mengingat kelompok yang paling vokal dalam memperjuangkan hak-hak perempuan adalah perempuan itu sendiri. Namun, mengidentikkan gender dengan perempuan dapat menyesatkan, karena gender bukanlah sinonim dari perempuan. Gender adalah konsep sosial yang menggambarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat, yang terbentuk melalui proses sosial dan sosialisasi.

Menurut definisi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (1994), gender mencakup pembagian kerja, peran, kedudukan, tanggung jawab, dan kewajiban yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Hubungan ini bersifat dinamis, dapat berubah seiring waktu dan bervariasi antarbudaya. Dalam konteks tradisional Indonesia, laki-laki sering kali dianggap sebagai pencari nafkah, sementara perempuan lebih sering diposisikan dalam ranah domestik. Pandangan ini membatasi peran perempuan dan menghalangi partisipasi mereka dalam aktivitas publik yang seharusnya setara dengan laki-laki, termasuk dalam upaya menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Konsep feminis gender berfokus pada analisis konstruksi sosial gender yang sering kali menyebabkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Berikut adalah beberapa konsep kunci dalam feminisme terkait gender:

Kesetaraan Gender: Inti dari feminisme adalah perjuangan untuk memberikan hak, kesempatan, dan perlakuan yang setara kepada semua gender. Feminisme berupaya menghapus diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok minoritas gender, menciptakan masyarakat yang adil dan setara.

Patriarki: Sistem sosial patriarkal di mana laki-laki memiliki kekuasaan dominan dalam berbagai aspek kehidupan—politik, ekonomi, dan budaya—dilihat sebagai sumber utama ketidakadilan gender. Feminisme menyoroti bagaimana perempuan dan kelompok gender lainnya sering kali dipinggirkan.

Hak Reproduksi: Feminisme juga memperjuangkan hak reproduksi, termasuk hak untuk mengontrol tubuh sendiri, akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, serta kebebasan untuk memilih dalam hal kehamilan dan kontrasepsi. Hak reproduksi merupakan bagian penting dari kesetaraan gender karena berkaitan langsung dengan otonomi perempuan.

Kesadaran Gender: Feminisme mendorong kesadaran gender, yaitu pemahaman kritis tentang bagaimana norma dan struktur sosial menciptakan ketidaksetaraan berdasarkan gender. Kesadaran ini penting untuk menantang dan mengubah sistem penindasan gender yang ada.

Kekerasan Berbasis Gender: Feminisme menentang kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, pelecehan, dan kekerasan ekonomi. Kekerasan ini dianggap sebagai manifestasi dari ketimpangan kekuasaan antara gender dalam masyarakat patriarkal.

Secara keseluruhan, konsep feminis gender bertujuan mengungkap ketidakadilan dan menciptakan ruang bagi semua gender untuk hidup dengan hak dan kesempatan yang setara.

Sejak tahun 1928, berbagai organisasi perempuan Indonesia telah berusaha menyatukan kekuatan mereka dengan membentuk Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). KOWANI didirikan sebagai wadah persatuan dengan tujuan “Persatuan, Kebangsaan, dan Kemerdekaan”. Organisasi perempuan tertua, Aisyiyah, memprakarsai pembentukan KOWANI dan didukung oleh berbagai organisasi lainnya. Melalui KOWANI, kaum perempuan meneguhkan dukungan mereka terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia.

Keinginan untuk melakukan transformasi sosial dalam perjuangan perempuan menunjukkan tekad mereka untuk berperan setara dengan laki-laki dalam mencapai kemerdekaan bangsa. Perjuangan perempuan Indonesia pada masa pra-kemerdekaan dilanjutkan pada era kemerdekaan, terutama antara tahun 1945 hingga 1959. Selama periode ini, berbagai organisasi perempuan berperan aktif dalam ranah publik untuk mendorong perubahan dan perbaikan kualitas hidup. Keterlibatan perempuan menjadi sangat penting dalam konteks perubahan sosial, membuka ruang partisipasi yang signifikan, dan menuntut kebijaksanaan agar persaingan antara laki-laki dan perempuan berlangsung sehat. Meski demikian, perempuan Indonesia masih menghadapi tantangan dari doktrin agama yang mendukung posisi dominan laki-laki, yang sering kali diidentikkan dengan urusan rumah tangga.

Pasca-Orde Baru, posisi politik perempuan mengalami peningkatan yang signifikan. Banyak perempuan berhasil menduduki posisi strategis di lembaga negara, termasuk di kementerian. Contohnya, beberapa perempuan terpilih untuk posisi penting di Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, serta sebagai menteri, seperti Erna Witoelar, Linda Gumelar, dan Sri Mulyani. Di tingkat daerah, semakin banyak perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah, meskipun dengan latar belakang yang beragam.

Tujuan utama politik identitas adalah mencapai kesetaraan di berbagai bidang kehidupan, termasuk ekonomi, sosial, dan politik. Ini mencakup akses yang setara ke pendidikan, pekerjaan, dan hak-hak sipil. Politik identitas berusaha mendorong perubahan dalam norma sosial dan kebijakan pemerintah, seperti perubahan hukum mengenai pernikahan sesama jenis dan undang-undang perlindungan bagi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga. Melalui solidaritas dan fokus pada identitas kolektif, politik identitas memberi kekuatan kepada kelompok terpinggirkan untuk bersatu dalam memperjuangkan kepentingan mereka.

Dengan memahami dinamika politik identitas dan perlawanan ini, masyarakat Indonesia diharapkan dapat beradaptasi dan menemukan cara-cara baru untuk merayakan keragaman sekaligus membangun persatuan. Hanya dengan demikian, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara bagi semua, terlepas dari latar belakang identitas masing-masing.

Penulis: Anisa Dwi Habsari, Mahasiswa Prodi Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA